Chapter 7

75 17 5
                                    

***

Adrian memandangi bagunan berlantai dua dihadapannya, ia mengamati sekeliling gerbang yang banyak disematkan spanduk dan ucapan suka cita atas acara reuni akbar kali ini. Ya, saat ini Adrian berada di sekolahnya, semuanya berubah, mulai bangunan hingga tata letak sekolah. Seingatnya di tengah sekolah dahulu masih rawa, kini telah berubah menjadi lapangan upacara dengan lantai beton, sedangkan samping kiri kanan lapangan tempat bermain basket dan volli.

Para alumni terlihat memasuki ruang acara reuni diadakan, Adrian sibuk memperhatikan orang-orang yang datang, mencari yang masih bisa ia kenali. Bagaimana tidak? Ia pindah ke sekolah ini saat naik keas tiga, jadi rupa teman sekolah tidak terlalu diingatnya. Namun, kali ini ia bukan mencari teman sekelas, tetapi penampakan Herman dan keempat kawannya, ia sangat penasaran bagaimana rupanya.

Acara diadakan di gedung serba guna sekolah, meja bundar yang tertutup taplak putih menjuntai disusun dengan tiga sampai empat kursi mengelilingi. Adrian memilih duduk di meja yang dekat dengan tiang sekolah, agak menyudut memang, tetapi ini ia lakukan agar bisa dengan leluasa mengamati orang yang datang. Toh, ia kesini tujuan utamanya bukan murni bertemu teman sekelas dulu.

Detik akhir acara dimulai, Adrian melihat segerombolan yang terdiri dari lima orang masuk dan menghampiri meja paling depan lalu duduk dengan santainya. Adrian mendongak memperhatikan raut wajah mereka, tidak salah lagi, itu Herman dan kawan-kawannya, walaupun terlihat lebih dewasa tingkah pongah mereka masih terlihat terbawa dari dulu.

"Akhirnya aku menemukan kalian," gumam batin Adrin.

Ia lalu mengambil sebuah minuman ringan dan sebungkus kue lalu melangkah ke arah meja tempat Herman duduk.

"Hei, apa kabar semua? Boleh gabung?" ujar Adrian saat sampai di meja Herman.

Kelima orang di meja menatap Adrian dengan pandangan menyelidik dan menilai. Mereka memang tidak terlalu saling mengenal karena berbeda kelas.

"Kamu Adrian, kan?" Akhirnya Wandi yang bertubuh gempal berucap, ia sibuk mengusap dahi dan lehernya yang tidak pernah kering.

Adrian mengangguk dan mengambil tempat di samping Wandi yang masih kosong, meja mereka memang diperuntukkan untuk enam orang, jadi masih ada sisa kursi yang lowong.

Herman yang menatap angkuh mengedikkan bahu, ia merasa tak masalah, toh, Wandi mengenal Adrian.

Selanjutnya acara berlanjut, tak ada interaksi yang berarti dari kelima orang itu. Kadang Adrian merasa jika persahabatan kelima orang ini sangat tidak sehat, saling menjatuhkan, di mana Herman yang menjadi sangat superior di antaranya. Cerita di dominasi dengan sanjungan pada Herman yang ternyata menjadi seorang anggota legislatif dan pengusah kayu hitam atas warisan  orang tuanya.

Adrian hanya menyimak, dari percakapan mereka ia mengetahui bahwa Dito sekarang menjadi seorang dokter, Joko adalah manager di perusahaan kayu hitam Herman, Wandi menjadi guru, dan Sandi seorang Chef di sebuah hotel berbintang.

"Jadi, bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Wandi yang berkali-kali mengusap wajahnya dengan sapu tangan.

Ia masih saja kikuk walaupun kini telah menjadi seorang guru. Adrian tidak bisa membayangkan bagaimana tampilan Wandi di depan murid-muridnya.

"Aku? Aku hanya pekerja lepas, Wan. Tidak ada spesial, kok," ucap Adrian santai sembari mengunyah hidangan yang disuguhkan panitia padanya.

Wandi mengangguk mengerti, sedangkan ke empat temannya yang lain hanya melirik sekilas.

"Kudengar kau kembali ke Jakarta saat lulus dari sekolah ini?" lanjut Wandi.

Di antara mereka berlima, Wandi sedikit ramah pada Adrian karena mereka sering bertemu di ladang kakek Adrian yang bersebelahan dengan punya ayah Wandi. Adrian mengangguk membenarkan.

KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang