Royal Prince | 04

1.8K 168 8
                                    

Selalu ada banyak hal sederhana yang membuat perasaan Citra menjadi lebih tenang dan bahagia. Salah satunya seperti saat ini, ketika dia berjalan di trotoar jalan sudirman menuju stasiun MRT—sambil menikmati indahnya pemandangan kota malam dan melihat gedung-gedung perkantoran yang berdiri dengan kokoh. Setelah hampir seharian menjaga kasir, perempuan itu membiarkan dirinya membaur dengan orang-orang untuk merasakan hiruk pikuk Ibu Kota yang tidak pernah berhenti. Hampir setiap hari Citra mengulang kegiatan yang sama, namun dia tidak perah merasa bosan atau jenuh.

MRT yang akan tumpanginya belum datang. Citra memutuskan untuk duduk di salah satu tempat duduk sambil membaca pesan dari Darwin. Semenjak pengumuman kerajaan, Darwin jadi lebih perhatian kepada Citra. Laki-laki itu khawatir kalau Citra akan sedih lagi memikirkan Saga. Citra sendiri belum berani memberitahu Darwin tentang kerajaan yang memintanya menggantikan Tania. Citra juga meminta Bu Pita untuk tidak mengatakan apapun terlebih dahulu kepada Darwin. Laki-laki itu agak tempramental. Citra hanya tidak ingin Darwin marah atau kesal karena hal ini.

Sampai detik ini Citra sendiri belum memutuskan apa-apa soal pertimbangan yang Bu Pita sarankan. Dia tidak tahu, apakah dia harus pergi ke Nevalia untuk mengetahui segalanya atau tetap di sini, berpura-pura tidak tahu apa-apa dan berusaha menjalani hidupnya seperti biasa. Citra benar-benar sudah merelakan Saga dengan Tania. Jadi dia tidak ingin menyakiti dirinya sendiri dengan masuk ke dalam hidup mereka berdua.

Meski begitu, Citra tetap memikirkan ucapan Bu Pita tentang Mia. Segala kemungkinan buruk bisa menghampiri anak itu kapan saja. Citra harap, kerajaan memiliki solusi dan jalan keluar lain tanpa harus melibatkannya atau siapa pun.

Setelah menunggu beberapa menit, MRT dengan rute Senayan-Fatmawati akhirnya datang. Citra bergegas masuk ke dalam dan duduk di sebelah ibu-ibu yang sedang menggendong anak balitanya. Perjalanan dari Senayan ke Fatmawati kurang lebih memakan waktu sebelas menit. Citra menyumpal kedua telinga dengan earphone, mendengarkan lagu dari ponsel dengan musik ringan yang menenangkan perasaannya. Citra membayangkan banyak hal saat mendengarkan lagu-lagu itu, hingga tanpa sadar, MRT sudah melaju cepat menuju tujuannya.

Citra turun di stasiun Fatmawati dan berjalan menyusuri gang menuju panti. Ketika belok menuju gang Panti Asuhan Mentari, dia kembali melihat mobil sedan yang kemarin terparkir di halaman Panti Asuhan.

Jadi, orang-orang itu masih belum nyerah? pikirnya.

"Selamat malam, Nona Citra." Pak Hasan menyapa dari depan pintu panti ketika Citra menghampirinya. "Kami kembali datang ke sini untuk—"

"Maaf sebelumnya, Pak Hasan." Citra memotong ucapan Pak Hasan, namun dengan nada yang pelan dan sesopan mungkin. Kali ini Citra mencoba mengendalikan diri agar tidak bersikap tidak sopan seperti kemarin. "Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak dan kerajaan, saya benar-benar nggak bisa menerima permintaan itu. Saya nggak bisa menjadi pengganti Tania atau siapa pun."

"Tapi Nona Citra—"

"Saya tahu kerajaan sedang dalam masa sulit. Saya juga tahu Tania sedang berjuang melawan penyakitnya. Tapi saya bukan solusi, Pak. Bukan seperti ini cara kalian bisa menyelesaikan masalah kalian."

"Lalu, bagaimana kami harus menyelesaikannya?"

Pertanyaan itu membuat kata-kata yang terangkai di kepala Citra menguap begitu saja. Suara itu membuat jantungnya berdetak cepat. Dengan perlahan, Citra menoleh dan terpaku ketika kedua matanya menangkap sesosok laki-laki berkaos hitam, berdiri dari jarak tiga meter dengan tatapan yang begitu tajam.

Tubuh Citra seperti tersengat. Setelah tahun demi tahun berlalu, dia tidak menyangka akan kembali melihat wajah laki-laki itu dalam hidupnya. Laki-laki berkulit sawo matang yang kini memiliki postur tubuh lebih tinggi dan kekar dari terakhir Citra melihatnya.

Royal PrinceWhere stories live. Discover now