Part 22

2.7K 380 7
                                    

Wira memijat keningnya kala rasa pusing melanda. Setiap kali mencoba mengingat, tiap kali itu juga peningnya menjadi-jadi. Entah mengapa dia merasa ada kegelapan yang menyelimuti memorinya. Wira frustrasi saat tak menemukan apa yang dia cari. Gelagatnya tersebut sering diperhatikan Asih. Maka ketika Wira kembali memijat keningnya Asih mengguncang pundaknya.

“Kenapa, Nak?”

Tanpa menoleh, Wira menyahut, “Aku tak tahu, Bu.” Dia menggeleng-geleng lalu mengembuskan napas. Begitu terasa berat hingga Asih melihatnya sangat menyedihkan.

“Kau perlu berjalan-jalan, Wira. Ajaklah Amanda mengelilingi sekitar bukit. Kau perlu memanjakan matamu, supaya tak lagi sakit kepala.”

Wira tak menanggapi, tetapi dalam hatinya menyetujui. Ya, mungkin dia harus menggerakkan badan. Memikirkan demikian, Wira menyetujui usul Asih, yang tersenyum senang sebab Wira mulai menuruti ucapannya.

Maka, pagi itu, selepas sarapan, Amanda dan Wira keluar sambil membawa beberapa jenis perbekalan. Amanda menggandeng Wira dengan hati berbunga-bunga. Sesekali senyumnya muncul mengingat bagaimana pria itu mengajaknya. Tak dia ingat bahwa semalam dengan begitu mudahnya dia membunuh seorang pria.

Amanda amat yakin bahwa sekarang penghalangnya telah pergi. Desas-desus Kemoja yang hilang serta Andi yang tak mungkin kembali membuat wajah dan senyumnya semringah.

“Kita ke mana?” tanya Amanda kala Wira berjalan ke arah lain, bukan ke kebun seperti tujuannya semula.

“Ke hutan itu,” tunjuk Wira.

Amanda mengernyit. Hutan itu dipenuhi pagar pembatas. Sepertinya terlarang dimasuki. Namun, bila sang kekasih hati tetap ingin melangkah ke sana, Amanda akan mengikutinya.

Mereka berhenti di pinggir hutan. Pagar pembatas terbuat dari pasak-pasak kayu yang dijalin dengan kawat. Ujung runcing pembatas dibuat supaya tak ada pemburu maupun warga yang nekat masuk. Namun, Wira begitu mudahnya melompati pagar pembatas itu tanpa menghiraukan Amanda yang kesulitan mencari cara masuk.

“Wira … aku tak bisa masuk!” ucapnya dengan mimik kesal. Dia menendang pagar pembatas itu lalu memandang Wira yang berjalan tanpa menoleh kepadanya.

“Baiklah, aku tunggu di sini!” Amanda berteriak. Akan tetapi, Wira seolah-olah tuli, melirik pun tidak.

Amanda mengelus-elus bahunya dengan menyilangkan tangan. Dia mengerling-ngerling memeriksa sekitar. Meskipun siang, kalau berdiri sendiri seperti ini, rasa takut menyelusup benaknya.

“Wira …!” Dia memanggil-manggil, tetapi sosok lelaki itu tak lagi terlihat. Amanda kesal mengapa dia mengikuti apa mau pria itu ke hutan ini. Kenapa dia tak memaksanya pergi ke perkebunan saja.

Pandangan Amanda berkeliling memindai. Entah mengapa dia merasa ada yang memperhatikannya dengan begitu tajam. Amanda menatap semak-semak yang bergerak-gerak lalu terdiam kala ditatapnya. Pikirannya memerintah agar dia tak maju, tetapi kakinya begitu saja melangkah tanpa dirinya perintah.

Saat telah berhadapan dengan semak-semak, tiba-tiba saja semak belukar itu kembali bergerak, lebih kencang, lebih cepat, dan lebih ganas. Amanda tak sempat mundur kala semak belukar itu meledak lalu ranting-rantingnya menggoresi tubuh Amanda hingga pakaiannya koyak. Beruntung, dia refleks melindungi wajah dengan lengan sehingga ranting-ranting itu hanya mengenai lengannya.

Amanda menjerit. Tangan dan tubuhnya sakit karena ranting-ranting yang menancap. Kakinya pun tak luput dari serangan. Dia ambruk, mengerang dan meraung. Dicobanya mencabut satu ranting, tetapi dia tak kuasa menahan sakitnya.

“Amanda!” Wira telah kembali dan cepat-cepat meraih tubuh gadis itu.

Amanda makin meraung kala beberapa ranting yang menancap tertekan oleh Wira. “Sakit, tolong aku, Wira ….”

Wira memandang aneh pada potongan ranting yang menancap pada tubuh-tubuh Amanda. Namun, karena dia tak bisa membawa Amanda tanpa menekan lukanya, akhirnya Wira memutuskan mencabut beberapa ranting meski raungan Amanda memekakkan telinganya.

Setelah beberapa ranting tercabut, Wira segera memondongnya lalu secepat dia bisa, sedikit berlari, kembali ke rumahnya. Tak dia ketahui, dari balik pohon muncul sosok gadis berkebaya biru dengan rambut terurai menutupi sebagian matanya. Tatapannya mengandung rindu, tetapi juga berselimut kebencian saat memandang gadis yang dipondong Wira.

***

“Apa yang terjadi?”

“Wira tak tahu pasti, Bu. Sebelumnya … Amanda kutinggal sebentar di perbatasan hutan Utara, tak sampai lima menit. Tapi ….” Wira melirik Amanda yang sudah tak sadarkan diri dan sedang ditengani Dokter Deni.

“Kenapa kau meninggalkannya?” Rosi hampir saja berteriak. Namun, kendali dirinya patut diacungi jempol sehingga yang keluar hanyalah nada lembut, yang pada akhirnya membuat Wira merasa bersalah.

Wira tak bisa menjawab. Jika dia menjawab bahwa tadi dia melupakan Amanda, Rosi maupun ibunya pasti akan marah besar terhadapnya. Namun, memang benar, Wira sempat melupakan keberadaan Amanda ketika telah memasuki pembatas hutan. Dia baru sadar kala mendengar jeritan Amanda. Itu pun terlambat sebab kondisi Amanda dipenuhi ranting yang menancap. Dia sendiri tak tahu apa yang terjadi kepada gadis itu.

“Sudahlah, Tante yakin kau pun syok dan sedih karena Amanda seperti ini.” Rosi menepuk-nepuk lengan Wira lalu bergegas duduk di sisi ranjang.

Amanda sangat pucat dengan bekas luka tusukan hampir sekujur tubuhnya. Meski kata Dokter Deni luka itu dangkal, tetap saja bisa menyebabkan bekas luka. Semua yang berada dalam ruangan itu menjadi cemas, tak terkecuali Wira.

***

Amanda mengerjap-ngerjapkan matanya lalu kembali menyipit saat cahaya terang menyorot matanya. Dia menghalangi cahaya tersebut dengan lengannya, lalu perlahan-lahan bangkit. Tak berapa lama kemudian, dia merasa ada yang aneh kala menghidu bau amis dan tangannya merasakan cairan dari tempat tidurnya. 

Kala menunduk untuk mengecek rasa basah itu, Amanda membelalak lalu berteriak. Dia mendongak dan mengamati sekitarnya dengan lebih jelas. Dia tak lagi berada di kamarnya, melainkan tempat yang mirip gua. Cepat-cepat, Amanda turun dari ranjang lalu mencoba berlari. Akan tetapi, tak ada satu pun pintu keluar dari ruangan itu.

“Tolong! Tolong aku!” jerit Amanda sambil mencoba meraba-raba dinding gua. Tangisannya manjadi-jadi seiring rasa takutnya yang kian membesar. Kala masih terus bergerak, tiba-tiba sebuah tarikan, pada lehernya, membuatnya terpental lalu jatuh ke tanah berbatu.

“Aaargh!” Belum pun puas menumpahkan rasa sakit dengan jeritan, Amanda kembali ditarik. Sesosok makhluk dengan wajah dipenuhi luka menghitam mencekik lehernya hingga kakinya terangkat.

Amanda terbatuk-batuk dan mencoba melepaskan tangan berkuku runcing yang mencekiknya. Namun, dia tak kuasa saat kuku-kuku itu terus mencengkeram hingga kulitnya robek dan mengalirkan darah.

Air mata Amanda berlinang. Dia takut sekaligus tak kuasa menahan sakit. Makhluk di depannya dipenuhi sisik, wajahnya hitam penuh bintil-bintil, serta rambut tergerai hingga ke tanah. Matanya yang putih seluruhnya itu menyorot Amanda, membuat ketakutan Amanda makin membuncah.

Sekali lagi Amanda mencoba melepaskannya. Namun, tiba-tiba saja tubuhnya dilemparkan kembali ke tempat yang lebih dalam, lebih dingin, dan menekan pernapasannya hingga menyesak. Saat itulah Amanda merasa dia dilemparkan ke jurang yang dalam, tak berdasar maupun tak bercahaya. Dia melihat di puncak tebing, seorang gadis cantik memandang ke bawah. Amanda tak dapat menebak bagaimana emosinya, tetapi dia yakin gadis itu adalah Kemoja.

Amanda menggeleng lalu menjerit panjang. Meski kemudian, dia terbangun dengan peluh bercucuran. Tangannya meraba-raba lalu berhenti kala yakin bahwa dia ada di ranjang tempat tidurnya.

Mimpinya amat mengerikan. Sungguh Amanda tak ingin melihatnya lagi. Tanpa dia tahu bahwa semua itu adalah awal nerakanya.  

Bersambung ….

Kidung Kemoja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang