Chapter 19

45 5 0
                                    

***

Adrian masih mengamati ceceran darah joko yang terlihat aneh olehnya ketika deru mobil memasuki halaman pabrik. Sebuah mobil SUV hitam dengan pongah terparkir depan pintu pabrik tanpa mengindahkan seruan petugas yang sedang berjaga agar tidak merusak TKP.

"Orang merepotkan telah datang," keluh Herman seraya beranjak menuju pintu pabrik menyambut orang yang baru saja turun dari SUV.

Adrian berdiri tegak melihat siapa gerangan yang di maksud oleh Lukman. Seorang lelaki seumuran Adrian turun dari mobil, dari perawakannya ia langsung tahu jika yang datang adalah Herman, pemilik pabrik kayu ini.

Herman dengan pongah melangkah menuju ke arah Lukman dan Adrian. Ia berjalan di depan sementara dua pengawalnya yang menggunakan jas serba hitam mengikuti di belakang. Tak berapa lama ia telah sampai di hadapan Lukman dan Adrian.

"Jadi, apa yang terjadi di pabrikku, Lukman?" sahut Herman tanpa basa-basi layaknya pejabat korup lainnya. Tingkahnya membuat Adrian geram.

Lukman tersenyum santai mendengar ucapan Herman yang tak ada sopan santunnya.

"Yah, seperti yang Anda lihat, salah satu pekerja Bapak ditemukan meninggal secara mengenaskan."

Herman lalu melangkah ke arah mayat Joko yang masih belum di angkat. Mimik jijik langsung terlihat jelas di wajahnya, dengan santainya ia meludahi tubuh Joko.

"Bereskan saja, Lukman. Aku tak ingin ada ribut-ribut di wilayahku. Kau tahu sebentar lagi ada pemilihan caleg, aku tidak mau gara-gara masalah ini peluangku hilang."

"Apa maksud kamu, Herman?!" Adrian mulai kesal terhadap sikap Herman yang tak memiliki empati pada nasib Joko. Bagaimanapun Joko adalah salah seorang kawan lamanya.

Herman memandang tajam pada sosok Adrian yang berada di samping Lukman. Tampak jelas raut wajahnya yang tidak menyukai ucapan Adrian padanya.

"Ah, Adrian. Aku tak menyangka kita akan bertemu di tempat ini. Aku kira detektif recehan sepertimu tidak pantas dengan kasus di pabrikku," ucap Herman dengan nada mengejek.

"Apa maksudmu?!" Adrian ingin menghampiri Herman, tetapi tangannya ditahan oleh Reina.

Kedua pengawal Herman kini bersiaga di belakang bosnya.

"Saya kira tak perlu ada pertumpahan darah lagi di tempat ini, Tuan Herman. Saya hanya ingin Anda memperjelas maksud dari perkataan Anda barusan," tegas Lukman dengan suara datar.

"Aku tak ingin kasus ini dilanjutkan, Herman. Cukup jadikan kasus kecelakaan pekerja seperti biasa. Untuk ganti rugi, gampanglah itu," ujar Herman terkekeh.

Adrian semakin geram menatap pola tingkah Herman. Ia benar-benar ingin memukul wajah lelaki yang berada di hadapannya itu. Sifat sombong dan angkuh Herman benar-benar tak berubah.

"Maksud Tuan Herman bagaimana? Ini kasus pembunuhan dan sudah masuk dalam ranah kriminal," sahut Lukman dengan nada meninggi.

"Cukup! Pokoknya aku ingin kasus ini ditutup. Aku tidak mau tahu! Joko mau mati dibunuh kek! Mati bunuh diri kek! Bukan urusanku! Awas jika kau berani melanjutkan kasus ini, Lukman. Aku pastikan karirmu di kepolisian akan berakhir saat ini juga! Dan kau Adrian. Jangan coba-coba ikut campur urusanku jika kau masih ingin bernapas lega di dunia ini. Ingat itu!" bentak Herman sembari berbalik menuju mobilnya.

Bunyi decitan tajam terdengar saat mobil Herman melaju meninggalkan lokasi pabrik.
Lukman dan Adrian memandang benci pada mobil yang semakin jauh membawa Herman pergi.

"Brengsek! Brensek!" umpat Adrian jengkel.

Lukman hanya terdiam, sesaat berikutnya ia mengisyaratkan pada anggotanya untuk memasukkan tubuh Joko ke dalam kantong Jenazah.

"Siapkan semua peralatan. Bawa jenazah ke rumah sakit bayangkara. Buat laporan kasus kecelakaan kerja dan segera tinggalkan tempat ini," ucap Lukman memberikan instruksi pada asistennya.

"Kasus kecelakaan kerja? Maksud kamu apa, Lukman?!" Adrian menarik kerah baju Lukman. Ia tidak terima jika kasus ini ditutup begitu saja.

Lukman menepis tangan Adrian.

"Kau sudah dengar yang kukatakan Adrian. Aku tak bisa melawan kehendak Herman, " sahut Lukman pelan.

"Ini murni kasus pembunuhan, Lukman!"

"YA! ini memang kasus pembunuhan, Adrian! Asal kau tahu saja, pembunuhnya masih berkeliaran di luar sana! Tapi, kita tak bisa apa-apa dengan kekuasaan milik Herman! Ada banyak hal yang dikorbankan demi melanjutkan kasus ini!"

"Kau takut! Kau hanya takut jabatanmu hilang! Begitu kan, Lukman!" sahut Adrian marah.

Mata Lukman memerah saat Adrian melecehkan harga dirinya. Ia bukan taku jabatannya hilang, tetapi ....

"Jaga bicaramu, Adrian! Lihat sekilingmu, apa yang kau temukan?! Hah?! Bukan hanya aku yang akan kehilangan pekerjaan, tetapi mereka semua akan ikut dalam barisanku. Apa kau tega melihat keluarga mereka kena imbasnya?! Pikir kamu!" hardik Lukman.

Adrian terdiam, ia mengamati wajah-wajah petugas yang sedang melakukan pembersihan lokasi. Benar yang dikatakan oleh Lukman, bukan hanya dia yang akan dicopot dari kepolisian, tetapi semua petugas yang menangani kasus ini akan kena imbasnya.

"Kau tidak mengerti posisiku di sini Adrian. Aku bukan hanya menjaga jabatanku, tetapi aku juga harus menjaga semua anggota-anggotaku. Betapa egoisnya aku jika karena kasus ini mereka harus kehilangan pekerjaan."

"Maaf," ujar Adrian lirih.

Adrian sadar jika kekuasaan Herman dan keluarga mampu berbuat apa saja, bahkan bisa membeli nyawa seseorang.

Lukman menepuk pundak Adrian, ia mengerti jika jiwa Adrian saat ini masih realistis, masih mengandalkan logika tanpa mengerti ada hal-hal yang harus dipikirkan selain mengedepankan ego.

Adrian tercenung melihat kantong mayat berwarna kuning melintas di hadapannya. Tangannya mengepal kuat, bahkan saat ini ia tak mampu melakukan apapun untuk membuka kebenaran. Kejadian Kinanti seakan berulang kembali. Ia merasa masih menjadi seorang pengecut yang hanya bisa melihat ketidakadilan di hadapannya tanpa mampu berbuat apapun.

Sebuah sentuhan hangat membuyarkan lamunannya, ia memandang Reina yang menggengam tangan kirinya.

"Kau tak bisa berbuat apapun, Adrian. Jangan menyalahkan dirimh. Mungkin juga itu adalah balasan untuk Joko akibat perbuatannya dahulu," sahut Reina pelan. Ia memandang lekat manik kelam Adrian.

Adrian melepaskan genggaman tangan Reina. Hatinya berdesir hangat karena perlakuan gadis itu. Namun, sudut hatinya menolak dan tak mengizinkan untuk menerima perlakuan itu.

Reina tertunduk malu, ia benar-benar merasa ditolak oleh Adrian. Ia memandang tangannya yang kini menggantung di udara. Ia tak menampik jika ia mulai menyukai lelaki itu.

Akhirnya lokasi pabrik telah selesai di bersihkan. Jenazah Joko pun telah dibawa ke rumah sakit, semua anggota kepolisian pun telah pergi. Tinggal Adrian, Reina dan Lukman beserta asistennya yang berada di pabrik.

"Case Closed, Adrian! Jangan menyalahkan dirimu, tak selamanya kita mampu menjalankan semua sesuai keinginan kita. Aku harap di kasus berikutnya kita tak bertemu lagi," ujar Lukman terkekeh sembari menepuk pundak Adrian.

Lukman dan asistennya masuk ke mobil dan meninggalkan Adrian yang terdiam. Masih sempat ia melihat lambaian tangan Lukman dari kejauhan.

"Aku tak yakin kita tak akan bertemu kembali, Komandan," gumam Adrian.

Reina mendongak menatap wajah Adrian. Raut wajah Adrian menggelap dengan sorot mata yang dingin, membuat Reina refleks memeluk dirinya sendiri.

'Adrian, aku mohon berhentilah sebelum semuanya terlambat,' sahut batin Reina.

Mendadak Adrian menoleh ke arah Reina yang sedang memperhatikannya. Ia tersenyum miring, wajahnya terlihat menyeramkan. Reina buru-buru memalingkan wajah, bulu kuduknya meremang, ia tak ingin menatap Adrian lebih lama.

"Ayo, pulang!" ujar Adrian dengan suara yang serak.

Bersambung.

KinantiWhere stories live. Discover now