Part 23

2.6K 373 6
                                    

Kabut masih menyelimut pagi, begitu pekat, tetapi jeritan dari rumah keluarga Bratajaya dapat didengar hingga ke halaman. Tak ayal, para penghuninya bergegas keluar kamar menuju sumber suara jeritan, kamar Amanda.

Rosi segera mendorong pintu kamar lalu menyongsong Amanda yang terduduk di lantai. Air mata gadis itu berlinang disertai racauan tak jelas.

“Amanda, Nak. Ada apa?”

Wajah Amanda pucat. Bibirnya sedikit pecah karena kering, sedangkan matanya sembab dan memerah. Dia menggeleng-geleng lalu mengulurkan lengannya.

Rosi membelalang. Tidak hanya dirinya, bahkan Asih dan Wira pun terkejut bukan main melihat luka melepuh di bekas tusukan ranting. Yang lebih mengherankan, luka tersebut seperti hidup: bergerak-gerak bagai ingin meletup.

Dokter Deni datang dan langsung menyentuh salah satu tangan Amanda. Namun, ternyata luka melepuh itu bukan hanya di tangannya, melainkan menyelar ke sekujur tubuh. Hanya wajah Amanda saja yang tak tersentuh.

“Kemarin kaubilang luka Amanda akan sembuh cepat. Kenapa jadi begini?” tuntut Rosi sambil melirik keponakannya.

Gelengan Dokter Deni justru membuat Rosi makin naik pitam. “Apa maksud gelenganmu?”

“Tante, Deni perlu memeriksanya lebih lanjut. Barangkali, ranting yang menusuk Amanda itu dari pohon beracun.”

Rosi hampir memarahinya kembali, tetapi Asih lebih dulu menegur, “Kita biarkan dokter memeriksanya dulu saja, Jeng Rosi.”

Amanda dituntun kembali ke ranjang. Namun, dia tak bisa merebahkan diri sebab luka melepuh di punggungnya makin terasa sakit apabila dia telentang. Melihat hal tersebut, Asih mendorong Wira untuk membantu Amanda. Maka, pria itu pun menjadi tempat sandaran Amanda ketika Dokter Deni memeriksanya.

Pemeriksaan itu berlangsung cukup lama. Amanda terus merintih dan menggenggam tangan Wira kala rasa sakit bagai menghunjam sekujur tubuhnya. Akan tetapi, sepupunya seakan-akan belum ada tanda berhenti memeriksa. Itu memang bukan hal yang disengaja karena Dokter Deni memang kebingungan mengenai penyakit yang diderita Amanda.

“Bagaimana?” Wira membuka suara kala melihat kebingungan dalam raut wajah si dokter.

“Tenang saja, ini hanya luka akibat racun,” jawab Dokter Deni sambil mengelap keringat di dahinya.

Wira tak begitu saja percaya, tetapi dia tak ingin memperpanjang masalah. Apalagi bau busuk yang bersumber dari luka melepuh Amanda menyeruak penciumannya. Dia ingin segera menyingkir dan menjauh. “Baguslah,” ucapnya lalu mendorong Amanda perlahan.

Kehilangan sandaran membuat Amanda merintih. Wajahnya dipenuhi duka. Dia berharap Wira meliriknya kembali dan menahan niatnya menjauh. Namun, pria itu tetap melangkah, bahkan keluar kamar.

Tak hanya Amanda yang melihat hal demikian, Rosi bahkan meremas gemas tangannya menahan umpatan. Asih merasa tak enak hati dan hanya tersenyum canggung melihat kelakuan anaknya.

“Saya akan melihat persiapan sarapan, nanti … saya akan bawa sarapannya kemari.” Asih mengangguk lalu berbalik pergi.

Seperginya Asih, beberapa pelayan yang menonton dari luar kamar pun berhamburan pergi. Akan tetapi, satu pelayan yang membawa nampah berisi secangkir teh jahe malah memasuki kamar.

“Diminum tehnya, Non. Ini Den Wira yang menyuruh saya ….”

“Saya tahu, pergi sana!” sahut Rosi memotong perkataan pelayan tersebut.

Si pelayan langsung terdiam, meletakkan cangkir tersebut ke meja lalu bergegas keluar kamar. Di tengah pintu, dia menoleh sekilas sambil menyunggingkan senyuman miring. Kala kakinya melangkah keluar kamar, wajahnya berubah menjadi Kemoja tanpa diketahui siapa pun.

***

“Tak seharusnya kau meninggalkan Amanda begitu saja, Wira. Dia tunanganmu!” tegur Asih kala melihat anaknya berdiam di halaman belakang, di pinggir pembatas besi, dan sedang menatap hutan.

“Aku tak meninggalkannya, Bu.”

“Tapi tingkahmu tadi membuat dia dan ibunya salah paham, Nak.” Asih merapatkan sweter merah hatinya. Angin pagi itu berembus sangat dingin. Kabut bahkan belum sempurna lesap dan masih melingkupi sisi bukit.

Wira sangat ingin membantah, tetapi dia tak bisa mengatakannya secara gamblang bahwa aroma busuk itu membuatnya ingin muntah. Maka, dia terus menerima nasihat dan anjuran ibunya tentang bagaimana seharusnya dia menyayangi Amanda.

Rasa sayang. Wira tak paham dengan hatinya sendiri. Bahkan diyakininya, dia tak pernah menyayangi Amanda sebagaimana sayangnya pria kepada wanita.

Saat Asih masih terus menceramahi Wira, Darsim—tukang kebunnya—datang tergopoh-gopoh. Wira dan Asih sontak menoleh karena panggilan Darsim.

“Nyonya … Tuan Muda … di depan, ada Polisi.”

“Polisi? Kenapa mereka datang kemari?”

“Saya tak tahu Nyonya. Tapi … mereka bertanya apa ini rumah Tuan Andi.”

Asih dan Wira saling pandang. Memang, sejak kemarin Asih tak menemukan keponakannya tersebut. Andi sangat susah diatur, sering pergi tanpa pamit. Asih dan Wira sudah sering melihat demikian, tetapi baru kali ini ada polisi yang mencarinya. Maka, segera keduanya melangkah dan menemui tiga polisi yang bertandang.

Keduanya sampai bertepatan dengan Rosi dan Dokter Deni keluar dari kamar Amanda sehingga mereka pun bergabung menemui ketiga polisi tersebut. Salah satu polisi langsung memperkenalkan diri dan langsung menanyakan perihal Andi.

“Ada seorang warga yang melaporkan kepada kami, jenazahnya terkapar di perbatasan desa sebelah. Setelah kami periksa, ada secarik kertas di saku celananya yang menunjukkan alamat rumah ini.”

“Apa Bapak bilang tadi? Jenazah? Apa yang terjadi pada keponakan saya, Pak? Di mana Andi sekarang?” Asih panik dan maju selangkah mendekati polisi.

Wira menahan bahu ibunya yang gemetar. Dia menggantikan sang ibu bertanya dan menjawab seputar Andi. Hingga kemudian si polisi tersebut meminta mereka datang ke rumah sakit tempat jenazah Andi disemayamkan.

Asih menggerung, menangis penuh duka. Wira memeluk ibunya dan berusaha menenangkan. Ketiga polisi tersebut pamit setelah menyampaikan semua hal. Seperginya polisi tersebut Wira segera membawa Asih ke kamarnya. Namun, luput dari perhatian mereka, Rosi dan Dokter Deni saling menatap dengan hati diliputi kecemasan.

Segera, Rosi menarik keponakannya menuju kamar yang ditempatinya. “Apa yang terjadi? Mengapa mayatnya ditemukan di perbatasan desa?”

Dokter Deni menggeleng. “Tante, aku tidak tahu. Aku sudah membuangnya ke hutan. Hutan belakang sana.”

“Kau sudah memastikan dia mati?”

Dokter Deni meremas tangannya. Ya, benar, dia memang tak memastikan keadaan Andi saat itu. Pikirnya, pria itu pasti akan mati karena ganasnya racun yang diminumnya.

“Su, sudah … dia sudah mati.”

Rosi menggeram kesal.

“Lalu bagaimana mayatnya ada di perbatasan desa yang begitu jauh. Jika waktu itu masih hidup dia pasti akan kembali ke sini. Atau ….” Rosi memelototi keponakannya. “Apa kau yakin saat membuangnya tak ada satu pun yang melihat?”

Dokter Deni menggeleng-geleng. “Aku yakin. Hutan begitu gelap dan menakutkan, kecuali manusia yang ingin melenyapkan nyawa manusia lain, tak akan ada yang datang ke sana.”

Rosi membenarkan perkataan Deni. Tak mungkin bagi manusia yang waras akan datang ke hutan malam-malam. Namun, siapa yang mengetahui kematian Andi selain mereka?

Saat keduanya masih memikirkan hal ini, Amanda menjerit hingga membuat Rosi dan Dokter Deni bergegas menuju kamarnya. Mereka melihat Amanda membelalak, menjerit sambil menarik-narik rambutnya.

“Manda, ada apa? Tenanglah!”

Amanda memelotot, tangannya gemetar menunjuk langit-langit kamar. Langit-langit yang putih bersih itu, penuh noda darah yang membentuk rangkaian kalimat: “Aku menginginkan jiwamu.”

Bersambung ….

Kidung Kemoja Where stories live. Discover now