Chapter 4

97 20 11
                                    

"Ki? Kinanti?!"

Adrian berteriak memanggil Kinanti saat beberapa meter lagi sampai di pinggir ladang. Ia mempercepat langkahnya dan membayangkan wajah dan senyum indah yang akan menghiasi wajah Kinanti setelah ia sukses mendapatkan selendang itu. Namun, daun jagung yang berjejer rapat membuatnya sedikit kesulitan, ia harus bersabar agar tidak terluka karena sayatan daun jagung yang lumayan tajam.

Kening Adrian berkerut saat ia tak menjumpai Kinanti di tempat mereka terakhir kali berpisah. Adrian yakin jika Kinanti tak akan meninggalkannya, apalagi selendang kesayangannya hilang. Lalu kemana Kinanti sebenarnya?

Adrian menatap kanan kiri jalan yang hanya ditumbuhi rimbun pohon jagung seluas mata memandang. Hanya ada sebuah gudang tua di tengah ladang yang biasanya digunakan menampung hasil panen jagung, selebihnya tak ada apapun lagi. Pun rumah warga tak ada  dekat sini, jadi mustahil jika Kinanti menumpang duduk menunggu di rumah warga. Dan lagi, apa ada warga yang bersedia jika Kinanti bertamu di rumahnya? Sedangkan stigma gadis pembawa sial melekat pada diri gadis itu. Lalu, kemana Kinanti?

"Ki! Kinanti!" Adrian mulai memanggil nama gadis yang disukainya itu.

Ada gurat khawatir melintas di benak Adrian, tetapi ia menepis semua pikiran buruknya dan mulai berjalan kembali menyusuri jalan. Ia berharap jika Kinanti memang telah lebih dahulu sampai di rumah neneknya. Adrian tak akan marah jika memang benar Kinanti meninggalkannya di tengah ladang jagung. Bukankah itu lebih baik dibandingkan terjadi sesuatu yang buruk pada Kinanti?

"Kinanti!"

Adrian kembali berteriak memanggil nama Kinanti lebih keras. Suasana ladang jagung mulai gelap dan mulai menyeramkan bagi Adrian. Ia bergegas lebih cepat, rumah kakeknya masih lima ratus meter lagi. Bangunan di tengah ladang yang biasa digunakan menyimpan hasil panen terkenal angker oleh warga desa, ia kini berlari agar bisa segera melewati bangunan itu.

"Tolong!"

Langkah Adrian terhenti saat sayup telinga mendengar teriakan seseorang meminta tolong. Suara itu berasal dari bagunan tua di tengah ladang. Ia memastikan pendengarannya, bisa saja itu cuma hayalan atau suara desau angin semata, bukan?

"Adrian! Toloong!"

Suara itu terdengar lagi, bahkan kali ini memanggil namanya. Suara itu kali ini disertai rintihan.

"Kinanti?"

Badan Adrian kini tegak menghadap bangunan yang berada di tengah ladang. Ia merasa sesuatu memanggilnya ke tempat itu. Angin sore yang berembus terasa dingin menerpa tubuh Adrian, membuat bulu kuduknya seketika meremang. Sebentar lagi malam menjelang, pucuk-pucuk jagung yang bergoyang kini tak lagi indah di mata Adrian, tetapi membawa aura yang menyeramkan. Logikanya mengatakan agar segera pergi dari tempat itu, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar. Dia ingin membuktikan pendengarannya salah.

"Rasa ingin tahu yang berlebihan suatu saat akan membuatmu terbunuh, Adrian," rutuk Adrian pada dirinya sendiri.

Perlahan kakinya melangkah menuju bangunan tua yang kini semakin tampak menyeramkan. Malam benar-benar telah turun dengan sempurna, ia berjalan dengan hati-hati. Selain tak ingin merusak tanaman jagung orang, ia juga harus menyesuaikan langkahnya menyusuri bedeng-bedeng tanaman yang sempit.

Adrian memilih memutari bangunan tersebut, jarak bangunan sekitar seratus meter dari jalan desa. Semakin jauh langkahnya, Adrian semakin merutuki dirinya yang nekat melakukan hal ini. Udara mulai terasa dingin, kabut tipis mulai turun, tetapi tidak membuat surut keringat Adrian yang mengucur semakin deras. Suasana ssmakin mencekam, tak ada bunyian lain, Adrian bahkan bisa mendengar deru nafasnya sendiri. Entah mengapa malam ini begitu sunyi, bahkan binatang malam pun tak bersuara.

KinantiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora