Part 3

3.7K 436 16
                                    

Ratri menutup telinganya rapat-rapat ketika Kemoja menjerit. Hatinya bergelimang rasa takut. Dia takut rasa bencinya berubah menjadi kasihan kepada Kemoja.

Seakan-akan mengetahui perasaan Ratri, Endang segera memapah anaknya lebih cepat menjauhi Pondok. Dia paham lebih baik dengan kebimbangan hati Ratri sebab dulu pun dia pernah merasakannya kala menjebak Padma, meski berakhir gagal.

“Tenanglah, Tri. Menginginkan sesuatu yang besar, kau harus punya keberanian yang besar pula.”

"Ingat apa yang Ibu bilang kepadamu, setelah Ki Darya menodainya, Wira pasti jadi milikmu."

Endang terus mengucapkan bujuk dan janji. Tak masalah bila dia harus berbohong agar anaknya tak berbalik mengasihani Kemoja. Bujukannya itu membuahkan hasil kala raut wajah Ratri kembali tenang.

"Banyak keuntungan bila Kemoja rusak. Kau tak akan dibanding-bandingkan lagi oleh orang-orang bodoh itu."

Ratri mengernyit tak suka. Namun, Endang tersenyum karena telah berhasil menyentil titik kebencian Ratri.

Endang tahu pasti kebencian Ratri kepada Kemoja berawal dari perkataan para tetangga yang membandingkannya dengan Kemoja. Bukan saja dua gadis itu yang dibandingkan, dia dan Padma pun mengalami nasib serupa. Sama-sama janda yang ditinggal mati, tetapi nasib baik lebih memilih Padma karena dianugerahi anak yang mudah disukai oleh siapa pun.

Kemoja seolah-olah memiliki aura yang dapat membuat siapa pun yang memandang akan menyukainya. Terkecuali dia dan Ratri, sepertinya warga sering terkena sihir gadis itu. Tak jarang Ratri sering merasa bagai bayangan Kemoja. Dia hal gelap yang akan menghilang apabila tertimpa cahaya. Dan Endang memahami kegundahan anaknya. Untuk itu, dia harus membalik keadaan dengan cara menistakan Kemoja.
“I, iya, Bu.” Ratri mengangguk dan perlahan-lahan melepaskan tangannya yang menutupi telinga.

Suara jeritan di pondok berhenti berganti hening. Endang menghela napas lega. Tidak seperti ibunya, Kemoja sangat mudah ditaklukkan.

***

Mulut Kemoja dibekap dan tubuhnya didesak ke balai bambu yang beralas kain merah. Kemoja meronta dengan mencakari apa pun yang dapat dijangkaunya. Namun, tenaganya terasa sia-sia kala Ki Darya melepaskan bekapannya hanya untuk menamparnya dengan mudah. Kemoja terjerembab dengan kepala menghantam sandaran balai-balai. Namun, belum sempat mengaduh, gaun bagian belakangnya dirobek begitu mudah.

"Jangan! Kumohon, jangan sakiti aku!" Teriakan Kemoja bercampur sedu. Dia mencecap asin darah dari sudut mulutnya.

Saat ratapannya tak dihiraukan, Kemoja berusaha menarik dirinya, berguling menghindari kangkangan Ki Darya. Namun, pria buruk rupa itu menarik rambutnya lalu membenturkan dahinya ke balai-balai.

"Kau menolakku karena wajahku buruk rupa, kan? Huh?"

Kemoja menjerit ketika Ki Darya mencakar pipi kirinya lalu tertawa terbahak-bahak.

Namun, saat tertawa itulah Kemoja melihat kesempatan. Dia menendang serampangan hingga Ki Darya sedikit  terdorong. Dengan cekatan Kemoja  berguling hingga terjatuh menghantam lantai kayu. Sekuat tenaga, Kemoja berusaha bangkit lalu berlari dengan menerjang meja kecil yang penuh sesaji. Akan tetapi, saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, sebuah tarikan membuatnya kembali dilempar hingga membentur tembok.

"Setan Alas! Beraninya kau menendangku!"

Ki Darya murka. Dia mendelik sambil berkacak pinggang. Nafsu berahinya musnah digantikan angkara murka. Harga dirinya bagai disayat saat gadis muda itu menendang dan mencoba meloloskan diri.

Dengan beberapa langkah lebar, Ki Darya berhasil meraih dan mencengkeram leher Kemoja.

“Tak ada yang dapat menyelamatkanmu. Kau, akan mati di sini dan menjadi makanan peliharaanku.” Ki Darya menggeram dan makin keras mencekiknya.

Napas Kemoja tersumbat. Wajahnya memucat dengan tangan masih tetap berupaya melepaskan cekikan dukun itu. Sesaat kemudian, kala napasnya hampir berakhir, mata Kemoja melihat keris yang disisipkan di pinggang Ki Darya. Akalnya bergerak cepat, dia langsung menghunus keris lalu menggoreskannya ke lengan Ki Darya.

Ki Darya menjerit lalu mundur sambil menutupi luka goresan di lengannya. Dia mendongak dan melihat Kemoja memegang kerisnya. Dia meraung lalu menendang dada gadis itu hingga Kemoja melepaskan keris yang dipegangnya.

Rasa marah yang membuncah dan berkali-kali harga dirinya terluka karena diserang Kemoja, Ki Darya segera mengambil kerisnya. Dia kembali mencekik Kemoja dengan tangan kiri. Kemarahannya telah melumuri akal pikirannya hingga membuat tangan kanannya berayun, menancapkan keris ke mata kanan Kemoja.

Kemoja menjerit. Perih. Kegelapan bagai membetot jalan hidupnya malam itu. Makhluk-makhluk malam berteriak, bersorak menerima kegelapan hati yang baru.

Di luar pondok, Endang bersorak ketika mendengar jeritan panjang Kemoja. Sementara, Ratri gemetar, tetapi menguatkan diri untuk tetap tenang. Dalam pikirannya dia terus menjejali nama Wira sebagai cara agar tak mengasihani Kemoja.

Saat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba pintu pondok terbuka lalu tubuh Kemoja ditendang hingga berguling-guling dan berhenti di depan Endang dan Ratri.

Ki Darya keluar sambil mengacungkan keris berlumur darah. “Buang gadis ini!” perintahnya. “Dan, pergi kalian semua dari sini!”

Endang terlonjak, Ratri menyembunyikan diri di belakangnya.

“Ki, apa yang terjadi?”

Ki Darya memelototi Endang. “Kau! Wanita sialan, aku akan membuat perhitungan denganmu nanti! Bawakan gadis lain yang lebih patuh atau kuambil anak gadismu!”

Endang terbelalak. Bahkan sampai Ki Darya kembali masuk ke pondoknya, dia masih tercengang dengan ancamannya.

“Ap, apa yang terjadi?”

Tiba-tiba Endang melihat Jaya yang berdiri di sisi pohon trembesi.

“Kamu!” Endang menggeram kesal rencananya tiba-tiba berantakan. Lalu dipandangnya Kemoja yang tergeletak penuh darah. Wajah dan sebagian besar gaunnya dilumuri merah darah.

“Bawa dia!” perintah Endang kepada Jaya. Lalu tanpa melihat ke arah Kemoja dia segera menarik Ratri.

Tak ingin mendapat masalah lebih besar, Jaya segera menuruti perintah kakaknya. Meski takut, dia tetap menarik tubuh Kemoja lalu mengangkat dan  meletakkannya di gerbong delmannya.

“Cepat kita pergi dari sini!” Endang merasa cemas. Ancaman Ki Darya biasanya tak main-main. Dia tak akan merelakan anaknya dilahap pria tua buruk rupa itu.

Selesai meletakkan Kemoja begitu saja, Jaya segera melajukan kuda. Kali ini gerakan kudanya agak cepat. Suasana yang telah gulita membuat ketiganya diliputi rasa takut. Penerangan hanya dari lampu kereta yang tak menerangi betul jalanan.

Setelah keluar dari area Ki Darya, Endang menjadi lebih tenang. Dia melongok ke bawah kakinya, memandang Kemoja yang berdarah-darah dan terus mengalirkan darah dari mata kanannya. Endang memicingkan matanya seakan-akan merencanakan sesuatu.

“Berhenti di sini!” Dia menepuk Jaya.

Jaya langsung menghentikan laju kuda lalu menoleh kepada Endang.

“Ada apa, Teh? Ini sudah masuk jalan umum desa, bisa saja kita ditemukan oleh orang-orang desa.”

“Bodoh!” sentak Endang. Dia lalu menunduk kemudian mendorong perlahan-lahan tubuh Kemoja.

Jaya dan Ratri dengan cemas melihat perlakuan Endang. Hingga kemudian, Endang mendorong lebih kuat tubuh tak berdaya itu. Kemoja jatuh di tanah jalanan.

“Bu ….” Ratri memandang, kebingungan.

“Ayo kita pergi. Biar dia dimakan binatang buas hutan sana yang bisa mencium aroma darah.”

Jaya tak berani membantah. Pun Ratri mempercayai semua yang dikatakan dan dilakukan ibunya. Kereta kuda itu kembali melaju meninggalkan tubuh Kemoja yang bersimbah darah seorang diri. 

Bersambung ....

*****

Kidung Kemoja Where stories live. Discover now