Chapter 15

81 12 2
                                    

***

Cukup lama Adrian menimbang untuk mengangkat telepon dari nomor asing yang masuk ke handphonenya itu. Namun, akhirnya ia menggeser tombol hijau setelah panggilan ke tiga  dan mendekatkan gawainya ke telinga. Jempolnya memencet tombol rekam di layar, entah mengapa hatinya terbersit ingin merekam percakapan yang baru saja terjadi.

"Halo?" ujar Adrian sesaat panggilan terhubung.

Tak ada suara seorang pun yang terdengar dari seberang. Hanya desau angin yang terdengar jelas seakan penelpon berada di sebuah tempat yang luas dengan angin yang bertiup sangat kencang. Ia tiba-tiba teringat angin yang bertiup di ladang jagung, rasa takut mendadak melintas di benaknya.

"Halo?!" Adrian kembali menyahut dengan suara sedikit meninggi, rasa takutnya dikalahkan oleh rasa kesal yang berkecamuk di hatinya.

"A ...dri...an ...."

Suara rintihan seorang wanita menusuk pendengarannya.

"Halo! Siapa kamu?! Jangan main-main!" bentak Adrian, amarahnya kini mulai memuncak. Ia benar-benar lelah dengan semua kejadian yang menghantuinya.

Reina dan Dito yang tertidur di sofa terkejut mendengar suara Adrian yang membahana. Mereka berdua pun akhirnya bangun dari lelap.

"Dengan saudara Adrian Saputra? Saya AKBP Lukman dari pihak polres mendapat nomor anda di hp korban yang berada di TKP." Suara wanit yang merintih tiba-tiba berubah menjadi suara lelaki yang lumayan familiar di telinganya.

"Korban? AKBP Lukman? Ya, saya Adrian, Pak. Ada apa, ya?" Adrian mendadak merasa ganjil dengan panggilan itu.

Reina dan Dito yang baru saja terbangun memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tegak. Mereka ikut memperhatikan Adrian dengan rasa was-was.

"Ada apa?" bisik Rein. Namun ia urun bertanya lebih lanjut karena melihat isyarat dari Adrian.

Adrian menekan jari telunjuknya ke bibir, memberikan isyarat agar kedua temanny itu. Reina dan Dito mengangguk mengerti, mereka kini hanya menyimak pembicaraan Adrian dan orang di telepon itu dengan seksama.

"Ya, nomor Anda tercatat panggilan terakhir yang masuk ke dalam ponsel milik korban. Saat ini saya menghubungi Anda  melalui handphonenya," jelas suara di seberang.

"Korban? Siapa, Pak?" ucap Adrian was-was.

"Korban bernama Joko Wirawan. Dia ditemukan tewas di pabrik kayu milik Herman Sanjaya, beliau diketahui seorang mandor di pabrik ini."

Jantung Adrian seakan meloncat keluar saat mendengar ucapan aparat kepolisian dari seberang telepon. Reina dan Dito tak kalah terguncang, wajah mereka menjadi pucat pasi seperti tak dialiri darah.

"J-joko meninggal?!" sahut Dito tergagap.

Adrian mengangguk membenarkan. Ia lalu meminta alamat jelas tempat kejadian perkara dari aparat yang menghubunginya itu karena ia diminta menjadi salah satu saksi dalam kematian Joko.

Setelah menutup sambungan telepon, Adrian menatap tajam pada Dito. Ia memandang dengan tatapan yang seakan ingin melumat habis Dito hingga tak berbekas. Di saat yang sama, Dito yang merasa terintimidasi menunduk gugup menyembunyikan ketakutannya.

"Kau! Katakan apa maksudmu menggunakan ponselku semalam menghubungi Joko?!" sahut Adrian dengan geram memandang pada Dito yang semakin salah tingkah.

"Dito! Apa maksudmu, hah?!" Adrian kini menggebrak meja ruang tamu.

Untungnya meja itu terbuat terbuat dari kayu jati, hingga tak membuatnya pecah berantakan oleh pukulan Adrian yang sangat keras. Tubuh Dito bergetar hebat, sedangkan Reina memandang Adrian dan Dito secara bergantian dengan sorot mata tak mengerti.

"Katakan! Atau aku akan membunuhmu sekarang juga!" bentak Adrian, lagi.

"A–aku, aku ... tidak menggunakan ponselmu, Adrian! Aku menggunakan ponselku sendiri. Aku ... aku tidak bermaksud apa-apa," cicit Dito. Bulir keringat dingin mengalir deras turun membasahi wajahnya yang pucat.

"Bohong! Kau pasti merencanakan sesuatu, Dito! Semalam kau bilang akan menguhubungi Joko dengan ponselmu, lalu mengapa saat Joko tewas panggilan terakhir di ponselnya adalah nomor ponselku?!" Adrian menatap nyalang pada Dito yang semakin tidak tenang di tempat duduknya.

"A–aku bersumpah, Adrian! Aku tidak menggunakan ponselmu! Lagian aku tak tahu pasword ponselmu! Bagaimana mungkin aku menggunakan handponemu menelpon?!" sahut Dito. Tangannya berulang kali menyeka keringat dingin yang kini membasahi hampir seluruh badannya.

Adrian tertegun mendengar ucapan Dito. Benar juga, tak ada seorang pun yang mengetahui sandi ponselnya, termasuk Dito. Jadi bagaimana mungkin Dito bisa menggunakannya untuk menelpon Joko sesaat sebelum kematiannya? Seingatnya pun semalam ia tak pernah menelpon Joko, ia hanya mengetahui kondisi terakhir Joko dari percakapan Dito.

"Aku harus ke TKP sekarang juga!? Misteri ini membuatku sakit kepala! Aku harus memastikan kondisi Joko!" seru Adrian.

Ia tiba-tiba berdiri dan beranjak keluar ruangan. Ia meninggalkan Dito dan Reina yang terperangah tak memprediksi tindakan Adrian yang tiba-tiba.

"Adrian! Tunggu aku ikut!" Reina yang tersadar akhirnya bergegas menyusul Adrian yang kini telah menghilang di ruang depan.

Dito memandangi kedua temannya yabg pergi dengan pandangan nanar. Ia meremas rambut ikalnya yang terasa lepek karena keringat. Ia tak ingat kapan terakhir kali ia keramas dan mandi dengan baik. Ia termangu, kini Joko salah satu temannya telah tewas menyusul Wandi, bisa jadi berikutnya adalah dirinya. Bulu kuduk Dito meremang, ia memeluk tubuhnya sendiri. Ia tahu bahaya sebentar lagi mendatanginya, menemukannya, cepat atau lambat.

Reina hampir berlari ia mengejar Adrian yang kini telah siap meluncur menggunakan motor hitamnya. Dengan sigap ia merentangkan tangannya ke arah motor Adrian yang baru saja ingin melaju. Wanita itu  tak mau berpindah dari tempatnya walaupun Adrian berkali-kali membunyikan klaksonnya.

"Naik!" Dengan malas Adrian akhirnya memerintahkan Reina untuk segera naik ke boncengan di belakangnya.

Reina langsung tersenyum senang saat mendapat respon baik dari Adrian. Ia segera naik ke atas sadel motor Adrian yang lumayan tinggi untuk ukuran tubuhnya. Adrian memutar kedua bola matanya dengan kesal saat gerakan Reina seakan memperlambat waktu mereka.

"Bisa cepat tidak, sih?!" sahut Adrian kesal.

"Bisa sabar gak jadi orang?! Kamu kira gampang naik diboncengan motor setinggi ini?!" jawab Reina tak mau kalah.

"Salah sendiri mau ikut!"

"Kamu aja yang gak sabaran! Jadi laki itu harus sabar ngadapin cewek, Adrian!" cecad Reina. Walaupun susah payah akhirnya ia bisa duduk dengan baik di belakang Adrian.

"Bawel!"

Adrian segera menarik gas motornya dengan kencang. Dengan hentakan yang keras motornya melaju dengan kecepatan tinggi.

"Adriaaan!" Reina mencengkram kuat tubuh Adrian agar tidak jatuh karena sentakan motor sebelum melaju.

Sebuah lengkungan terbit di sudut bibir tipis Adrian, ia lalu melihat kedua tangan Reina yang melingkari perutnya. Ada rasa hangat menjalari hatinya, tetapi itu hanya sebentar, kilatan aneh kembali terlihat di mata elangnya.

Motornya melaju ke arah utara dari villa Dito berada, sepanjang kiri kanan jalanan kini hanya di tumbuhi oleh pohon besar dan rindang. Sinar matahari yang mulai meninggi tak mengubah suasana hutan yang dilewati kedua manusia di atas kuda besi itu. Pepohonan yang tinggi dan rapat membuat sinar matahari tak mencapai dasar hutan.    Mereka masuk ke dalam hutan lindung tempat area kerja perusahaan dan pabrik kayu Herman Sanjaya berada. Adrian tak sekalipun menurunkan kecepatan motornya, ia ingin segera sampai di lokasi kejadian.

Aroma udara hutan yang lembab  dan bayang-bayang pohon membuat suasana sedikit mencekam. Adrian tetap melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, sedangkan Reina semakin mengencangkan pelukannya ke arah perut Adrian. Pikiran Pikirannya kini tertuju di lokasi pembunuhan kedua, lokasi pembunuhan Joko Wirawan. Entah misteri apalagi yang menunggu kedatangan mereka di sana.

TBC

KinantiWhere stories live. Discover now