Part 8

3.4K 395 25
                                    

“Apa yang kamu lihat itu benar-benar Kemoja?”

“Sungguh, Teh. Saya yakin sekali, dia Kemoja. Dia menatap penuh dendam. Dia … menjadi setan. Dia ….”

“Cukup!” Endang memijit dahinya. Sungguh, dia kesal dengan penuturan Lurah Samin yang berbelit-belit.

Pikiran Endang penuh dengan rengekan Ratri yang memintanya datang ke rumah Wira. Dia mendengar dari warga bahwa keluarga Bratajaya telah kembali. Ratri yang juga tak bisa menghilangkan perasaan cintanya, berniat sekali bertemu dengan Wira. Padahal, Endang sendiri merasa takut dengan ancaman pria itu. Ya, meskipun, desas-desus yang beredar Wira Bratajaya mengalami kelumpuhan.

“Jadi, bagaimana? Saya tak mungkin mengesahkan surat-surat tanah Kemoja, Teh. Dia akan ….”

“Surat itu tetap harus kauubah, Bodoh! Saya tak mau tahu, tanah itu harus segera berubah kepemilikan.”

“Ta, tapi, Teh ….”

Lurah Samin menunduk takut saat Endang memelototinya sebagai tanda tak ingin dibantah. Pada akhirnya, dia memilih mengangguk meski dalam pikirannya terus terbayang sosok Kemoja yang menatapnya dengan tatapan mengerikan. Tak ingin berlama-lama dia segera pamit. Lurah Samin memilih jalan pulang memutar, menghindari rumah Kemoja.

***

Ratri bercermin sambil mengelus-elus rambutnya. Dia mempersiapkan diri tampil cantik jelita, semuanya harus sempurna. Riasan wajah, dia poles secantik mungkin, bahkan gaya rambutnya dia buat mengikuti gaya rambut Kemoja. Ratri kembali mematut diri pada cermin. Bayangannya seakan-akan mengatakan dia telah sempurna.

Setelah yakin riasannya telah sempurna, Ratri mengambil kebaya merah hati yang dia letakkan di ranjang. Dalam pikirannya terbayang-bayang wajah Wira. Khayalannya melanglang buana, memimpikan Wira menyambut dan memeluknya.

Ratri tersipu. Cepat-cepat dia mengganti pakaiannya. Hari ini dia harus bisa menarik perhatian pria itu. Tiga tahun berlalu dia habiskan dengan memperbaiki diri. Tiga tahun ini pula kehidupannya membaik. Rencana ibunya benar-benar mengubah kehidupan mereka dari yang dikucilkan menjadi terpandang. Apalagi lurah yang memimpin desanya sekarang adalah pamannya, tentu rasa hormat warga menjadi berlipat-lipat. Julukan kembang desa yang dulu digeser Kemoja kini beralih kepadanya.

Selesai mengancingi kebaya yang dikenakannya, Ratri memasang bros berbentuk tiga bunga melati. Bros itu dia ambil dari kotak perhiasan milik Kemoja. Dan dia merasa, bros itu lebih cocok dipakai olehnya. Barang-barang yang berada di rumah Kemoja sebagian dipindahkan ke rumahnya, yang tak berguna baru ibunya jual dan hasil penjualannya dia gunakan untuk membeli pakaian baru Ratri. Tak ada yang menghalangi niatnya karena Lurah Samin mengatakan kepada warga bahwa Endang dan Ratri hanya mengamankan barang-barang itu dari penjarah.

Ratri mematut diri pada cermin. Cermin antik itu milik ibu Kemoja. Meskipun kuno, cermin itu masih begitu indah. Ratri sendiri merasa cantik bila memandangi dirinya di cermin itu. Sebab itu, dia selalu berlama-lama di depan cermin. Namun, ketika dia melihat pada cermin tersebut, ada titik hitam di tengahnya. Ratri yakin, sebelumnya tak ada titik hitam yang mengganggu itu. Sebab titik hitam itu merusak bayangan dirinya pada cermin, tepatnya merusak bayangan mata kanannya.

Dengan sebuah kain, Ratri mencoba mengelap titik noda di cermin itu. Namun, titik itu tak bisa menghilang. Bahkan Ratri merasa titik itu makin memanjang bagai aliran tetesan air mata.

Ratri melihat bayangannya pada cermin. Entah mengapa cermin itu menjadi buram, makin buram kala dia mencoba membersihkannya. Namun, noda hitam yang semula hanya titik kini makin meluas.

Tangan Ratri yang menggantung di depan cermin seketika gemetar. Dia menatap cermin itu sekali lagi. Dan dia merasa cermin itu bergetar. Getaran kecil, tetapi menggerakkan posisi cermin yang sedikit bergeser dari tempatnya semula.

Ratri mengulurkan tangan dan memegang pigura cermin. Seketika, dia melepaskannya lalu bergerak mundur. Cermin itu benar-benar bergetar. Getaran yang sebelumnya pelan berubah menjadi cepat.

Ratri membelalang saat cermin yang memburam itu tiba-tiba membentuk sesosok siluet wanita. wanita dengan mata kanannya menetes aliran darah.

“Ti, tidak ….” Ratri menggeleng-geleng.

Dia berbalik hendak pergi. Namun, langkahnya terhenti kala di depannya sosok Kemoja berlumuran darah berdiri. Dari mata kanannya, darah terus-menerus mengucur deras, membasahi lantai kayu, mengalir menuju kaki Ratri.

“Bu … Ibuuu!” Ratri menjerit sambil menggeleng-geleng. Dia menutupi wajahnya sambil terus menjerit memanggil ibunya.

“Ratri … sakit, Tri. Tolooong aku ….”

Ratri makin keras menggeleng dan berteriak. Dia melempari sosok Kemoja penuh darah itu dengan benda apa pun yang dapat digapainya. Tingkahnya makin kalap ketika Kemoja semakin mendekat. Tanpa sadar, Ratri mengambil cermin rias antiknya lalu melemparkannya kepada sosok penuh darah itu.

Cermin pecah, berkecai-kecai. Pintu dibuka dengan sentakan kuat. Endang masuk dan kebingungan melihat porandanya kamar sang anak. Sementara, Ratri gemetaran bersimpuh di dekat kaki ranjang setelah sosok Kemoja menghilang meninggalkan senyuman mengancam.

“Ratri, Nak. Ada apa, Nak?”

“Bu … Bu ….” Ratri langsung memeluk Endang, sangat erat. Dia menangis menumpahkan rasa takutnya.

“Apa yang terjadi?”

“Kemoja ….” Ratri sesenggukan hingga perkataannya tak jelas. “Kemoja, datang. Dia datang ingin membunuhku.”

Endang mengernyit. Dia memindai sekeliling kamar, juga kepada pecahan cermin antik milik Padma. Cermin itu sangat ingin dia miliki karena mengingatkannya kepada Ganta, pria yang dicintainya, pria yang menjadi suami Padma. Namun, sekarang, cermin itu telah lantak tak berbentuk lagi.

“Bu. Kemoja menjadi setan, dia ingin membunuhku, Bu.”

“Ratri, jangan sembarangan bicara. Awas kalau kau membicarakan ini kepada orang lain. Kau ingin kita mendekam di penjara, huh?”

Ratri menggeleng perlahan-lahan. Dia menunduk dan meremas-remas tangannya.

“Tak ada Kemoja di sini, dia sudah mati. Ibu sudah memastikannya kala menendangnya jatuh dari kereta. Yang kaulihat itu hanya bayangan dari pikiranmu saja, Nak. Kau takut Wira mengingat Kemoja kembali, itu yang membuatmu membayangkan Kemoja.”

Ratri memandang ibunya dengan bingung. Namun, karena takut, dia hanya mengangguk mengiakan. Meski dalam hatinya, dia percaya, sosok yang ditemuinya itu adalah Kemoja yang menjadi setan.

“Ayo, sekarang benahi dirimu. Kau ingin bertemu Wira, kan? Ibu akan membawamu ke sana. Namun, ingat, kejadian hari ini jangan kauceritakan kepada siapa pun.”

Ratri memandang ibunya penuh rasa cemas, tetapi kecemasan itu tak sebanding dengan degup jantungnya saat nama Wira disebutkan Endang. Perlahan-lahan, dia dapat menormalkan detak jantungnya yang merenyut cepat karena rasa takut. Degup itu berganti dengan penantian dan harapan akan ketemu sang permata hati.

“Ayo, bangun, kaubenahi dirimu di kamar Ibu,” ucap Endang sambil membantunya bangun.

Disuruh demikian, Ratri langsung bergegas keluar kamar menuju kamar ibunya. Mudah bagi Endang untuk mencuci otak anaknya, perihal sosok Kemoja begitu cepat dilupakan asal keberadaan Wira disebutkan.

Seperginya Ratri, Endang memindai kamar Ratri. Berkali-kali memeriksa tiap jengkal lantai, dia tak menemukan jejak apa pun. Namun, karena sudah dua orang yang bercerita tentang Kemoja, Endang tak bisa gegabah. Besok, dia harus kembali mengunjungi Ki Darya.

Setelah memutuskan demikian, Endang keluar tanpa membereskan barang-barang Ratri yang berserakan. Saat itulah, cermin-cermin yang retak berkecai kembali menyatu utuh. Pada bayangan cermin, muncul sosok Kemoja dengan uraian rambut menutupi sebelah kanan matanya. Ada seringai dalam senyumnya.

Bersambung ….

Kidung Kemoja Where stories live. Discover now