Part 10

3.3K 418 13
                                    

Endang dan Ratri berdiri di teras rumah Wira. Keduanya tak diizinkan masuk, hanya disuruh menunggu. Sementara pelayan yang menyambut mereka, masuk, dan mengabarkan kedatangannya kepada Asih. Namun, tak menunggu waktu lama sang pelayan keluar dan menuturkan jawaban majikannya: Endang dan Ratri tak diizinkan untuk menemui Wira.

“Kami datang membawa obat untuk Den Wira, tolong sampaikan kepada nyonyamu.”

“Maaf, Bu. Nyonya tak bisa menerima tamu sementara ini.” Selesai berkata demikian, pelayan tersebut segera masuk dan menutup pintu dengan keras. Dia berlaku demikian karena melihat majikannya yang menolak tegas keberadaan dua orang tamu itu.

“Kurang ajar!” Endang menggeram. Dia segera menarik Ratri yang merengek karena tak bisa bertemu Wira.

“Bu, aku tak mau pergi! Aku mau ketemu Wira.”

“Bodoh! Jangan merendahkan dirimu di hadapan wanita tengik itu.” Endang menatap rumah besar Wira dengan tatapan penuh kesumat. “Ibu punya cara untuk membuatnya bertekuk lutut dan memohon-mohon kepada kita.”

Tak menghiraukan Ratri yang masih merengek, Endang menyeret anaknya meninggalkan halaman rumah Wira. Beberapa kali Endang meludah mengingat penghinaan ini.

***

“Lepasin!” Ratri menarik tangannya dari genggaman Endang. “Kenapa tadi Ibu menyerah gitu aja, padahal Ibu bilang punya obat untuk Wira. Kenapa Ibu ….”

“Diam!” bentak Endang sambil memelototi Ratri. “Kalau kau ingin Wira menjadi milikmu, ikuti perintah ibumu.”

“Tapi Bu ….”

“Nanti malam Ki Darya akan datang ke rumah kita. Ibu janji akan mengutamakan kepentinganmu. Jika secara langsung keluarga mereka terus menolak kita, biarkan Ki Darya menggunakan caranya.”

Ratri mengangguk. Kali ini dia lebih menurut, bahkan ketika Endang menarik tangannya kembali. Mereka menyusuri jalanan desa dan beberapa kali berpapasan dengan penduduk. Sampai kemudian, keduanya melewati rumah Kemoja yang telah ditumbuhi ilalang tinggi di halamannya. Dulu, halaman itu penuh bunga-bunga cantik dan tertata apik, tapi kini rumah itu penuh kumpulan belukar.

Endang berhenti lalu memandang rumah tersebut. Rumah itu masih seperti dulu, tetapi Endang merasa ada suatu kehidupan di dalamnya. Entah mengapa, perasaannya tiba-tiba resah ketika melihat rumah itu.

Sama halnya dengan Endang, Ratri memandang rumah itu. Dulu, dia sering bermain di halaman rumah itu. Bersama Kemoja bermain ayunan yang dibuat oleh ayah Kemoja. Ratri lupa sejak kapan hubungan mereka merenggang, dan Ratri tak dibolehkan bermain di rumah Kemoja kembali. Yang Ratri ingat, ibunya pernah ditampar oleh ayah Kemoja. Ya, sejak itu dia dilarang bermain ke rumah ini.

“Ayo pergi,” ajak Endang, tanpa menarik tangannya.

Ratri melihat punggung ibunya yang tampak menyendiri. Baru sekarang dia menyadari mengapa ibunya begitu membenci Kemoja. Namun, terlepas apa pun masalah ibunya, Ratri tak ingin tahu. Baginya, ibunya membantunya mendapatkan Wira lebih penting daripada apa pun.

Saat Ratri akan menyusul ibunya, tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya. “Ratri! Kamu nggak mampir?”

Ratri berhenti seketika. Dia menoleh, membalikkan tubuh, lalu seketika membatu. Di depannya, hanya berjarak lima langkah, Kemoja berdiri dengan penuh senyum. Namun, di mata Ratri, senyum itu terlihat seperti seringai mengancam.

Bibir Ratri kelu. Tenggorokannya bagai tersumbat batu besar. Tangan dan kakinya gemetar. Hingga saat Kemoja mendekat, kaki Ratri tak dapat menopang daya tubuhnya lagi. Dia ambruk, tersengal-sengal sebelum menjerit membuat para warga menoleh ke arahnya.

Saat itulah orang-orang sekitar, yang mengalihkan perhatian pada Ratri, juga melihat sosok gadis berkebaya hijau, yang menenteng tas kain bersulam mawar merah. Kemoja memandangi mereka lalu berhenti pada Endang yang tercengang.

“Bu Endang … aku telah kembali.”

***

Ki Darya membuka matanya ketika angin besar menabrak pintu pondoknya lalu menyapu sesaji yang berada di meja pendek. Angin itu terus menerjangnya hingga tubuhnya terdorong. Meski demikian, dia terus berusaha bertahan.

Bibir dukun sakti itu merapalkan mantra-mantra lalu meniupkannya. Tak lama kemudian, angin besar tersebut mereda, hanya meninggalkan jejak porak  poranda di sekitarnya. Namun, tak ada tanda kemarahan di wajahnya. Sebaliknya, dia tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak.

“Dia muncul. Gadis prajna muncul. Ha-ha-ha ….”

***

Bus lintas kota berhenti di tengah jalan, dekat hutan terlarang yang diberi garis pembatas. Seorang pria dengan rambut gondrong turun dari bus sambil menjinjing tas berisi beberapa potong baju. Baju dan celananya kumal. Janggut hampir menutupi sebagian wajahnya. Setelah tak ada kepentingan lagi, bus kembali melaju meninggalkan pria itu.

Sudah tiga tahun, sahutnya dalam hati. Jaya memandangi hutan sekitarnya lalu berjalan menyusuri jalan besar itu. Jika dia tak salah ingat, ada jalan tembus yang akan membawanya menuju desa Endang, kakaknya.

Selama tiga tahun pelariannya, dia berpindah-pindah tempat. Sampai akhirnya dia mendapat surat dari Samin, kakaknya yang lain, bahwa pria itu telah menjadi lurah. Jaya senang, setidaknya dia akan dilindungi oleh Samin jika suatu saat polisi menemukannya.

Sambil berpikir demikian, Jaya menyusuri jalan dan menuruni undakan tangga batu menuju jalan pintas ke desa Endang dan Samin. Dia bersiul-siul, membebaskan keresahannya selama tiga tahun itu. Bahkan dia telah lupa tentang kejadian Kemoja. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya ingin cepat sampai di rumah Endang atau Samin lalu meminta makan dan minum. Mereka menyayanginya, Samin pasti akan memberikannya tanah dan rumah di sana.

Bayangan indah itu membuat senyum Jaya makin lebar, tak disadarinya seekor ular hitam dengan kepala merah mengikuti jejaknya. Ular itu mendesis-desis, menjulurkan lidahnya. Matanya terus menatap langkah Jaya.

Sementara, di rumah Kemoja, gadis itu telah memasuki rumahnya. Dia memandangi isi rumahnya yang kosong, hanya tertinggal lukisan ibunya yang telah dipenuhi debu. Kemoja perlahan menurunkan lukisan itu lalu menghapus debu yang menebal dengan sapuan tangannya. Pandangannya sendu menatap wajah cantik Padma.

Kegiatannya berhenti kala dia mendengar desis ular yang memasuki rumahnya. Kemoja menoleh dan mendapati ular hitam berkepala merah mendekat kepadanya. Perlahan gadis itu meletakkan kembali lukisan ibunya sebelum mengambil ular itu, mengelus tubuhnya kemudian membelai kepalanya. Sang ular bergelung dalam belaiannya.

Kemoja tersenyum. “Jadi, pria itu kembali ….”

Ular hitam berkepala merah itu mendesis-desis. Kemoja terkekeh-kekeh lalu mengecup kepala si ular.

“Kau ingin membunuhnya?” Kemoja menggeleng-geleng. “Tidak. Itu bukan tugasmu, Merah. Kau cukup melihat dari jauh, menonton bagaimana aku menyajikan kematian yang indah untuknya.”

Kemoja memandang lukisan ibunya kembali. Dia menggeleng dengan pandangan mata penuh amarah. Bayangan-bayangan kematian berkelebat. Rasa sakit tiga tahun lalu masih dapat dirasakannya hingga kini. Angin berembus menyibak rambut yang menutupi mata kanannya. Mata yang berbeda dengan pupil kirinya.

Kemoja menggeleng perlahan. Giginya bergemeletak kemudian berucap, “Tidak. Bukan hanya dia. Tapi mereka.”

Angin berdersik menggesek dedaunan, seakan-akan menyampaikan ucapan pada tiap-tiap daun. Daun saling bersambung menyampaikan kabar melalui sepoi angin gunung mengantarkan aroma-aroma. Dan aroma Kemoja tersampaikan melalui angin yang berkerisik memasuki kamar Wira.

Pria itu membuka matanya lalu menoleh pada jendela yang terbuka. “Kemoja,” ucapnya.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang