AVENGEMENT - 28

6.9K 623 32
                                    



"Mama lagi di New Zealand?"

Khansa mengangkat kepalanya dari dada Jerome begitu dia mendengar informasi dari sang suami perihal kepergian ibu mertuanya menuju negara kiwi itu 2 bulan yang lalu. Tangan Jerome yang semula aktif mengusap-usap rambut Khansa pun terhenti sejenak dan berganti dengan melipatnya di atas dada diiringi dengan kepalanya yang mengangguk sebagai konfirmasi dari pertanyaan sang istri.

"Sendirian aja? Nggak ada yang nemenin?" tanya Khansa lagi dengan nada khawatir.

"Nope. She's an independent woman after all." Jerome mengangkat kedua bahunya. "Laura bilang kalau tadinya dia mau mengajukan diri untuk nemenin, tapi dia takut mama nggak mau makanya dia cuma nganterin sampe bandara aja. Dia bener-bener dengerin semua kata-kata kamu untuk nggak menjauh dari mama."

Khansa tersenyum antara merasa lega dan juga miris. Lega karena Laura benar-benar mengikuti kata-katanya untuk tidak menjauhi sang mama, tapi juga miris karena nampaknya sang ibu mertua masih belum ingin berkomunikasi dengan Jerome. Perceraian antara dirinya dan papa juga ternyata cukup mempengaruhi psikisnya. Sekarang papa memilih untuk tinggal di rumah yang telah dibelinya 3 bulan yang lalu sendirian. Terkadang Laura datang untuk menginap dan menemaninya di sana dan melakukan hal-hal yang sering dilakukan oleh ayah dan anak seperti jalan-jalan, olahraga atau makan bersama.

Tidak ada pasangan yang suka dengan perceraian. Tak ada satu pun dari mereka juga yang ingin bercerai dari pasangannya masing-masing. Tapi kalau pernikahan itu hanya akan membawa kekacauan dalam kehidupan rumah tangga mereka, lalu untuk apa dipertahankan? Setidaknya itulah yang ada di pikiran Jerome saat dia mengizinkan kedua orang tuanya untuk bercerai. Mereka sudah terlalu lama saling menyakiti dan melibatkan orang-orang tak bersalah ke dalam masalah internal mereka berdua.

Mama sendiri juga tidak banyak bicara. Setelah resmi bercerai, dia dan papa saling memberikan penghormatan terakhir dengan sebuah pelukan kaku. Mama tidak menangis sama sekali, emosinya tenggelam begitu dalam di balik raut datar dan tanpa emosi yang tergambar di wajah tuanya yang masih terlihat cantik. Tapi dari sorot matanya, Jerome bisa melihat bahwa mamanya juga sedih dan kacau dengan perceraian itu.

"The divorce... it hit her so bad, right?" tanya Khansa ragu.

Jerome tersenyum tipis. "Itu lebih baik daripada bertahan dalam rumah tangga yang nggak harmonis."

"Jei, kamu tau kan kalau Allah itu membenci perceraian?"

"Tau kok," Jerome menatap Khansa dalam-dalam. "Tapi Allah benci perceraiannya, bukan pelakunya."

"Kenapa mama sama papa nggak coba untuk mediasi dulu aja? Kenapa mereka berdua langsung setuju aja untuk cerai?"

"Untuk hubungan yang udah kacau dan mendingin selama lebih dari 10 tahun, mediasi hanya akan jadi hal yang sangat sia-sia untuk dilakukan," Jerome menyandarkan tubuhnya ke headboard. "Ditambah lagi dengan sikap mama yang nggak mau berubah dan kasus perselingkuhan papa. Semuanya udah nggak bisa dibenerin lagi, Kei. Jadi menurut aku, kakak dan Laura, bercerai mungkin bisa bikin mereka berdua lepas dari pernikahan toxic itu. Biarin mereka bebas dulu sekarang. Kalau setelah itu mereka mau rujuk lagi atau memilih untuk tetap hidup sendiri dengan caranya masing-masing, itu terserah mereka."

Kepala Khansa tertunduk. Rasa bersalah yang dulu sempat memudar itu kini muncul lagi ke permukaan. Dan semua penyesalan yang diawali dengan kata 'seandainya' mulai mengisi hati dan pikirannya.

"Maaf ya Jei... seandainya aja-"

"Mau perselingkuhan itu terjadi atau nggak, pernikahan mereka emang udah nggak bisa diselamatkan lagi, Kei," potong Jerome tegas membuat Khansa yang hendak mengeluarkan unek-uneknya terdiam. "Dan itu bukan salah kamu ataupun salah aku. yang salah itu orang tua kita, dan mereka mengakuinya."

AVENGEMENT ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang