Bagian 16

432 55 8
                                    

Kabar ditemukannya jenazah pun mulai tersebar luas dan menjadi perhatian beberapa platform berita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kabar ditemukannya jenazah pun mulai tersebar luas dan menjadi perhatian beberapa platform berita. Tes forensik sendiri memakan waktu cukup lama, sampai akhirnya identitas potongan jenazah itu mulai dikenali. Para petugas rumah sakit tengah berjaga di depan gerbang untuk menunggu pihak keluarga yang akan mengambil jenazah tersebut.

Di dekat pintu belakang dekat kamar jenazah, Dono dan Pak Rahmat duduk berdua di atas kursi kayu depan pos ambulan. Di belakang mereka sebuah pohon palem berdiri melindungi dua orang itu dari teriknya matahari siang ini. Mereka juga akan bertugas membantu pengangkutan jenazah ke dalam ambulan. Di samping mereka, secangkir kopi tercium begitu harum. Asapnya masih mengepul-ngepul bersamaan dengan sebatang rokok yang ada di tangan Pak Rahmat.

Kepala Pak Rahmat menatap ke atas, ke arah jendela-jendela yang terkena pantulan sinar mentari. Pikirannya mulai terbang kemana-mana. Di tengah lamunannya itu, Dono menepuk punggungnya. Membuatnya hampir terjungkal ke belakang. “Heh! Ngagetin kamu!” kata Pak Rahmat.

“Abisnya ngelamun terus,” sahut Dono.

“Ngantuk saya, Don,” ucap Pak Rahma yang kemudian menghisap rokoknya. Dari dalam mulutnya lalu keluar asap tipis yang melayang-layang di udara.

“Kalo mau gak ngantuk ya gampang, ke kamar mayat. Liat tuh jenazah mutilasi,” kata Dono menyarankan.

“Dih, males! Ada-ada aja kamu!” Pak Rahmat lalu mematikan rokoknya, puntungnya yang sudah mati lalu ia lempar ke dalam tempat sampah.

Tak lama, dari dalam lorong rumah sakit keluar sekelompok orang dengan satu orang polisi yang menemani. Seorang dokter forensik memimpin di depan. Dono dan Pak Rahmat melihat mereka melalui jendela, buru-buru mereka masuk ke dalam dan meninggalkan kopi yang baru saja diseduh.

Sesampainya di dalam, mereka berdiri di samping pintu kamar mayat. Melihat sekelompok orang yang tengah berjalan ke arahnya. Wajah Pak Rahmat langsung kaget, saat melihat dua orang yang sudah ia kenali sebelumnya. Tak pernah ia sangka bahwa Pak RT datang ke rumah sakit bersama Ramli.

“Lho, bapak?” gumam Pak Rahmat saat berpapasan dengan Pak RT.

Pak RT lalu berhenti di depan Pak Rahmat. “Iya, jenazah mutilasi itu keluarganya Bang Ramli, jenazah bunuh diri yang waktu itu kamu dan temanmu ambil ke kontrakan di RT saya!” kata Pak RT, sementara polisi dan yang lainnya langsung masuk ke dalam kamar mayat dengan ditemani Dono.

“Waduh, bisa jadi masalah ini,” gumam Pak Rahmat.

“Temanmu yang waktu itu ikut ambil ke TKP mana? Dia yang terakhir kali bawa jenazah itu, kan? Dia yang harusnya kasih keterangan ke pihak polisi. Dia kasih ke siapa jenazah ini sampai bisa kepotong-potong begitu,” kata Pak RT sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Duh, orangnya lagi cuti, Pak.” Wajah Pak Rahmat pun berubah jadi gugup, berkeringat dan gelisah. Ia dan Pak RT akhirnya duduk di depan ruang jenazah sambil menunggu pihak keluarga dan kepolisian di dalam. Sementara ambulan sudah ia siapkan di luar. Selama beberapa saat itu, Pak Rahmat duduk dengan keringat dingin mengucur di wajahnya. Pikirannya tak bisa lepas dari jenazah itu, mengingat itu tanggung jawabnya karena dia yang datang ke TKP bersama Raffa.

Necrolust [18+] (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang