Chapter 18

18 3 0
                                    


***

Dito tertegun beberapa saat lamanya, ia tersadar saat bunyi motor Adrian yang menjauh dari kediamannya. Pikirannya dipenuhi oleh kondisi Joko saat ini, ia berharap kawan lamanya itu baik-baik saja.

Dito meraih gawainya yang terletak di atas meja ruang tamu, ia yang baru saja bangun karena suara Adrian kembali tercenung. Ia memandang gawainya dengan pandangan bertanya-tanya, seingatnya semalam ia menghubungi Joko melalui telepon selulerny sendiri, mengapa Adrian menuduh menggunakan ponselnya?

Ia membuka kunci ponselnya, memastikan jika semalam ia memang menghubungi Joko. Dan ternyata memang benar, panggilan keluar di handphonenya tertulis jika ia memang menggunakan nomornya sendiri. Ia meraup kasar wajahnya, ia benar-benar pusing dengan rentetan peristiwa aneh dan menyeramkan.

Dito bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju lemari berisi obat-obatan di sudut kanan ruangan. Setelah membukanya, ia lalu meraba kotak tersembunyi di belakang deretan obat, ia mengeluarkan dua butir pil berwarna biru muda dengan gambar hewan lucu tercetak di tengahnya.

Sebelum meninggalkan kotak obat, sudut matanya melihat botol obat bius yang kosong. Ia meraih botol itu dan menimang sebentar, seingatnya cairan dalam botol ini tinggal setengah. Siapa yang menggunakan obat bius ini? Apakah Adrian? Tidak mungkin, hawab hatinya. Namun, jika benar, untuk apa Adrian menggunakan obat bius?

Jemarinya beralih pada kotak set peralatan bedahnya, ia memandang sendu pada lajur yang kosong, mata pisau nomor 15. Mata pisau yang hilang itu mengingatkannya pada seseorang yang membuatnya terpaksa melakukan perbuatan yang dibenci oleh Tuhan.

Dito menghela napas berat, ia hanya bisa berdoa semoga Tuhan mengampuni semua dosa-dosanya. Ia menutup lemari obat dengan perlahan, ia lalu menuju ke meja kerjanya dan menghidupkan laptop. Ia mengetik sesuatu di sana setelah selesai ia meraih dua butir tablet berwarna bitu itu dan menelannya dengan sekali teguk.

Beberapa saat kemudian Dito terlihat tersenyum-senyum sendiri dan meracau, ia kini berada di awang-awang, tak berjejak lagi di bumi. Obat yang ditengaknya membuat ia seperti melayang di angkasa, ringan, tak memiliki pikiran selain kebahagian. Ia sedang terbang dalam pikirannya sendiri, dalam kebahagian semu miliknya sendiri, miris.

Kebiasan buruk yang ia tak bisa hilangkan sejak masa SMA, bahkan ketika ia telah menjadi seorang petugas kesehatan bergelar dokter di sebuah rumah sakit ternama. Dito menjadi pecandu obat-obatan terlarang karena tak tahan dengan kondisi keluarganya yang berantakan, harta yang di miliki oleh kedua orang tuanya tak membuat hati Dito menjadi penuh dengan kasih sayang, ayah dan ibu yang sibuk meniti karir membuatnya seakan terasing dalam rumah mewah. Terlebih ketika perpisahan orang tuanya terjadi karena alasan ketidakcocokan membuat luka hati Dito semakin menganga hingga akhirnya ia berteman dengan obat terlarang dan sejenisnya.

Luka hati orang tuanya akibat perpisahan bisa dengan mudah mereka dapatkan  obatnya, hadirnya pasangan baru dengan mudah menyingkirkan luka akibat perceraian. Berbeda dengan luka hati anak seperti Dito, luka itu tak akan pernah sembuh sampai kapanpun.

Kini semuanya telah terjadi, rumah tangga Dito pun diambang kehancuran, kebiasaan buruk Dito membuatnya menjadi sosok yang tempramen dan sering berbuat kasar pada sang istri. Bahkan kini profesinya terancam hancur karena dugaan penyalahgunaan narkoba.
Selembar kertas terjatuh dari genggaman Dito, surat yang menyatakan bahwa izin praktek dan gelar kedokterannya kini dicabut dan tidak berlaku lagi.

Dalam ketidaksadarannya, Dito terisak, menyalahkan semua takdir yang mendatangi hidupnya, menertawakan kebodohannya, merutuki segala nasib sialnya, hingga menyalahkan Tuhan yang tak pernah bersamanya tanpa pernah mau mengerti bahwa dia yang telah menjauh dari kebenaran. Kemarahan pada kedua orang tuanya memupuk api dendam yang menghanguskan dirinya sendiri tanpa ampun.

***

Dito terhenyak melihat tayang televisi yang menampilkan berita tentang kematian Joko, sang kawan lama. Kematian yang tragis dan sungguh mengenaskan, ia tak menyangka jika kematian Wandi berbuntut panjang dengan rentetan peristiwa pembunuhan lain. Hatinya dipenuhi gundah gulana, kematian Wandi yang telah diputuskan bunuh diri walaupun ditemukan hal yang ganjil pun kini tak lagi menjadi berita utama. Wandi dinyatakan bunuh diri karena keluarga Wandi mencabut dan tak ingin memperpanjang kasus, seharusnya ia senang dengan ditutupnya kasus Wandi oleh pihak kepolisian, tetapi entah mengapa ia merasa hampa.

Dito memandang foto keluarganya dengan tatapan sendu, mengusap wajah anak gadis yang tersenyum ceria di samping sang istri. Hari ini semuanya telah berakhir, ketuk palu sang hakim telah memutuskan bahwa mereka telah resmi bercerai, sedangkan hak asuh anak semata wayangnya jatuh pada mantan istrinya.

Mungkin ini adalah akibat dari perbuatannya dahulu, ia teringat sosok gadis cantik berambut merah seperti jagung yang pernah ia lecehkan bersama Herman dan kawannya yang lain. Masih sempat ia mendengar bibir gadis itu berbisik lirih, mengutuk mereka semua yang terlibat.

"Kalian tak akan pernah bahagia dan tenang selama-lamanya!"

Setelah mengucapkan kutukan itu, Kinanti diam tak bergerak. Ia yang ketakutan saat itu lega tatkala mendengar Herman akan membereskan semuanya. Ia pikir semuanya telah berakhir, tetapi kutukan itu terus membayangi mereka. Kini Wandi dan Joko telah pergi, entah siapa giliran berikutnya.

Dito mengeluarkan foto keluarganya dari bingkai, dengan sekali hentak ia merobek sisi sang istri. Ia kembali memasang foto yang kini menyisakan diriny dan sang putri ke dalam pigura yang sama.

Keretakan rumah tangganya bukan kesalahannya sendiri, seadanya sang istri bisa lebih bersabar dengan kondisi jiwa dan profesi Dito maka semuanya tak perlu terjadi. Dito telah menyerahkan segalanya untuk menyenangkan hati sang istri, tetapi bergelimangan harta dan status sebagai seorang nyonya dokter tak membuat istrinya betah.

Bergelimangan materi ternyata tidak bisa membayar harga satu jam kebersamaan dalam keluarga. Istri Dito yang merasa kesepian akhinya memilih untuk pergi dengan lelaki lain yang lebih bisa memberikan padanya waktu yang banyak. Dito sebenarnya menyadari kesalahannya yang terlalu sibuk, belum lagi tugasnya sebagai dokter spesialis membuatnya harus stand by dan sewaktu-waktu datang ke rumah sakit jika di butuhkan tanpa mengenal waktu.

Hubungan Dito dan sang istri kian merenggang hingga puncaknya Dito mendapatkan bukti yang jelas bahwa sang istri berselingkuh, menjadikannya sebagai bukti kuat dalam persidangan sehingga Hakim menyetujui gugatannya, walau hak asuh tetap berada pada mantan istrinya mengingat Dito juga sering melakukan KDRT.

"Jika aku tak bahagia, maka tak seorang pun ku izinkan berbahagia, termasuk kamu!" Dito meremas foto istrinya dan melemparnya ke dalam cerobong asap yang sedang menyala. Api segera menghanguskan foto itu.
Sebuah senyum miring terbit di wajah Dito, raut wajahnya kini menggelap dan semakin menyeramkan karena tertimpa cahaya dari api pembakaran.

"Kini giliranmu, Teman!"

Dito meraih pisau pendek yang berada di laci meja kerjanya dan melempar ke arah sebuah sasaran berbentuk bulat yang tertempel di dinding. Pisau itu tepat menusuk pada tengah sasaran yang tertempel foto sang istri bersama seorang lelaki dengan pose berpelukan dengan mesra.

Ia melangkah mendekati pisau yang tertancap lalu mencabutnya dengan kasar, ia lalu menusuk foto lelaki yang bersama dengan istrinya itu dengan garang hingga foto itu terkoyak tak berbentuk. Sebuah senyum miring membentuk sudut bibirnya, sebuah rencana terpeta di kepalanya saat ini, sebuah rencana yang sangat mengerikan.

TBC

KinantiWhere stories live. Discover now