Part 18

2.9K 385 7
                                    

Wira merasa gelisah. Matanya susah memejam karena pikirannya terus-menerus melayang kepada Kemoja. Dia bangkit lalu tertatih menggeser tubuhnya hingga duduk di kursi roda. Cepat-cepat dia keluar kamar lalu membangunkan Sarta.

Mendengar suara Wira dan Sarta di luar rumah, Asih bergegas keluar dan menghampiri mereka. Namun, Wira sama sekali tak menanggapi pertanyaannya.

“Kau akan menemui gadis itu, bukan?”

“Bu, aku akan kembali. Aku hanya ingin memastikannya baik-baik saja.” Setelahnya, Wira menyuruh Sarta melajukan mobil.

Asih merapatkan sweaternya sambil memandangi kepergian mereka. Hatinya ikut cemas. Pasalnya gelap dini hari masih menyungkupi langit. Apa jadinya jika ada sesuatu kepada anaknya, pikirnya.

***

Ketika mobilnya memasuki jalan desa, Wira mendengar teriakan penduduk desa dan cahaya api yang membumbung. Jantung Wira merenyut cepat. Dia berdoa dalam hati bahwa apa yang dipikirkannya itu tak akan pernah terjadi. Akan tetapi, saat mobilnya semakin dekat dengan rumah Kemoja, kenyataan menghunjam jantungnya.

Wira membuka pintu mobil. Dia terjatuh kala mencoba turun tanpa bantuan. Bahkan kerikil menggores kulit tangannya, Wira mengabaikan sakitnya. Dia merayap dan memanggil-manggil nama Kemoja.

“Kemoja! Kemoja!”

Sarta cepat-cepat turun dan menghampiri Wira. Ditopangnya pria itu lalu dituntunnya mendekati kerumunan warga yang membawa obor. Di depan matanya, rumah Kemoja telah sempurna dilalap api.

“Kemoja ….” Dada Wira sangat sesak.

Endang menyeringai sinis lalu menghampiri Wira dengan keangkuhannya. “Perempuan itu telah menyantet adikku hingga meninggal. Kami tak dapat menolerir lagi keberadaannya di sini. Kami ….”

Ucapan Endang terhenti kala cekikan kuat membuat napasnya tersengal-sengal. Dia mencoba melepas tangan Wira, tetapi tak berhasil. Cekikan pemuda itu makin kuat.

“Tu, tuan Muda … jangan lakukan itu, Tuan.” Sarta mencoba menarik tangan majikannya. Namun, bagai sebuah batu besar dan kuat, sama sekali tangan itu tak bergeser atau melonggarkan cekikannya.

Warga desa tak berani mendekat. Pasalnya sebagian besar dari mereka bekerja di kebun milik keluarga Wira. Lagi pula, masalah mereka ada pada Kemoja, bukan pada pria itu.

Namun, Wira mengendurkan cengkeramannya kala tiba-tiba rasa sakit bagai mengoyak isi kepalanya. Dia berteriak kencang sebelum jatuh pingsan dengan disangga Sarta. Panik dengan apa yang terjadi dengan tuannya, Sarta lekas-lekas membawanya kembali.

Endang terjerembab ketika Wira melepaskan cekikannya. Dia tersengal-sengal sambil mengelusi lehernya yang dirasakannya hampir patah. Sungguh, jika saja pria itu tidak pingsan, barangkali Endang akan terbunuh malam itu juga. Namun demikian, rasa sakit itu terobati kala melihat kobaran api yang akhirnya merobohkan rumah Kemoja. Dia puas, sangat puas. Gadis itu pasti mati terpanggang hidup-hidup di dalam sana.

***

Ratri duduk di sisi ranjang Endang. Setelah menerima instruksi ibunya, dia tak pernah keluar dari kamar itu. Mayat Lurah Samin sudah dibawa oleh beberapa warga ke rumahnya. Jadi, Ratri tenang tanpa harus takut dengan bayang-bayang mayat pamannya.

Sedang bersiap-siap merebahkan dirinya, tiba-tiba kakinya menyenggol sesuatu di kolong ranjang. Ratri menunduk dan melihat siku pigura yang dikenalnya. Dia mengernyit heran lalu menunduk dan mengambil benda tersebut. Saat dia berhasil mengambilnya, matanya membeliak melihat bayangannya sendiri pada cermin. Tidak, bukan soal bayangan dirinya, tetapi cermin yang ditemukannya adalah cermin kuno milik ibu Kemoja, yang dia yakini telah pecah sebelumnya.

“Tidak!” Ratri menjerit lalu melepaskan cermin itu ke lantai. Dia membelalak saat bayangan pada cermin berubah menjadi wajah Kemoja.

Ratri hendak berlari. Namun, baru pun satu langkah, tiba-tiba kakinya tak dapat bergerak. Dia menoleh dan melihat dari cermin kuno tersebut muncul tangan mencengkeramnya.

“Aaargh! Lepaskan!” Air mata Ratri berburai-burai. Semakin takut, tangisnya makin kuat. Namun, dari luar tak ada yang mendengarnya. Bahkan warga yang diminta Endang berjaga-jaga pun menganggap Ratri telah tertidur pulas.

Mereka tak akan menyangka bahwa di dalam kamar Endang, Ratri menjerit-jerit meminta tolong. Apalagi, ketika Kemoja keluar dari cermin tersebut lalu menatapnya dengan sorot matanya yang hijau.

“Ampun, Kemoja! Ampuni aku. Aku tak bermaksud membunuhmu. Itu … itu ibuku. Dia yang membunuhmu.” Ratri menggeleng-geleng sambil menangkupkan tangannya.

Kemoja menyeringai. Begitu lucu, pikirnya. Endang begitu kuat melindungi Ratri, tetapi anaknya sendiri menjual namanya hanya demi lepas dari maut. Kemoja tertawa, tawa yang membuat Ratri berhenti menangis dan berubah menggigil.

“Tentu saja, kau tak usah cemas. Selanjutnya memang gilirannya membayar semua utang-utang kepadaku, juga kepada ibuku.”

Ratri menggeleng. “Tidak, Kemoja. Semua barang yang kami ambil akan kami kembalikan kepadamu. Tapi tolong … jangan membunuhku. Aku ….”

“Menjijikan!” sergah Kemoja kala mendengar isi hati Ratri menyebut Wira.

Ratri memundurkan langkah dan bersiap berlari. Namun, tiba-tiba saja lehernya disangkut sesuatu lalu tubuhnya ditarik hingga membentur lemari. Dia terbatuk-batuk. Pecahan kaca menancap pada tangan dan punggungnya.

Perih. Ratri merintih. Namun, seolah-olah tak mendengar rintihannya, Kemoja kembali menarik gadis itu lalu membantingnya ke dinding. Bukan saja pecahan kaca yang menancap, bahkan lengannya tergores tanduk rusa yang dipasang pada dinding.

“Aaargh!” Ratri berteriak kala tangannya patah ketika kembali dijatuhkan.

Bunyi patahan itu bagai kidung merdu yang didengar Kemoja. Hanya saja dia tak menyukai suara tangis Ratri yang memanggil-manggil nama ibunya. Saat dia akan kembali mempermainkan Ratri, angin dingin berdersik, membelai rambutnya, seolah-olah sedang membisikkan sesuatu. Sinar mata Kemoja berubah redup lalu dengan sekali lempar, selendang hijaunya menaut leher Ratri kembali.

Kemoja berbalik lalu bergerak melompati penyangga atap. Ketika kakinya kembali menjejak lantai, selendangnya menarik leher Ratri.

Ratri tak sempat berteriak saat napasnya terputus dengan cepat. Hanya beberapa gerakan kejang sebelum terhenti dengan tubuh berayun-ayun.

Kemoja mengaitkan simpul selendang pada pintu kamar. Tanpa menoleh kembali, Kemoja memasuki sisi gelap sudut kamar, menghilang meninggalkan keheningan.

***

Masih memijat-mijat lehernya, Endang kembali ke rumah. Setibanya di teras, dia menyuruh warga yang berjaga-jaga untuk pergi. Dia merasa sudah aman sekarang. Sebab itulah, Endang memasuki rumahnya dengan tenang. Ada kabar baik yang ingin disampaikannya kepada Ratri.

Endang segera mengunci pintu lalu berjalan menuju kamarnya. Dia mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tak ada sahutan.

“Ratri, buka pintunya! Ibu membawa kabar baik untukmu.” Endang terkekeh-kekeh. Dia kembali mengetuk. “Cepat buka pintunya!”

Tak ada jawaban kembali.

Endang mengernyit, keheranan. Ada rasa takut menyelusup dalam hatinya. Maka. Cepat-cepat dia mendorong pintu sambil menekan pegangan pintu.

Brak! Pintu terbuka, tetapi bertepatan dengan itu pula tubuh Ratri terjatuh, berdebam membentur meja dengan posisi telentang. Matanya membuntang dengan lidah menjulur dipenuhi liur.

Endang membelalak. Tubuhnya bergetar hebat. Dia ingin berteriak, tetapi bibirnya tiba-tiba kelu. Kakinya lunglai, bahkan satu langkah pun tak dapat dia lakukan. Endang ambruk terduduk, menangis tanpa suara.

“Ratri …,” sebutnya dengan lirih. Sungguh, suaranya bagai tercerabut, menghilang begitu saja.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Where stories live. Discover now