Chapter 2

143 23 6
                                    

***

Adrian mematikan puntung rokoknya. Ia bergegas masuk, hari ini ia memiliki jadwal dengan klien baru. Adrian memiliki sebuah firma yang bergerak pada bidang jasa. Setelah lulus dari pendidikan tinggi bidang hukum dan intelejen, ia ditawari menjadi detektif negara. Namun, ia lebih memilih untuk mendirikan firma sendiri dan menjadi detektif swasta yang tidak terikat. Walaupun kenyataannya dilapangan ia tetap berhubungan dengan aparat kepolisian karena sering diminta untuk membantu menyelesaikan tugas tertentu.

Ia mematut diri di cermin memastikan penampilannya sempurna, kali ini Adrian memilih stelan jas abu-abu. Adrian tak ingin jika kliennya ragu akan kemampuannya karena pakaian yang terlihat biasa. Ia membuka lemari khusus tempat koleksi jam tangannya, ia memilih jam tangan merek Fossil berantai silver agar sesuai dengan stelan jas yang digunakannya.

Bunyi mesin penerima telpon menarik perhatiannya. Ia lalu menekan tombol untuk mendengarkan pesan suara yang masuk.

"Kau sudah dua kali melewatkan sesi bincang kita, Adrian. Seharusnya kau mengerti jika itu berbahaya untukmu." Suara berat dari seberang terdengar kesal.

"Kali ini aku tak akan memaafkanmu jika melewatkan sesi kita sebentar sore. Kau harus datang!"

Bunyi bip mengakhiri pesan suara itu. Adrian termangu, ia benar-benar lupa jadwal terapinya dengan Dokter Evan Mathew, SpKJ, seorang psikiater. Semenjak kejadian lalu, Adrian menjadi langganan Dokter Evan. Ia melirik botol obat diazepam yang tinggal sedikit lagi. Kemungkinan besar dia harus menemui dokter itu lagi hari ini.

Setelah memastikan tak ada yang terlupa, Adrian menutup pintu apartemennya dan berjalan menuju lift dan menekan tombol ground. Adrian bermaksud untuk sarapan di restoran apartemen.

"Kalian tahu wanita yang ditemukan tewas di gudang kosong minggu lalu?"

"Iya, katanya ia masih SMA. Kasihan sekali, ya, pembunuhnya telah tertangkap. Pelakunya lima orang teman sekolahnya."

"Sekarang kita mesti waspada pada siapa aja, kadang teman sendiri yang bikin celaka."

Suara kasak-kusuk tiga wanita dengan seragam mini market bercerita di belakang Adrian yang menyesap kopinya. Ibu kota memang memiliki segudang  perkara. Tingkat kejahatan mulai menyasar pada usia remaja.

Ketiga wanita di belakangnya sedang bercerita tentang seorang gadis remaja yang terbunuh setelah dirudapaksa oleh teman-temannya sendiri. Adrian menggeleng miris, entah mengapa sekarang kejahatan tidak lagi untuk usia lebih dewasa.

Di usia remaja pun tingkat kriminalitas mulai marak. Adrian teringat tentang Kinanti, gadis yang membuatnya mengkonsumsi obat anti depresan dan memutuskan untuk menjadi detektif. Sejak peristiwa di ladang jagung, Kinanti seakan hilang ditelan bumi, orang-orang mengatakan jika gadis itu pergi ke luar kota dimana ibunya bekerja. Selebihnya tak ada orang mengetahui lebih lanjut, seakan Kinanti bukan siapa-siapa yang patut diketahui keberadaannya.

Adrian meletakkan kopinya yang masih setengah gelas lagi, sepertinya ia harus menemui Dokter Evan setelah bertemu klien. Ia bergegas menuju pelataran parkir di basement, menghampiri mobil SUV hitam miliknya. Ia lalu mengendarai mobil kesayangannya itu membelah jalanan kota Jakarta. Firma miliknya tak terlalu jauh,hanya beberapa blok dari apartemen, cuma jalanan ibu kota yang padat membuat perjalanan bisa sampai enam puluh menit lamanya.

Adrian memarkir mobilnya di depan ruko yang ia gunakan sebagai kantor firma. Seorang wanita menyambutnya dengan senyum ramah dan mengantarnya ke sebuah ruangan yang khusus dipergunakan sebagai ruang meeting. Di dalam ruangan terlihat tiga sosok, dua lelaki berstelan jas rapi dan seorang wanita dengan tampilan berkelas dan elegan. Tanpa banyak basa-basi, Adrian memulai pertemuan hari itu dengan baik.

Pertemuan yang diadakan oleh Adrian memakan waktu sekitar dua jam, mereka membahas tentang  suami kliennya yang baru saja meninggal. Wanita itu mencurigai jika suaminya meninggal secara tidak wajar, ia ingin agar Adrian menemukan bukti yang valid tentang hal tersebut. Setelah kesepakatan terjalin pada keduanya, wanita itu lalu pamit diiringi kedua lelaki yang ternyata pengawalnya.

Adrian menekan tombol dial nomor satu pada telepon kantornya. Saatnya memanggil David sang asisten pribadi.

"Tolong bawa berkas permohonan kasus wanita yang tadi," ujar Adrian. Ia menekan tombol Off untuk memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari seberang.

Tak berapa lama seorang lelaki berkemeja biru lengan panjang masuk ke dalam ruang rapat tempat Adrian berada.

"Ini, Pak," ujar asisten pribadinya sembari memberikan amplop berisi  data yang Adrian minta.

"Kau tangani kasus ini sampai saya kembali dari luar kota. Cari data yang diperlukan. Oiya, kosongkan jadwalku untuk besok dan lusa." Adrian mengembalikan berkas yang telah dia periksa pada asistennya.

Dua hari ke depan, ia bermaksud pulang ke kota kakek dan neneknya. Ia bermaksud mengikuti reuni yang diadakan oleh sekolahnya. Ia benar-benar ingin mengetahui keberadaan Kinanti.

Asisten Adrian mengangguk hormat dan pamit untuk kembali ke pekerjaannya. Setelah kepergian sang asisten, Adrian memejamkan matanya bayangan Kinanti kembali melintas. Ia memijit kepalanya yang terasa pening. Adrian merasa kondisinya kembali tidak stabil, ia harus segera bertemu dokter langganannya saat ini juga. Ia membuka mata dan segera beranjak menuju mobilnya lalu melajukannya ke praktik Dokter Evan.

Dan di sinilah Adrian berada saat ini, di atas sebuah sofa empuk panjang berwarna cokelat tua. Di hadapannya seorang dokter lelaki paruh baya menatapnya dengan sorot mata ramah.

"Kau terlihat tidak baik-baik saja, Nak. Kau seharusnya tidak melewatkan sesi terapimu," ujar sang dokter dengan nada khawatir.

Ia memandangi wajah Adrian yang terlihat pucat.

"Kau terlalu banyak minum obat anti depresan, Adrian." Dokter Evan menghela napas panjang.

"Akhir-akhir ini aku tak bisa tidur, Dok. Kinanti selalu saja datang jika aku mulai terlelap, bahkan akhir-akhir ini bayangannya sering melintas walaupun kedua mataku terbuka. Rasanya aku akan benar-benar menjadi gila," keluh Adrian dengan mata tertutup.

Dokter Evan memandang Adrian dengan sorot mata khawatir. "Kau tidak pernah benar-benar memaafkan dirimu atas kejadian yang menimpa gadis itu, Nak. Rasa bersalah akan terus membayangi langkahmu."

Masih dengan mata tertutup Adrian meresapi setiap kalimat yang diucapkan Dokter Evan. Kalimat yang terus terulang sejak hampir sepuluh tahun ia menjadi pasien di klinik ini. Hubungannya dengan Dokter Evan malah lebih dari sekedar dokter dan pasien, Adrian menganggap sang dokter sebagai pengganti papanya yang meninggal dalam kecelakaan delapan tahun yang lalu.

Dokter Evan adalah tempat Adrian mencurahkan rasa cemas dan ketakutan yang selalu hadir pada dirinya. Lalu, kalimat itu, benarkah Adrian tidak pernah benar-benar memaafkan dirinya sendiri? Adrian menggeleng kuat, bagaimana ia bisa memaafkan dirinya yang hanya mampu melihat kejadian yang menimpa Kinanti tanpa berbuat apapun?

"Aku akan kembali ke desa itu besok," sahut Adrian. Ia membuka matanya dan memandangi raut wajah sang dokter dengan seksama.

"Kau yakin?"

Adrian mengangguk mantap, kini posisinya telah menjadi tegak. Ia menghirup udara ruangan praktik Dokter Evan yang beraroma kopi, sangat menenangkan.

"Aku tak bisa membiarkan diriku larut dalam rasa bersalah, Dok. Aku harus memastikan Kinanti baik-baik saja. Aku... aku ingin meminta maaf padanya," ujar Adrian gamang. Ia sendiri tak yakin jika akan berhasil menemui Kinanti.

"Jika menurutmu itu baik, aku akan mendukung setiap langkahmu, Nak. Setidaknya kau bisa hidup tenang dan keluar dari masa lalu yang gelap," ujar Dokter Evan sembari tersenyum menenangkan.

Adrian mengangguk, ia sekarang yakin akan keputusannya pulang ke kampung halaman kakek dan neneknya. Sebersit kekhawatiran hadir dalam sanubarinya jika hal yang ia dapatkan tentang Kinanti adalah hal yang sangat menyakitkan.

KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang