Part 2

4.2K 439 17
                                    

Kemoja menghentikan langkahnya. Dia makin ragu kala melihat pondok kayu dengan hiasan kain-kain lusuh yang telah pudar warnanya pada dinding bambu. Sudah jelas baginya, itu bukan rumah penjahit. Dia berganti memandang punggung Endang dan Ratri yang masih tetap membelakanginya.

Merasa Kemoja tak lagi mengikutinya, Endang berbalik yang diikuti Ratri. “Kenapa diam?” tanyanya.

Kemoja menggeleng. “Bu Endang, apa mungkin Ibu salah alamat? Ini bukan rumah penjahit.”

Endang yang semula tersenyum perlahan-lahan meredupkan senyumnya. “Memang bukan.”

“Lalu … kenapa Ibu mengajakku kemari. Aku ….” Kemoja membelalak ketakutan ketika melihat Endang memelototinya.

“Kamu akan tahu jawabannya kalau kamu masuk, cepat masuk!” Endang menarik kerah gaun Kemoja lalu mendorongnya hingga terjerembab ke teras pondok.

Kemoja menjerit ketika lututnya menghantam batu. Dia berkaca-kaca memandangi Endang dan Ratri silih berganti dengan pikiran bingung. Dia masih tak mengerti dengan keadaan yang dialaminya. Apa maksud mereka.

“Ratri, ada apa ini sebenarnya? Kau marah kepadaku, Tri?”

Ratri semula tak melihat ke arahnya langsung menengok dan menatap tajam Kemoja. Marah kepadanya, katanya? Ya, memang, Ratri telah memendam kemarahan itu sejak dulu. Mereka bertetangga serta teman bermain, tetapi tak sedikit orang-orang membandingkan mereka. Lalu, tentang Wira, bukankah dia yang terlebih dahulu bertemu dengan pria itu, tapi mengapa Kemoja yang mendapatkan cinta kasihnya.

“Benci. Aku membencimu, Kemoja! Aku membencimu!” teriak Ratri mengeluarkan seluruh amarahnya.

Kemoja membeliak tak percaya. Tubuhnya gemetar menerima kejutan bertubi-tubi itu. Tiba-tiba saja tubuhnya seperti lumpuh, bahkan ketika Endang menariknya memasuki pondok Kemoja tak bereaksi apa pun. Dia masih menatap Ratri yang memelototinya dengan baluran kebencian.

***

Rumah besar di bawah kaki bukit dikelilingi cahaya terang dari tiap sisi temboknya. Angin petang berkesiur menggoyangkan pinus hias yang ditanam memagari dinding. Sesosok pria berkemeja biru menatap gerak dedaunan pinus yang tertiup angin. Sampai-sampai diabaikannya wanita yang berdiri di sisinya.

“Lamunanmu itu bisa membuat cemburu seluruh makhluk,” ucap wanita itu sebelum menyeruput teh dalam cangkirnya.

Wira meliriknya, tetapi tak lama memandangi pinus kembali. “Kudengar kau akan kembali ke kota malam ini juga?”

“Tante sudah berbicara denganmu rupanya?”

Wira mengangguk. “Mama menyuruhku mengantarmu, tapi aku tak bisa. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sebelum hari pernikahanku. Tapi tenang saja, ada Andi yang akan mengantarmu nanti.”

Wanita itu meletakkan cangkir di meja kecil dengan tangan gemetar. “Bahkan untuk terakhir kalinya, kau tak mau mengantarkanku, Wir?”

“Pekerjaanku tak bisa kutunda, Manda. Aku maupun Andi sama saja, kami lihai menyetir.”

“Jangan pura-pura bodoh, Wira. Kau tahu apa maksudku.” Amanda menitikkan setetes air mata.

Wira membalikkan badan, memandangnya dengan senyum bersahabat. “Amanda, kau tahu lebih baik bagaimana perasaanku.”

“Semua karena gadis desa itu. Dia yang membuatmu memutuskan pertunangan kita!”

“Manda! Adanya dia ataupun tidak, pertunangan kita sudah seharusnya berakhir. Aku tak ingin terikat oleh janji asal ucap kakekmu dan kakekku. Mereka sudah meninggal lama, perjanjian itu sudah usang untukku. Terlebih lagi ….” Wira menatap dalam-dalam mata Amanda berniat mengatakan sesuatu yang sangat Amanda pahami.

“Jangan, Wira! Jangan katakan itu!”

“Amanda … ini harus kita selesaikan. Aku tak pernah mempunyai perasaan cinta kepadamu. Aku ….”

“Berhenti! Berhenti kubilang!” Amanda menutup kedua telinganya. Dia memundurkan langkah lalu berbalik dan pergi meninggalkan Wira diiringi isak tangis.

Wira kembali membalikkan badan dan memandangi pinus-pinus . Namun, perasaannya tak sebaik sebelumnya. Ratapan Amanda membuatnya harus membuang napas beberapa kali sebelum mengenyahkan rasa tak enak di hatinya.

“Kamu terlalu kejam mengatakan itu.” Tiba-tiba sosok pria lain muncul dan berdiri di sisinya.

Wira menoleh dan mendapati Andi yang mengepulkan asap rokok dengan tenang. Wira mencibir, “Sekarang ataupun besok, dia akan sama terlukanya. Lagi pula, bukankah ini kesempatanmu untuk mendekatinya. Cucu kakek bukan aku saja, sepertinya kamu lebih tepat untuknya.” Wira menepuk bahu Andi yang membuat pria itu salah tingkah.

“Jangan sembarangan.”Andi menepis tangan kakak sepupunya tersebut lalu bergegas meninggalkannya.

Wira terkekeh memandangi kepergian Andi. Setelahnya, pria itu merogoh saku jinnya, mengeluarkan sapu tangan hijau yang disulam nama Kemoja. Dia menghirup aroma mawar dari sapu tangan tersebut.  Wajah manis dan senyuman lugu Kemoja membayang dalam pikirannya.

Angin gunung berkesiur lebih kuat hingga membuat sapu tangan yang digenggam Wira melayang dan jatuh di lantai. Wira mengernyit dan berpikir apakah selemah itu genggamannya hingga sapu tangan itu jatuh. Dia hendak mengambil sapu tangan tersebut, tetapi tiba-tiba saja cangkir yang berada di meja, jatuh, dan pecah berkecai tepat di atas sapu tangan.

Tiba-tiba saja, perasaan Wira diliputi kecemasan tak beralasan.

***

Kemoja didorong hingga jatuh menghantam meja persembahan. Dia mendongak dan melihat sosok pria dengan luka bakar hampir memenuhi seluruh wajahnya. Rasa takut membuatnya refleks mundur dengan cepat. Namun, pergerakannya dihalangi Endang yang segera menendangnya hingga kembali tersungkur. Berjaga-jaga agar Kemoja tak dapat lari, Endang menginjak punggungnya.

“Ki Darya, aku sudah menunaikan janjiku membawa gadis perawan. Aki harus menepati janji untuk membantu Ratri mendapatkan Wira.”

Mendengar nama Wira, Kemoja mencoba bergerak. Namun, Endang semakin kuat menginjaknya. Bahkan ketika Kemoja meneriakkan nama kekasihnya, Endang berganti menginjak kepalanya.

Melihat hal itu, Ki Darya tertawa kesenangan. Tawanya serak diiringi napas busuk yang menguar dari mulutnya.

Kemoja menangis dan memohon. Tangannya mencoba menggapai kaki Endang, tetapi karena perilakunya itu membuat Endang makin marah dan menginjak tangan Kemoja dengan kakinya yang lain.

Kemoja menjerit. Air matanya berderai. Melihat hal itu, Endang bagai kesurupan. Sudah lama dia ingin melakukan demikian, menuntaskan dendamnya kepada Padma. Dia membayangkan tengah menyiksa Padma hingga kakinya terus menginjak-injak kepala dan tangan Kemoja.

Ratri memundurkan langkah melihat ibunya menyiksa Kemoja. Ada rasa takut menyungkupi hatinya melihat perbuatan ibunya. Namun, dia tak berani berteriak. Sebab ibunya pernah mengatakan, dia tak boleh menarik perhatian Ki Darya. Bahkan wajah moleknya pun dibuat pucat oleh ibunya sebelum pergi ke pondok dukun sakti itu.

“Sudah, cukup! Aku tak ingin kau merusak kesenanganku, Endang!” Suara serak Ki Darya bagai mantra ampuh yang membuat Endang melepaskan Kemoja.

Kemoja terengah-engah dalam tangis dan sesak. Dengan tubuh gemetar, dia mencoba bangkit. Terus-menerus bibirnya memanggil Wira. Setelah kematian ibunya, hanya Wira tempatnya bersandar. Dan kesedihan itu makin menikam hatinya kala mengingat kondisinya saat ini.

“Tinggalkan kami!” perintah Ki Darya saat melihat Kemoja perlahan-lahan duduk. Wajahnya bertambah mengerikan kala bibirnya tersenyum.

Kemoja menggigil dan berniat kabur ketika mendengar langkah Endang membawa Ratri keluar. Namun, belum pula dia bangkit sepenuhnya, rambut Kemoja dicengkeram kuat lalu ditarik hingga kembali terjatuh. Saat terjatuh, tangannya mengenai bara pada tungku kemenyan.

Bara yang membakar tangannya bagai perwujudan sakit yang mengelindan hidupnya sekarang. Jeritan Kemoja membahana dalam kegelapan.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Where stories live. Discover now