Part 9

3.3K 408 15
                                    

Sejauh mata memandang, sekeliling rumah besar di atas bukit itu merupakan hamparan ladang dan sawah berundak-undak. Hanya bagian utara bukit yang berbatasan dengan hutan, itu pun dipagar ketat oleh penduduk setempat. Meski demikian, pemandangan hutan yang terlarang itu tak mengurangi keindahan yang disuguhkan oleh alam. Dan Wira menyukai menatap sisi utara bukit, memandangi hutan yang penuh hijau dedaunan rapat, seakan-akan membentuk suatu barisan kegelapan.

Sudah tiga tahun dia tak memandang hutan itu. Dulu saat tubuhnya sehat, dia selalu berlari pagi mengitari bukit lalu berhenti di batas hutan. Di batas hutan itu pula dia bertemu Kemoja, yang melarangnya memasuki hutan untuk berburu. Gadis itu bahkan menakut-nakutinya tentang hutan tersebut sebagai sarang kuntilanak, dan tak boleh dimasuki.

Meski terkesan konyol, tapi Wira menyukainya. Kemoja bertahan menghalanginya sampai kemudian gadis itu dipanggil ibunya yang baru pulang dari ladang. Namun, sebelum pergi, Kemoja sekali lagi memperingatkannya agar tak memasuki hutan. Wira yang biasanya tak pernah menurut, entah mengapa patuh begitu saja, meski Kemoja telah pergi. Dia berbalik kembali memasuki rumahnya, bukan untuk beristirahat, melainkan menanyakan kepada para pekerjanya tentang gadis yang dia temui di perbatasan hutan.

“Oh, sepertinya itu Neng Kemoja, ladang ibunya memang berada di Utara, Tuan.” Salah satu pegawainya menjelaskan ketika Wira menanyakan ciri-ciri gadis itu.

Sejak itu, dia sering ke perbatasan hutan, bukan untuk berburu, tetapi menanti datangnya Kemoja. Setiap pertemuan mereka penuh warna. Bahkan Wira sering menggodanya sepanjang jalan Kemoja pergi ke sungai. Bila gadis itu tengah mencuci pakaian, Wira selalu menghanyutkan pakaiannya agar sampai di sisi sungai, tempat Kemoja mencuci. Mengetahui itu ulah Wira, Kemoja sering melepaskan kembali pakaian itu hingga hanyut semakin jauh. Berkali-kali melakukan serupa, pada akhirnya senyum di wajah ayu gadis itu terbit juga. Kemoja mengambil pakaiannya, lalu mencucinya. Tak perlu kata-kata, hanya dari pandangan mata, Wira tahu gadis itu menerima cintanya.

Bayang-bayang masa lalu itu terputus ketika Wira mendengar suara pintu kamarnya yang dibuka perlahan. Dia menoleh dan mendapati Amanda masuk membawa nampan berisi sepiring makanan dan segelas air putih. Ada beberapa obat di sisi gelas, obat-obatan rutin yang harus Wira minum.

“Waktunya makan, Tante menyuruhku menemanimu.” Amanda meletakkan nampan itu di meja lalu duduk di kursi lain.

Wira menatap makanan tersebut, kemudian mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya.

Amanda tersenyum senang. Dia hendak menyuapi Wira, tetapi Wira menahannya.

“Tanganku tidak cacat, Manda.” Wira mengambil sendok dari gadis itu.

Amanda tersenyum mengangguk. “Aku tahu kau tidak cacat, tapi apa tidak boleh aku melayanimu. Lagi pula, kita ini akan menjadi suami istri. Jadi, dari sekarang aku belajar melayanimu.”

Tangan Wira terhenti ketika hendak menyuapkan makanan. Namun, setelah diam sejenak, dia meneruskan kegiatannya dan mengabaikan ucapan Amanda.

Melihat Wira tak acuh kepadanya, Amanda menghentikan obrolannya. Namun, gadis itu tetap di sisi Wira, menunggu sampai pria itu selesai makan.

Selesai melihat Wira menghabiskan makanannya, Amanda bergegas menyiapkan obat yang harus Wira minum. Dia menyodorkan tiga pil yang berbeda kepada Wira. Saat Wira akan menerima pil tersebut, tiba-tiba saja angin kencang menderu hingga membuat gorden kamarnya berkibar lalu menyapu obat-obat yang berada di nampan. Obat tersebut jatuh berserakan, termasuk yang berada di tangan Amanda sebelumnya.

Amanda tercengang kaget. Wira pun demikian. Obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota. Sekarang obatnya sudah terkena lantai, yang sudah pasti tak bisa dikonsumsi lagi. Wira harus menunggu datangnya obat yang baru.

“Angin sialan! Kenapa bisa jatuh begini , sih?” Amanda mengumpat sambil menatap pil-pil yang berserakan.

“Tak usah dibersihkan, biar nanti Bi Asri saja yang kerjakan,” cegah Wira ketika Amanda hendak membersihkannya.

Amanda mengangguk. “Aku coba telepon pamanku, siapa tahu Paman bisa ke sini untuk mengecek kondisimu dan membawa obat yang baru.”

Wira mengangguk. “Terima kasih.”

Amanda tersenyum lalu berbalik melangkah pergi. Seperginya Wira mengambil air minum, menyecapnya sedikit. Namun, pikirannya kian kacau.

Saat angin kencang tadi datang, dia mencium aroma Kemoja. Dia merasa Kemoja begitu dekat dengannya. Tapi sungguh, Wira tak ingin berpikir demikian. Dia masih berharap Kemoja tetap hidup, bahkan jika desas-desus itu benar, Kemoja lari bersama pria lain, Wira tak mengapa. Dia hanya berharap gadis itu tetap hidup.

Gelas di tangannya gemetar. Wira meletakkannya, menunduk dalam untuk menghentikan laju air mata yang memberontak ingin dikeluarkan. Selalu, hanya Kemoja yang membuat hatinya sangat rapuh.

Di sisi hutan, di balik sebuah pohon trembesi tua, Kemoja menahan degup jantungnya. Lara di hatinya makin menggunung. Kerinduannya tak terperi. Ingin sekali dia muncul dan memeluk kekasih hatinya. Namun, perjanjian yang dia buat kepada penolongnya membuat Kemoja harus meninggalkan orang yang dicintainya.

Dia hanya bisa memandang dari jauh, melindunginya diam-diam, menatapnya dari balik pohon, serta menemaninya dalam gelap malam. Bukan hanya Wira yang merasakan sakitnya, Kemoja harus menahan derita rindu yang berlipat-lipat. Akan tetapi, ini akan seimbang, seiring dendamnya tertuntaskan.

Kemoja mengusap air matanya perlahan. Dia memandang Wira beberapa jenak sebelum mundur dan menghilang direngkuh kegelapan hutan.

***

Di sebuah gua, pada puncak sebuah bukit yang dipenuhi kabut, Ki Darya duduk bersimpuh menghadap altar yang dipenuhi sesaji. Dia merapalkan mantra berkali-kali. Angin berkesiur, dingin, menimbulkan suara gema pada ruang gua. Detik berikutnya suara tawa membahana. Tawa seorang wanita.

“Darya … kau membangunkanku kembali!” Suara tersebut menggaung meski tanpa wujud.

“Ampuni hamba, Nyai. Sungguh, hamba tk bermaksud mengganggu tidurmu.”

“Katakan! Ada apa kau mencariku!”

Ki Darya menangkupkan tangannya di atas kepala. “Nyai, perintah Nyai bertahun-tahun lalu, baru kudapati hari ini tanda-tandanya.”

Hanya suara geraman sebagai balasan. Ki Darya makin menangkupkan sembah.

“Malam sebelumnya, hamba melihat tanda keberadaan gadis prajna, gadis yang ditakdirkan akan menyembuhkanmu, Nyai.”

“Gadis prajna … di mana dia?”

“Saat ini, hamba belum tahu titik keberadaannya, tetapi hamba melihat aura itu berada di suatu desa yang tak jauh dari tempat hamba. Nyai, hamba akan membawanya kepadamu.”

Kembali suara geraman menggema sebagai jawaban.

“Cepat kaucari dan bawa gadis itu kepadaku! Pada tubuhnya pasti ada permata agni. Jika kau mendapatkan gadis itu, permata itu akan membuatmu kebal dari senjata apa pun.”

Ki Darya mengangguk dan kembali menyembah. Angin berkesiur kembali, menggoyangkan obor-obor penerang gua. Setelahnya, suara tanpa entitas itu mereda lalu gua menjadi hening kembali.

Di tebing tinggi, yang berbatasan dengan lautan, Kemoja bersimpuh. Rambutnya berkibar karena sapuan angin laut, terang bulan menaungi tubuhnya. Dia merapalkan mantra.

Tak berapa lama kemudian, ombak besar bergulung-gulung seolah-olah hendak menerjang daratan. Namun, ombak itu berhenti tepat di depan tebing, sejajar dengan kemoja.

Kemoja membuka matanya. Saat wujud seorang wanita muncul di atas ombak tersebut, dia mengaturkan sembah.

“Sembah hamba, Nyai Ratu.”

Bersambung ….

Kidung Kemoja Donde viven las historias. Descúbrelo ahora