Chapter 10

80 17 2
                                    

***

Kepala Adrian berdenyut seakan mau pecah, ia benar-benar merasa sakit. Kematian Wandi sangat menguras tenaga dan pikirannya. Seharian kemarin ia menjalani serangkaian pemeriksaan di kantor polisi terkait kematian salah satu teman kelasnya itu.

Adrian mengatakan yang semuanya, tetapi kasus kematian Wandi mengalami jalan buntu dan seperti jalan di tempat. Wandi ditetapkan sebagai korban pembunuhan karena dari pemeriksaan secara detail tak ada unsur bunuh diri yang ada pada tubuhnya. Walaupun diperlihatkan sebagai lokasi bunuh diri, tetapi polisi menemukan kejanggalan dalam kasus Wandi.

Adrian sendiri masih berstatus saksi kunci karena menjadi orang yang pertama menemukan korban. Saksi-saksi lainnya telah ditelusuri, termasuk tetangga Wandi mengatakan hanya melihat Adrian masuk ke dalam rumah, setelah itu beberapa saat kemudian berlari panik dan menghubungi RT setempat.

Di lokasi kejadian pun tak di temukan jejak orang lain selain jejak sepatu Adrian. Namun, untuk menjerat Adrian sebagai pembunuh, tak ada bukti kuat.

Adrian meraup kasar wajahnya, kasus ini ia jadikan sebagai kasus pribadi. Entah mengapa ia merasa kematian Wandi erat kaitannya dengan peristiwa Kinanti.

Bunyi bell di pintu apartemen membuyarkan konsentrasinya. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Seraut wajah manis membingkai netranya, Reina.

Sejak kejadian di rumah Wandi, ia dan Reina menjadi akrab. Setidaknya dalam hal kasus ini, Adrian membutuhkan beberapa data dan foto-foto yang diambil oleh Reina saat itu.

"Masuklah," perintah Adrian pada Reina yang tersenyum lebar.

Ia menggeser tubuhnya dan membiarkan wanita bertumbuh semampai itu lewat.

Reina memandangi seisi apartemen Adrian yang lumayan rapi kecuali daerah meja kerja dan laptop yang terlihat banyak kertas berserakan.

"Lumayan. Lumayan rapi untuk pria yang hidup sendiri," gumam Reina.
Segaris tipis muncul di lekukan bibir kanannya.

"Apa kau membawanya?" tanya Adrian tak sabar.

"Ah, ya. Ini dia," ucap Reina sembari meraih amplop cokelat tebal dari dalam tas jinjingnya.

Adrian meraih dengan cepat amplop cokelat itu dari tangan Reina. Ia segera mengeluarkan isinya dan menatanya di atas meja besar di tengah ruangan apartemen. Isi amplop yang ternyata berisi berbagai macam foto di lokasi kematian Wandi.

"Apa yang akan kau lakukan dengan itu, Kak?" tanya Reina penasaran. Ia mendekat ke arah Adrian yang sedang menyusun foto-foto kejadian layaknya sebuah puzzle.

Adrian tak menggubris pertanyaan Reina dan terus menyusun semua foto-foto itu. Hingga akhirnya ia mengempaskan diri ke sofa hitam di belakang meja. Ia meremas kepalanya, tanda kebuntuan yang mendera otaknya.

"Bagaimana mungkin hanya jejak kakiku yang di temukan di TKP?" gumam Adrian dengan kesal.

Reina memandang berkeliling ruangan dalam apartemen Adrian. Matanya bersirobok dengan obat-obatan yang berjejer di atas nakas yang berada di samping tempat tidur. Keningnya berkerut, ia baru mengetahui jika Adrian mengkonsumsi banyak obat penenang.

Ia mengarahkan lensa kameranya ke arah Adrian yang sedang meneliti foto-foto di atas meja. Tubuh tegap Adrian disertai rambut yang agak panjang dikuncir atas membuat penampilan Adrian sangat maskulin di mata Reina.

"Aku dengar Wandi menjadi pribadi tertutup sejak pulang dari reuni sekolah kita seminggu yang lalu," ujar Reina.

Adrian yang mendengar ucapan Reina tertegun. Benarkah?

"Aku sempat memawancarai tetangganya tentang keseharian Wandi, ia lelaki yang ramah bahkan pada anak kecil sekalipun. Ia sering terlihat ketakutan sejak pulang dari desa."

Tubuh Adrian kini sepenuhnya menghadap pada Reina, ia memandang wanita berkuncir kuda itu dengan pandangan menilai. Benarkah ucapan Reina? Mengapa ada banyak hal yang ia lewati sebagai seorang detektif?

"Ketakutan itu ia ungkapkan pada penjaga sekolah tempat ia mengajar, katanya ia sering merasa dikejar-kejar oleh sesuatu ... atau seseorang?" Reina mengeddikkan bahu, sedangkan Adrian mendengarkan penjelasan Reina dengan seksama.

"Oh, iya. Menurut hasil internal dokter forensik. Di tubuh Wandi banyak terdapat zat penenang, tetapi menurut data, Wandi baru menggunakan obat-obatan seperti itu baru seminggu ini."

Reina melangkah menuju deretan obat yang menghuni rak P3K dalam kamar Adrian.

Adrian berpikir keras. Seminggu? Berarti semuanya bermula setelah mereka bertemu di acara reuni sekolah. Ia memijit pelipisnya dengan keras.

"Jangan terlalu sering mengkonsumsi obat seperti ini, Adrian," ucap Reina sembari memegang botol obat penenang Adrian di tangan kanannya.

Adrian mengedikkan bahu dengan malas. Ia kembali mengamati rentetan foto yang ia tata di atas meja. Foto Wandi dalam berbagai pose, sayangnya ia telah dalam keadaan meninggal dunia. Tak ada yang mencurigakan dalam kecuali sebuah irisan yang rapi di pergelangan tangannya.

"Jangan sentuh apapun!" sahut Adrian saat sudut matanya melihat Reina mencoba membuka sebuah laci di samping tempat tidurnya.

Wajah Reina memerah menahan malu, ia meringis dan menjadi salah tingkah. Adrian kini kembali menatapnya dengan tajam.

"Katakan siapa kau sebenarnya," ujar Adrian dingin. Ia melangkah mendekati Reina yang menatapnya tak berkedip.

Adrian melangkah perlahan menuju pintu masuk apartemen dan menguncinya. Kunci apartemen ia selipkan di saku celananya dengan cepat. Ia memicingkan mata pada Reina yang kini terlihat waspada.

"A–apa maksudmu, Adrian?" ujar Reina gelagapan. Suasana di dalam ruang apartemen Adrian mendadak berubah mencekam.

"Kau, siapa kau sebenarnya? Bus, reuni, TKP dan semua foto-foto korban dengan mudahnya kau dapatkan. Tak ada yang kebetulan di muka bumi ini. Semua ini seperti sudah kau rencanakan, Reina," ujar Adrian datar.

"A–ap–"

"Jangan-jangan pelaku pembunuhan Wandi sebenarnya adalah kamu?"

"Jangan bercanda Adrian! Aku tak ada hubungannya dengan kematian Wandi! It-itu ... aku memang kebetulan bertugas menjadi ahli dokumentasi di TKP menggantikan seniorku," jelas Reina.

Wanita itu refleks mundur saat Adrian semakin mendekat ke arahnya. Kekalutan tampak jelas membayang di raut wajah cantiknya.

"Benarkah? Aku rasa kau menyembunyikan sebuah rahasia, Reina. Apa kau tahu cerita tentang Kinanti?" tanya Adrian menyelidik.

Gestur tubuh Reina berubah tegang saat Adrian menyebutkan nama Kinanti. Adrian tersenyum samar, dugaannya ternyata benar jika Reina mengetahui tentang Kinanti. Namun, hubungan Reina dan Kinanti masih belum bisa ia petakan.

"Jangan macam-macam, Adrian!" teriak Reina panik. Tubuhnya kini tersudut di dinding.

"Kau hanya perlu jujur, Reina." Adrian menyerigai lebar melihat tubuh Reina yang bergetar ketakutan.

Selangkah lagi ia mencapai tubuh Reina, sebuah bunyi notifikasi email mengalihkan perhatiannya. Bunyi email yang sama dengan pesan kematian Wandi.

Adrian dan Reina menoleh pada layar laptop yang menyala. Sebuah   email dengan latar kebun jagung yang menguning kini tampil membuka dengan sendirinya.

Adrian dan Reina kembali berpandangan, mereka menyelami perasaan masing-masing. Adrian menenguk salivanya sedangkan Reina mengerjapkan matanya dengan cepat. Mereka berpikir dengan kemungkinan yang sama.

Dengan cepat mereka menghampiri laptop yang kini menampilkan beberapa baris kalimat tanpa pembuka. Mata Reina terperangah sedangkan kening Adrian berkerut mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang tertulis. Sebuah teka teki lain dari seorang pembunuh berantai atas nama Kinanti.

Bersambung

Makasih untuk semua suppornya, ya, All.😍🥰

KinantiWhere stories live. Discover now