Part 24

2.7K 369 7
                                    

Rosi mondar-mandir di kamar Amanda. Raut wajahnya diliputi cemas: sesekali mengernyitkan dahi, sesekali mengigit bibirnya. Bukan hanya Rosi, Amanda maupun sepupunya pun merasa semua ini terlalu aneh, tetapi nyata mereka rasakan. Dokter Deni yang semula sangat tak memercayai hal-hal gaib, kini mulai ketakutan terhadap entitas tak kasatmata.

“Bu … apa mungkin ini ulah Andi?”

“Orang itu sudah mati.”

“Berarti arwahnya, dia ….” Amanda menggigil.

Rosi menggeleng-geleng, tetapi dia pun tak memiliki jawaban yang tepat. Mereka adalah orang kota. Hal klenik, gaib, atau mistis itu hanya dongeng belaka. Namun, mereka melihat secara langsung bagaimana tulisan ancaman itu muncul lalu menghilang tiba-tiba, tak berbekas sama sekali.

“Tante, sebaiknya kita kembali ke kota. Lagi pula, Amanda membutuhkan perawatan yang lebih baik, obat-obatan semua ada di rumah sakit kota.” Dokter Deni mengusulkan.

“Tidak!” seru Amanda, nyalang menatap sepupunya. “Aku tak akan mau pergi dari sini. Wira sebentar lagi jadi milikku.”

“Jangan gila! Kau tak sadar, nyawamu terancam di sini?”

“Kalau kau mau pulang, pergi saja sendiri!” Amanda melengoskan wajah.

Dokter Deni menoleh pada Rosi, seolah-olah meminta pendapat. Akan tetapi, wanita itu hanya diam, seakan-akan setuju dengan pernyataan Amanda.

“Kalian gila! Aku tak mau ikutan gila karena kalian!” cetus Dokter Deni lalu segera beranjak keluar. Dia berniat pergi dari rumah itu, bahkan menjauhi tante dan sepupunya itu. Meskipun dia bukan manusia baik, rasionalitasnya masih berjalan dan dapat menimbang mana yang baik dan buruk.

Maka, siang itu juga, Dokter Deni bergegas pergi hanya berselang satu jam setelah keberangkatan Wira bersama ibunya. Para pelayan Bratajaya melihat sang dokter berjalan tergesa-gesa sambil sesekali mengumpat. Dia menjinjing koper kecil dan tas berisi peralatan kedokteran lalu meletakkannya di kursi penumpang belakang. Setelahnya, dia melajukan mobil, sesegera mungkin meninggalkan rumah Bratajaya.

Hari itu jalan begitu lengang tanpa satu pun petani yang lewat. Deni bahkan mengamati perkebunan sepanjang jalan, sama sekali tak terlihat sosok-sosok petani. Entah mengapa dia merasa ada kesalahan. Dia tahu betul mata pencaharian penduduk Desa Kahuripan dari perkebunan. Setiap harinya para petani akan turun ke kebun-kebun. Meski hanya beberapa hari dia tinggal di rumah Bratajaya, dia mengamati setiap hari kebiasaan penduduk setempat.

Tiba-tiba, mobil yang begitu halus melaju, berhenti seketika. Deni mengernyit heran. Dicobanya menyalakan mesin kembali, berkali-kali, tetapi mobil tersebut urung menyala. Deni mendongak dan menatap sekeliling, sepi seakan-akan memberitahunya bahwa sesuatu tengan mengintai. Saat itulah dia menyesal kenapa tak bertahan saja bersama Amanda dan Rosi.

Baru kali itu hatinya dipenuhi ketakutan dan kecemasan. Deni melihat berkeliling dengan jantung merenyut kencang. Saat pandangannya kembali ke depan, matanya membelalang. Sekitar jarak lima langkah, sosok Andi berdiri.

Wajah dan tubuh Andi sangat pasi. Lebam membiru menghiasi sekitar mata dan bibirnya. Buih berwarna putih pekat keluar dari mulutnya. Matanya memelotot seakan-akan menuntut Deni selalu menatapnya. Namun, lebih dari itu semua, Deni melihat banyak belatung yang hinggap di bagian-bagian tubuhnya.

“Tidak! Kamu tidak nyata! Kamu hanya halusinasi!” jerit Deni lalu menyalakan mobilnya kembali.

Mesin mobil menyala. Diinjaknya pedal gas dengan tekanan penuh. Mobil melaju sangat kencang, menabrak sosok Andi yang menyangkut di kaca depan.

“Aaargh, pergi …!” Deni sama sekali tak melepaskan injakan gasnya. Mobil semakin cepat melaju hingga kecepatannya menerbangkan dedaunan di pinggir jalan.  

Jalanan yang lengang tiba-tiba saja mulai ramai bermunculan beberapa petani yang membawa hasil panen dengan kayu panggul dan melintas ke tengah jalan. Deni membelalak ketika membanting setir ke kiri, yang merupakan jurang-jurang curam. Mobil tergelincir menabrak bebatuan, sebelum terus melaju dan meloncat memasuki jurang.

Teriakan Deni tertutup oleh benturan mobil. Mobil berguling-guling menghantam terjalnya bebatuan sebelum meledak ketika menghantam batu di dasar jurang. Api membumbung tinggi, membakar daun-daun pepohonan sekitar. Para petani melongok ke bawah jurang, mengutuk mobil gila yang hampir menabraki mereka.

***

Wira kembali ke rumahnya saat petang telah menyapa. Suara guruh bagai menderu dari langit sisi barat, seperti akan hujan besar karena kilat beberapa kali menyambar. Dilihatnya sang ibu telah melaju ke teras karena rinai hujan mulai mengguyur meski tak serentak, hanya butiran-butiran tipis gerimis. Entah mengapa, Wira merasa hujan malam itu membawa berita buruk untuknya.

Sebetulnya berita buruk itu memang telah dilaluinya di rumah sakit. Kematian Andi memukul hatinya. Apalagi cara kematiannya yang dirasanya janggal makin membuatnya penuh pertanyaan. Namun, polisi belum dapat menemukan siapa yang meracuni Andi.

Suara guruh kembali menderu. Wira mengerjap kala butiran dingin makin rebas berjatuhan. Dia berlari cepat menuju teras sambil mengibas-ngibaskan air hujan yang menempel pada jaketnya. Namun, saat itulah dia tercengang menatap ruang tamu. Tak lagi hirau dengan kondisinya, Wira segera masuk dan berdiri di sisi ibunya.

“Ada apa ini?” tanya Wira sambil memandangi dua wanita yang memandangi kamar Amanda yang tertutup.

Endang melirik Wira dengan kerlingan sinis. Rosi tak menjawab, tetapi dari air mukanya penuh ketidaksenangan. Sama dengan Wira, Asih pun kebingungan dengan kehadiran Endang.

“Siapa yang mengizinkannya masuk ke rumah ini?” Wira kembali bertanya.

“Saya! Saya yang mengizinkannya.” Rosi menghadap ke Wira. “Dia datang bermaksud menolong anakku. Apa kau tahu? Amanda terkena tenung seperti penduduk desa sana!”

Asih mengernyit tak suka. Meski dia dekat dengan calon besannya itu, tetap saja tamu rumahnya hanya dia dan Wira yang berhak menerima. “Tapi kau tidak punya kewenangan membolehkan siapa pun masuk ke rumahku, Jeng!”

“Lalu kalian membiarkan Amanda mati karena tenung wanita setan itu?” Rosi meninggikan suaranya.

“Wanita setan? Maksud Jeng Rosi?”

“Ya. Siapa lagi kalau bukan Kemoja. Seluruh penduduk desa tahu, Kemoja adalah wanita setan yang membawa wabah karena ilmu hitamnya.” Endang tiba-tiba membuka suara sambil menoleh dan menatap tajam Wira.

“Aku dan Ki Darya datang untuk membantu kalian terlepas dari kutukan wanita setan itu. Seharusnya kau berterima kasih kepada kami.” Endang mengepalkan kedua tangannya. Melihat sosok Wira, Endang diingatkan kembali tentang kematian Ratri.

Wira tak menggubris ucapan Endang. Dia melangkah ke kamar Amanda berniat mengusir tamu tak diundang yang berada di dalam sana. Namun, Endang bergegas menghentikannya dengan mencengkeram lengan Wira. Sontak, Wira mengibas dan berbalik mencengkeram leher wanita itu. Wira membelalak sebab gerakan dan perlakuannya kepada Endang seperti pernah dilakukannya di masa lalu.

“Wira!” Asih memekik dan segera mendekati anaknya. Ditariknya tangan Wira sehingga anaknya itu melepaskan cengkeramannya.

Endang terbatuk-batuk. Cekikan Wira tak main-main. Menurut Rosi, Wira kehilangan ingatannya tentang Kemoja, tetapi mengapa perlakuannya masih serupa ketika dia menuturkan nama keramat itu.

“Percaya atau tidak, anakmu telah terkena tuju dari wanita setan itu, Nyonya. Cepat atau lambat, dia akan mati karenanya.”

“Aku menolerirmu masuk tanpa izin ke rumahku, tetapi jika kau mengutuk anakku, kupastikan kau akan keluar dengan hina dari rumahku.”

Endang memelotot yang dibalas dengan tatapan tajam Asih. Namun, perselisihan itu terhenti kala Wira mengaduh kesakitan dan memijat kepalanya.

“Kemoja,” sebutnya sebelum kesadarannya jatuh di relung kegelapan.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Onde histórias criam vida. Descubra agora