Chapter 12

64 15 4
                                    

***

Motor Adrian melaju membelah jalanan ibu kota yang padat merayap. Reina yang berada di sisi belakang motor memeluk erat Adrian, meski malu, ia harus melakukannya jika tidak ingin terlempar dari boncengan.

Adrian melaju seperti kesetanan, menyelip di antara kendaraan yang sedang ramai. Pikirannya tertuju pada Dito dan isi email yang baru saja datang padanya. Apa email itu punya hubungan dengan kondisi Dito? Adrian yang menganggap email yang datang hanya perbuatan orang iseng, ternyata merupakan sebuah pesan berantai peristiwa pembunuhan.

Email dan bukti-bukti yang dia dapatkan masih tersimpan dengan rapi, ia tak ingin melaporkannya ke pihak kepolisian karena banyak hal. Selain ia merasa tertantang untuk menyelesaikan misteri ini, ia juga khawatir jika ruang geraknya akan terbatas.

Jerat dan sang nelayan, kedua kata kunci yang selalu terngiang di kepala Adrian saat ini. Sang nelayan? Dito jelas tidak masuk dalam kategori, profesinya adalah seorang spesialis bedah, tak ada hubungannya dengan seorang nelayan yang berhubungan dengan ikan. Akan tetapi, bisa saja kedua kata itu adalah sebuah kiasan, lalu apa makna sebenarnya?

Adrian semakin menarik gas motornya saat mulai masuk ke sebuah jalanan menuju pinggiran kota jakarta hingga membuat kuda besi itu semakin melesat kencang. Dito tiba-tiba merubah lokasi pertemuan ke sebuah Villa di pinggiran ibu kota, menurutnya hal yang ingin ia bicarakan tak bisa ditempat yang ramai.

Bayangan pepohonan mulai condong ke arah timur, langit mulai bersinar keemasan, petang mulai datang membuat siluet benda terlihat menyeramkan bagi Reina. Wanita itu mengeratkan pegangannya ke tubuh Adrian, rasa takut mulai menyusup dalam relung hatinya, ia  menyesalkan dirinya yang masuk dalam lingkaran peristiwa menyeramkan ini.

Laju motor Adrian mulai melambat saat memasuki kawasan villa yang  berjejer rapi. Adrian lalu berbelok ke sebuah Villa dengan halaman yang cukup luas, nuansa kolonial  mendominasi ornamen dan arsitektur villa yang mereka kunjungi. Adrian mematikan mesin motornya saat tiba di teras rumah, ia lalu mengajak Reina untuk turun dari motor dan berjalan menuju pintu depan Villa.

Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran seorang lelaki tua dengan tubuh bungkuk menyerigai, lelaki itu kembali berjalan setelah mengangguk pada mereka. Adrian dan Reina mengawasi sosok  yang berjalan menuju belakang Villa itu dengan tegang, mereka mengembuskan napas lega saat lelaki tua itu menghilang dalam gelapnya malam.

Adrian mencoba menghubungi Dito, tetapi panggilan selulernya tidak terhubung. Dengan gelisah ia menekan bell rumah yang berada di pintu utama. Beberapa saat berikutnya, pintu depan Villa terbuka. Seraut wajah Dito yang pucat terlihat dari dalam. Matanya bergerak liar melihat ke sekeiling Adrian dan Reina seakan memastikan jika mereka tak diikuti siapapun.

"M–masuklah," cicit Dito, hampir tak terdengar.

Adrian melangkah masuk dan diikuti oleh Reina. Udara pengap memenuhi rongga dada Adrian saat berada dalam ruangan tamu. Adrian menatap ke sekeliling ruangan, pantas saja, setiap kisi jendela ditutupi oleh kain hitam rapat. Ia berpaling pada Dito yang tak sengaja menutup pintu rumah dengan keras.

Dito melangkah dengan gugup ke arah Adrian dan Reina. Sikapnya mengatakan jika ia dalam keadaan tertekan dan ketakutan, tak ada lagi kesan jika ia adalah seorang dokter spesialis di sebuah rumah sakit terkenal ibu kota.

Kondisi Dito sangat memprihatinkan, rambut yang acak-acakan, baju yang lusuh, wajah yang pucat dan seakan tak pernah tidur, terlihat dari kantung mata yang tebal dan menghitam di bawah matanya.

"Apa yang terjadi padamu, Dito?" tanya Adrian keheranan.

Ia ingat terakhir kali bertemu Dito di acara reuni sekolah, betapa penampilan Dito sangat klimis dan bersih, berbanding terbalik dengan kondisinya kini.

KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang