Part 6

3.5K 425 23
                                    


Sejak peristiwa di halaman rumah Kemoja, Asih memilih untuk mengamankan anaknya. Dia bahkan menyewa orang untuk berjaga-jaga di sekitar rumahnya. Asih takut emosi Wira yang tidak terkontrol akan menambah masalah baginya sendiri.

Desas-desus tentang Kemoja makin merebak dan sulit dihentikan. Kemoja hanyalah calon menantunya, Asih tak bisa mengerahkan orang-orang untuk menutup isu tersebut. Terlebih lagi, dia mulai percaya akan cerita yang terus berembus. Beberapa hari lalu contohnya, salah satu pembantu rumah tangganya bergosip tentang Kemoja. Katanya, Kemoja pernah hampir mencuri perhiasan Asih, tetapi karena ketahuan gadis itu berlalu tanpa masalah.

Sungguh, Asih bingung mana yang harus dipercayainya. Ini sudah hampir sebulan setelah menghilangnya Kemoja. Pria yang dipukuli Wira pun ikut menghilang. Ini makin menguatkan isu bahwa Kemoja hamil dan lari bersama pria itu. Tak menutup kemungkinan Wira pun sudah mendengar desas-desusnya.

Asih mengetuk kamar Wira beberapa kali, tetapi tak ada sahutan. Dia menekan daun pintu lalu mendorongnya, pintu tak terkunci. Kamar Wira gelap, pencahayaan hanya dari sinar lampu luar yang memasuki celah gorden. Namun, Asih masih bisa menebak Wira berbaring di ranjangnya. Segera dia menekan sakelar, menghidupkan lampu.

Benar tebakannya, Wira berbaring di ranjang. Matanya memejam bagai tidur pulas. Di sisi-sisinya barang-barang kenangannya bersama Kemoja berserakan.

Asih mendekat lalu menyentuh tubuh Wira. Beberapa kali dia mengguncangnya, tetapi Wira tak juga bangun.

“Wira, Nak! Wira ….” Asih mengguncang lebih keras. Wira bergerak, tetapi Asih merasakan tubuhnya  bergetar.

Asih kebingungan memandang anaknya. Sementara, Wira terbangun, membeliak, lalu memuntahkan darah. Sontak, Asih menjerit dan memanggil para pelayan rumahnya.

Kekhawatirannya akan keadaan Wira membuatnya tak memperhatikan keberadaan Andi yang menyelinap di antara para pelayan. Pria itu bergegas keluar lewat pintu belakang lalu berlari menuruni bukit dan segera pergi mengendarai sepeda motornya yang dia sembunyikan di belakang bukit. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar. Setelah jauh dari rumah Wira, dia berhenti lalu mengusap-usap wajahnya.

“Maaf,” ucapnya entah kepada siapa.

***

Hilangnya Kemoja dan desas-desus tentangnya masih sering menjadi topik utama. Warga yang melintasi rumah Kemoja akan berhenti sejenak hanya sekadar melihat atau memastikan gadis itu tak kembali. Para warga termakan isu yang berkembang, ditambah pula tak ada bantahan atau pihak yang mengklarifikasi.

Bulan demi bulan dan mulai berganti tahun. Nama Kemoja menjadi lelucon sebagai kembang gagal dan bahan ejekan. Lambat laun isu itu mereda, tetapi setiap kali orang mengingat namanya tak ada kesan baik lagi tentangnya.

Ratri terus menambahkan garam pada cerita-cerita tentang Kemoja. Pada akhirnya, warga yang pendek akal tak sadar menerima fitnahan itu sebagai suatu kebenaran.

Pun dengan keberadaan Wira. Pria itu dibawa ke kota karena alasan sakit dan harus berobat di sana. Bahkan Asih pun menyetujui kepindahan anaknya ke kota. Desas-desus tentang Kemoja tak baik untuk Wira. Bahkan sekarang dia berpikir Wira sakit karena terlalu memikirkan gadis itu. Perlahan-lahan Asih mulai tak menyukai Kemoja. Sebab itu, dia memerintahkan para pegawai maupun pelayan tidak menyebutkan nama itu lagi di hadapan maupun di belakang Wira. Nama Kemoja terlarang diucapkan di rumahnya.

Musim bergulir, waktu berputar, dan tahun kini berganti. Tiga warsa telah dilewati  begitu tenang. Masyarakat desa menjalankan rutinitasnya seperti biasa, berladang, berkebun, atau bahkan mencari buruan di hutan. Rutinitas itu dilakukan tanpa hambatan.

Akan tetapi, berbeda pada pagi itu. Mereka dikejutkan dengan air sumur yang berubah menjadi merah. Tidak hanya itu, bahkan air sungai pun dipenuhi bangkai burung gagak.

“Pak Lurah, di hulu sungai burung gagak mati dan bangkainya sampai ke sungai kami. Dilihat dari bentuk dan baunya, bangkai itu sudah lama mati. Air sungai kita tercemar, Pak Lurah.”

Lurah Samin melihat beberapa bangkai gagak yang dibawa warganya. Belum pun dia menjawab, warga lain datang dengan wajah pucat pasi.

“Pak Lurah! Pak … tolong saya Pak, tolong.”

“Ada apa ini? Tenang, tenang ….”

“Pak, di kebun saya ada keanehan. Pohon mentimun yang saya tanam sungguh aneh. Tadi, saya memanennya, tapi mentimun itu tiba-tiba mengeluarkan darah.”

“Di kebun saya juga Pak, saya menanam beberapa sayuran, tapi … sayuran di kebun saya menghilang.”

Lurah Samin berusaha menenangkan orang-orang yang datang. Namun, semakin dia berusaha menenangkan, laporan yang datang makin bertambah. Dia segera menyuruh dua pegawai yang lain mengurusinya.

“Berengsek orang-orang itu, bikin pusing saja.” Dia membanting dokumen pada meja lalu duduk di kursi kepemimpinannya.

Lurah Samin menguap lalu memejamkan mata, mengabaikan teriakan-teriakan warga desa yang melaporkan keanehan-keanehan di sana. Napasnya mulai beraturan dan tak lama kemudian dengkurannya terdengar. Akan tetapi, waktu tidurnya terusik kala hidungnya menghidu aroma amis darah. Begitu pekat, bagai dekat.

Matanya seketika membuka saat aroma itu membuatnya mual. Lurah Samin mengamati ruangannya, memeriksa bagian-bagian bawah meja dan lain-lain. Tetapi tak ada satu Pun sumber amis tersebut.

Dia mengusap hidungnya berkali-kali sebelum kembali ke kursinya bersiap meneruskan tidur. Namun, saat akan memejamkan mata, justru dia merasa kantor desanya begitu sepi. Bukankah tadi dia masih mendengar ocehan-ocehan warga desanya yang melapor. Mengapa sekarang satu suara pun tak ada, pikirnya.

Dengan rasa penasaran, Lurah Samin bergegas keluar dan berjalan menuju halaman kantor. Akan tetapi dia tercengang, membelalak, bahkan memundurkan langkah tiga kali saat melihat bangkai-bangkai gagak berserakan di halaman kantor desa. Yang membuatnya makin heran dan takut, tak ada satu pun pegawai atau orang-orang desa di sana. Sepi. Hanya kesiur angin yang membawa aroma darah bercampur bangkai.

“To … tolong!” Lurah Samin menjerit dan segera berlari meninggalkan kantornya, melangkahi bangkai-bangkai gagak, lalu lintang-pukang di jalan desa.

Sekuat apa pun dia berteriak, Lurah Samin merasa desanya sangat sepi. Dia bahkan tak menyadari melewati wanita berkebaya hijau dengan selendang senada yang menutupi kepala dan setengah wajahnya.

Wanita itu memerhatikan Lurah Samin dengan senyum tanpa emosi. Angin berdesir meniup selendangnya hingga jatuh ke pundak. Helaian rambutnya mengibar menunjukkan mata kanannya yang berbeda warna. Dia tak berkedip, menegaskan dua warna matanya, hitam dan hijau.

Melihat Lurah Samin tak juga berhenti berlari, wanita itu mengangkat tangan lalu mengibaskannya. Sekumpulan lebah kecil, muncul, berdengung lalu berpendar ke berbagai arah.

Angin kembali berkesiur, meniup rambut wanita berkebaya hijau tersebut. Pandangannya mengarah pada rumah di atas bukit, rumah besar bercat putih satu-satunya. Saat itulah, tatapannya merebak sendu.

Dia berbalik lalu berjalan menyusuri jalanan. Seiring langkahnya, dia menjentikkan jemarinya, seketika orang-orang desa yang hilang kembali muncul hingga membuat jantung Lurah Samin merenyut kencang sebelum pingsan di jalanan.

Kemoja melangkah melewati sisi kerumunan yang sigap menolong sang lurah. Mereka kaget tiba-tiba saja lurah mereka pingsan setelah berlari-lari. Tak ada yang menyadari wanita berkebaya hijau memandangi sosok lurah dengan penuh perhitungan.

“Perangkap telah terbuka,” ucap Kemoja lirih, sebelum menghilang ketika salah satu warga hampir menyadari keberadaannya.

Bersambung ....

Kidung Kemoja Where stories live. Discover now