8. Konsultasi🌵

54 9 2
                                    


"Ngga perlu pake termometer.." Lea langsung meraih tangan kanan Mark dan menaruh telapak tangan Mark di atas keningnya.

*DEG

Seketika tatapan mata mereka saling bertemu. Dan entah kenapa Mark tidak bisa berkutik, hanya diam membeku tanpa perlawanan dan membiarkan tangannya diatas kening Lea.

"Panas kan?" kata Lea sambil tersenyum.

Mark pun langsung tersadar dan menarik tangannya dari dahi Lea.

"Yaudah kamu minum obat ya, habis itu istirahat."ujar Mark yang seketika sibuk mencari obat Lea.

"Kan belum makan siang sih Mark.."ucap Lea sedikit tertawa.

"Oh ia makan dulu. Bentar aku ambil ke dapur dulu ya, biar kamunya makan."kata Mark. Lea pun menganggukkan kepalanya.

Setelah mengambil makan siang Lea dari dapur, Mark pun meletakkannya di meja serta segelas air putih.

"Tuh dimakan."ujar Mark.

"Ta- tapi aku kan masih pusing..aku ngga bisa makan sendiri.."keluh Lea.

"Kamu bisa makan sambil senderan Lea.."kata Mark yang kembali terpaku dengan laptopnya.

"Ya udah tolong ambilin mangkuknya dong."

Mark pun memberikan mangkuk berisi nasi dan lengkap dengan lauknya serta sumpit untuk Lea.

Lea pun mendengus kesal, dan memakannya dengan malas.

"Kamu kenapa sih ngga peka banget? Apa kamu sengaja bersikap flat gitu? Ada hati yang kamu jaga? atau takut nantinya jadi jatuh cinta sama aku?"oceh Lea.

"Kamu kalo ngomong suka ngelantur ya. Udah buruan abisin makanannya, biar minum obat. Abis itu kita ke psikiater kamu."kata Mark yang masih fokus ke layar laptop.

"Psikiater lagi... pengen deh ke suatu tempat yang ngga ada orang. Rasanya pengen teriak sepuasnya. Kayaknya kalo lakuin itu bakal bikin lega.."gerutu Lea berbicara sendiri sambil melahap nasinya.

.
.

Demam Lea sudah turun setelah Mark memberinya obat penurun demam, lalu membiarkan Lea tidur dengan selimut yang tebal. Setelah Lea bangun, Mark pun langsung mengajak Lea pergi bertemu psikiater nya untuk konsultasi tentang trauma dan anxiety yang di idapnya.

Sampai disana, Mark menunggu Lea diluar. Sementara Lea sudah masuk keruangan psikiaternya. Lea mulai memberitahukan tentang keadaannya sejauh ini dan menceritakan kejadian yang baru-baru ini sedang dialaminya.

Psikiater : Sebelumnya boleh ya saya bertanya. Apakah kamu ngga ngerasa hubungan kamu sama pacar kamu ngga sehat? Dari cara kamu menceritakannya, kamu seperti ketakutan dan merasa tertekan Lea..dan hal itu bisa semakin memperburuk kondisi trauma kamu.

Lea : Aku merasa takut dan khawatir saat dia sedang dalam keadaan marah dan emosi. Tapi disisi lain aku juga masih sayang padanya.

Psikiater : Saat kamu merasa ketakutan, bagaimana reaksi pacar kamu?

Lea : Dia akan tetap marah dan emosinya memuncak. Tetapi keesokan harinya ia meminta maaf dan berubah menjadi sangat posesif padaku. Emosi dan perilaku nya yang berubah-ubah secara signifikan, membuatku merasa lelah. Aku sebenarnya sudah pernah menyudahi hubungan kami, tapi dia bersikeras untuk tidak mau mengakhirinya. Aku benar-benar dilema dengan ini semua.

Psikiater Lea sadar bahwa kekasih Lea menjadi penyebab hubungan mereka menjadi toxic . Tapi ia berusaha mengerti dan menghela nafasnya.

Psikiater : Begini Lea. Trauma itu tidak bisa dihilangkan, hanya bisa disamarkan. Pacar kamu sekarang sudah termasuk kedalam poin yang menyebabkan trauma kamu semakin kontras. Sebenarnya satu-satu nya cara untuk menyamarkan trauma kamu adalah tidak menjalin hubungan dekat lagi dengan si penyebabnya. Karena sekarang yang kamu butuhkan yaitu orang yang bisa membuatmu nyaman berada di dekatnya, mengerti dan paham dengan kondisi kamu, dan bisa menjadi pendengar yang baik untuk kamu. Saya mengerti tidak mudah untuk menjauh dari orang yang sudah sangat kita sayang, dan pasti diri kamu butuh waktu dan proses untuk itu. Jadi tidak apa-apa, menjauhnya perlahan saja. Tapi perlu kamu ingat, put yourself first. Jangan ragu untuk membuat penolakan jika kamu merasa tidak nyaman. Ini semua demi kesehatan dan kondisi mental kamu. Oke?

DANDELIONS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang