Part 21

3.2K 417 23
                                    

“Buat apa kau menyusulku ke sini!” sentak Amanda kepada Andi. Mereka berbicara di sisi halaman lain, lumayan jauh dari yang lainnya.

“Aku tak menyusulmu. Kau lupa, ini rumah tanteku? Apa perlu kuingatkan kalau Wira adalah sepupuku?” Andi tersenyum sinis melihat Amanda memelototinya. “Apa yang kautakutkan? Takut Wira tahu bahwa hubungan kita lebih dari teman? Apa dia tahu bahwa kita sering berbagi ranjang? Dan … apa dia tahu kalau Kemoja ….”

“Cukup!” Amanda amat geram. Dia mengepalkan kedua tangannya menahan marah. Sungguh, dia sangat ingin menyingkirkan pria di depannya itu. Lagi pula Andi sudah tak berguna baginya. Andi memang harus disingkirkan karena terlalu banyak tahu berbagai hal di masa lalu.

Melihat wanita cantik di depannya sangat marah, Andi terbahak-bahak hingga membuat Wira serta lainnya mengalihkan pandangan kepadanya. Dia melambaikan tangan kepada Wira yang disambut pria itu dengan senyum.

“Bagaimana bila kukatakan sekarang, kira-kira akan seperti apa marahnya?” Andi berkata sambil memandangi Wira yang mengobrol kembali dengan Dokter Deni.

“Apa maumu sebenarnya?”

“Janjimu. Kau berjanji akan menikahiku. Ah, tidak … tidak lagi. Aku tak lagi ingin menikahimu, sudah cukup tiga tahun ini kau menjadi teman di ranjangku.”

Amanda sudah mengangkat tangannya berniat menampar, tetapi Andi mengancamnya dengan menunjuk kepada Asih yang mendekati mereka. Segera, Amanda mengurungkan niatnya. Dia berbalik lalu tersenyum kepada Asih.

“Mengapa kalian memisahkan diri, ayo bergabunglah! Andi … Tante ingin sekali mengobrol denganmu, ke mana saja kamu ini?”

“Tante seperti tidak tahu saja, aku ada urusan di kota. Tapi, sekarang tidak lagi dan akan menemani Tante serta Wira di sini.”

“Ya. Tante memang membutuhkanmu mengurus kebun-kebun peninggalan mendiang kakekmu. Sebagai cucu harusnya kamu andil di dalamnya.”

Andi terkekeh lalu mengangguk dan berjanji akan menuruti keinginan Asih. Setelah mendapatkan janji tersebut, Asih kembali meninggalkan keduanya.

“Sudah kaulihat, bukan? Seberapa percaya Tante kepadaku. Jika kukatakan bahwa penyakit Wira pun disebabkan oleh kalian ….”

“Apa maumu, Berengsek!”

Andi menyeringai. “Rumah dan bagian perkebunan milik kakekku. Kau dan ibumu hanya mendapatkan separuhnya, biar aku yang mengendalikan harta Bratajaya.”

Amanda menudingnya, tetapi serta merta tak dapat membalas apa pun ucapannya. Dia berbalik dan kembali ke sisi Wira, berpura-pura tak ada apa pun yang penting mengenai obrolannya dengan Andi.

***

Hari-hari sejak kedatangan Andi membuat Rosi maupun Amanda makin tak nyaman. Pasalnya pria itu selalu mengancam mereka diam-diam. Setiap kali Andi hanya berbicara berdua dengan Wira maupun Asih, Amanda ketakutan. Seperti beberapa malam lalu, kala Andi dan Wira mengobrol lama di ruang kerja, Amanda maupun Rosi dilanda cemas. Mereka lelah dan tak ingin bayang-bayang Andi menghancurkan rencana mereka.

Saat Andi memasuki kamarnya pada tengah malam, dia melihat Amanda hanya memakai piyama tipis duduk di sisi ranjangnya. Andi menyeringai sambil menutup pintu dan menguncinya. Kamarnya berada di bagian belakang, jauh dari kamar Wira dan Asih. Memang sejak dulu, dia selalu merasa dikucilkan oleh kakeknya karena ditempatkan di kamar belakang. Namun, untuk kali ini dia merasa bersyukur, tak akan ada yang tahu bahwa dia dan Amanda terlibat jalinan cinta, meski hanya nafsu semata.

“Bagus! Kau mengerti sendiri apa mauku.” Andi terkekeh-kekeh.

Amanda berusaha menahan amarahnya. Dia menyunggingkan senyum manis lalu mengambil poci keramik berisi kopi kesukaan Andi yang berada pada meja sudut lalu menuangkannya pada cangkir.

“Aku minta maaf,” ucap Amanda sambil menyodorkan cangkir tersebut. “Harusnya aku mengerti bahwa semua rencanaku lancar karena pertolonganmu. Sungguh aku baru menyadarinya sekarang.” 

Andi ingin mengutuk jantungnya yang masih juga berdebar karena suara lembut Amanda. Padahal dia tahu, di balik kelembutannya, Amanda sangat beracun. Akan tetapi, getar-getar yang sejak dulu berada di hatinya, sulit untuk dilesapkan.

“Minumlah,” pinta Amanda.

Bagai terhipnotis, Andi menurut. Diteguknya kopi tersebut dua kali sambil terus menatapnya. Dia takjub karena itu adalah kopi kesukaannya. Sungguh, dia merasa senang dan bangga Amanda mengetahui apa yang disukainya. Rasa senang itu membuatnya kembali meneguk lalu menandaskannya di depan Amanda.

Amanda tersenyum, amat manis. Namun, senyumnya berubah menjadi kernyih penuh ejekan yang membuat Andi mengernyit.

Andi ingin bertanya maksud seringainya, tetapi tak sempat kata-katanya keluar, dia limbung hingga menjatuhkan cangkir yang dipegangnya. Pandangannya mengabur saat menangkap pergerakan Amanda—juga Dokter Deni yang bersembunyi di balik gorden. Andi akhirnya mengerti: dia telah menenggak racun untuknya sendiri.

Rasa pening dan mual tak keruan membuat Andi tak dapat berkutik kala Dokter Deni memasukkannya ke karung lalu menyeretnya. Namun, telinganya masih dapat mendengar meski sayup-sayup. Rosi memerintahkan keponakannya membuang Andi ke hutan.

Guncangan berkali-kali membuat Andi hampir menyerah. Bahkan ketika dia dibanting lalu menggelundung ke semak-semak belukar, Andi tak dapat melawan sama sekali. Dia tak tahu telah berapa lama, tapi dadanya kian sesak, napasnya hampir terputus.

Saat nyawanya hampir lolos, tiba-tiba karung yang membungkusnya dirobek. Pekat, Andi hanya melihat kegelapan. Itu pun pandangannya telah mengabur dan tak jelas pasti. Namun, dalam kesamaran itu dia sangat yakin melihat wajah Kemoja.

“Kemoja,” panggilnya dengan suara lirih, “kau akan menjemputku.” Andi terbatuk-batuk karena sesak yang kian menghimpit paru-parunya.

“Maafkan aku, Kemoja. Maaf aku … ikut membunuhmu.” Tangan Andi menggapai-gapai dan mengenai kain jarik yang dipakai Kemoja. Ah, beginikah jika ajal menjemput, bahkan Kemoja yang telah mati sangat nyata di depannya.

“Amanda … dia yang menyuruhku membuangmu di tebing keraton itu.” Suaranya makin tak jelas. Rasa sesak kian menjadi-jadi lalu berakhir dengan Andi memuntahkan seteguk darah. Matanya membuntang kala rasa terbakar bagai menghanguskan paru-parunya. Dan dalam ajalnya tersebut, bayangan Kemoja makin nyata. Begitu cantik, tetapi amat mematikan.

***

Kemoja melepaskan tangan Andi yang mencengkeram sisi kainnya. Saat memegang tangan itulah, sebuah kenangan memasuki benaknya. Tepatnya, energi kematian Andi mengirimkan semua keinginannya kepada Kemoja. Energi kematian yang membuat Kemoja bergetar dan membelalak. Saat energi itu berhenti pada kenangan Andi melemparkannya ke lautan, Kemoja melepaskan tangannya.

Dia mundur dengan air mata berlinang. Tubuh Kemoja bergetar lalu jatuh terduduk. Dia tak mengetahui apa-apa tentang Amanda dan Andi. Dia tak dapat mengingat memori itu. Sebab itulah, bayangan-bayangan itu bagai menghunjamkan belati, berkali-kali, dan menghancurkan hatinya yang memang telah hancur sejak perpisahannya dengan Wira.

Dalam keheningan hutan, Kemoja menangis. Tangisan yang menumpahkan rasa sakit serta rasa tak berharga. Begitu banyak orang-orang yang ingin menyingkirkannya. Bahkan ketika diberi kesempatan hidup, dia tak dapat mengendalikan kehidupan keduanya secara utuh.

“Wahai alam, apa kesalahanku? Mengapa engkau mempermainkan takdirku?” Kemoja menjerit sambil mendongak.

Jeritannya memecah keheningan. Pancaran energi dari tubuhnya menyabet sepenjuru hutan hingga mendesak makhluk-makhluk gaib yang mengintip dari balik kegelapan, mundur perlahan-lahan. Mereka tak ingin musnah secara konyol karena energi kemarahan sang prajna.

Puas menumpahkan tangis sakit hatinya, Kemoja tersengal-sengal. Dia mendongak lalu menatap mayat Andi. Tangannya mengepal, meraup tanah. Pandangannya menajam dipayungi dendam. Jika kemarin dia melepaskan Wira karena keadaan dirinya yang tak lagi bisa menjadi manusia biasa, tetapi saat ini Kemoja hanya ingin melakukan satu hal:

Menuntaskan apa yang harus dituntaskan.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Where stories live. Discover now