Part 12

3.2K 417 26
                                    

Ratri tidur, bergelung nyaman. Dia merasa hangat dan bahagia. Ada senyum dalam lelapnya, senyum kepuasan, senyum penuh kemenangan. Padahal sore sebelumnya, dia terus merajuk dan menuntut Endang untuk mempertemukannya dengan Wira. Dia sempat bersitegang sebab merasa ibunya terus mengulur-ulur waktu. Sampai kemudian Endang akhirnya mengalah pergi ke rumah Ki Darya, barulah Ratri tenang.

Malam itu pun dia lalui dengan mimpi indah, bercinta dengan Wira. Mimpi yang amat begitu nyata. Dia dapat merasakan dekapan dan cumbuan pria itu. Bahkan Ratri tak ingin melepaskan dekapannya, dia bahagia. Hatinya membuncah dengan rasa kemenangan. Ya, dia merasa hangat dalam dekapan Wira.

Namun, rupanya, dekapan hangat itu harus terganggu karena suara sorai dan gedoran pada pintu. Ratri mengernyit, merasa terganggu. Dia melepaskan dekapannya pada tubuh hangat di sisinya lalu mengucek mata. Gedoran pada pintu makin kuat disertai teriakan penuh tuntutan.

“Buka, Wanita Sundal! Pezina!”

“Kami tahu kalian berdua ada di dalam! Buka pintunya atau kami dobrak!”

Ratri masih tidak sadar betul. Dia mengerjapkan mata beberapa kali. Sampai kemudian, ketika melihat isi ruangan yang kosong—hanya ranjang beralaskan tikar—Ratri menjegil lalu menoleh perlahan-lahan ke sebelahnya.

Jaya mendengkur pulas. Meski gedoran pintu begitu keras, dia tak hirau. Tubuhnya yang telanjang bulat membuat Ratri langsung mual.

Ratri turun dari ranjang dengan tergesa-gesa. Gerakannya yang kasar membuat ranjang berderit. Justru deritan itulah yang membuat Jaya mengernyit lalu perlahan-lahan membuka matanya.

Tubuh Ratri gemetar. Rasa mual tak lagi dapat ditahannya. Ratri memuntahkan isi perutnya, meski hanya berupa cairan kuning. Namun, bayangan gairah semalam terus-menerus berkelindan dalam pikiran. Ratri semakin menguras isi perutnya.

Jaya memelotot ketika melihat keponakannya berada dalam satu kamar, bertelanjang dada, kain jarik menutupi bagian bawahnya. Dia kebingungan kemudian berubah panik. Apalagi ketika gedoran di pintu makin kasar dan kuat.

“Kau ….” Ratri menuding Jaya dengan tatapan penuh kebencian. Matanya berkaca-kaca. Perasaannya berkecamuk, tetapi yang paling kuat adalah rasa ingin membunuh pamannya tersebut.

Namun, saat ini keadaan tengah kacau. Mereka harus pergi dari ruangan ini sebelum warga menemukan mereka.

Ratri bangkit lalu mengambil pakaiannya, mengenakan sekenanya. Begitupun dengan Jaya, dia segera mengenakan celana dan kemejanya. Pikiran keduanya dipenuhi kecemasan ditangkap para warga.

Brug! Brug! Pintu berusaha didobrak. Jaya dan Ratri membelalak. Mereka, yang tengah mengancing pakaian masing-masing, membatu kala pintu rumah hampir terbuka.

***

“Dobrak saja, Pak! Wanita pezina itu harus diusir dari kampung ini. Biar pun pasangannya adalah adik saya, saya pasti akan bertindak tegas.” Endang makin memanas-manasi.

Pagi itu warga desa yang akan berladang ikut menonton. Mereka ingin tahu kebenaran dari laporan salah satu warga yang melihat Jaya memasuki rumah Kemoja. Laporan tersebut makin diperpanas oleh Endang dan Samin yang berkata akan menegakkan kedamaian di kampung tersebut. Siapa yang berzina mereka harus dihukum berat dan diusir dengan tidak terhormat.

Endang menyeringai sambil menunduk. Rencananya berhasil. Dia tak perlu kembali melenyapkan wanita itu. Idealisme para warga akan membunuh Kemoja tanpa dia harus mengotori tangannya.

“Cepat dobrak! Dobrak lebih kuat!” perintah Lurah Samin sambil berkacak pinggang.

Brak! Empat orang warga akhirnya berhasil menendang pintu rumah Kemoja hingga terbuka. Mereka masuk dan berteriak lantang menyuruh keluar penghuni di dalamnya. Dari dalam rumah suara jeritan wanita dan pria membuat senyum Endang makin lebar.

Kidung Kemoja Where stories live. Discover now