Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 2

1.2K 120 17
                                    

Sesulit apa pun keadaannya—bagi se–orang Tirta ia akan berusaha baik–baik saja. Meski nantinya ia akan menjawab jujur akan rasa lelahnya bertahan, Tirta pastinya akan tetap mengatakan sebuah kebenaran.

Hidupnya sudah lama hancur berantakan setelah Mamanya meninggal di tambah lagi dengan fakta besar. Bila Dirga adalah adiknya dan fakta besar yang selama ini terpendam membuat Tirta kesakitan,  bahwa sang Papa sudah lama bercinta bersama seorang wanita di belakang Mama.

Semacam bentuk pesakitan yang tak ada habisnya dan itu memang benar adanya kini Tirta sendirian. Mencoba untuk mengukir senyuman meski pun terbit dengan kebohongan karena Tirta tidak akan pernah bisa berpura-pura, ia anak yang jujur dalam segala hal sekiranya itu menyakitkan. Atau pun membuatnya tak tahan jika terus diam.

“Tirta!” pangil Ikmal sahabatnya.

Tidak membuang–buang waktu lama Tirta pun hanya bisa mengukir senyuman. Lagi pula Ikmal selalu demikian dengan menegur duluan dan malah melanjutkan, “kemaren gue hampir aja kena tempeleng, Ta. Buat Buna gara-gara Vania ngadu domba padahal gue, ya—”

“Enggak usah ngelak lo. Kemaren lo memang ikut tawuran percuma mau bersandiwara tetap aja ketahuan.”

Sang lawan bicaranya otomatis menggaruk kepala apa yang sudah dikatakan Tirta ada benarnya juga. Tanpa rekayasa atau pun bualan semata, Ikmal memang selalu berpura-pura padahal kedua orang tuanya pasti akan mengkhawatirkannya. Berbeda dengan Tirta apa yang anak itu lakukan merupakan hal yang wajar, bahkan sekedar luka goresan Tirta tetap saja di abaikan.

Karena tidak mau terjebak oleh keramaian Ikmal merangkul bahunya Tirta asal dan membawanya menuju ke kelas. Tidak ada bantahan selain ekspresi wajah datar, Tirta memang cenderung pendiam dan tidak mudah akrab dengan seseorang kecuali Ikmal. Karena keduanya sudah saling kenal dan berkawan lama. Bahkan Tirta lebih banyak menghabiskan sebagian hidupnya bersama Ikmal dari pada berkumpul bersama keluarganya.

Dan itu sangat percuma saja. Tirta langsung duduk di tempatnya sembari merebahkan kepalanya di atas meja pelajaran akan segera di mulai, dan sialnya lagi. Tirta lupa membawa buku pelajaran yang di mana melibatkan dirinya saja yang harus menerima hukuman.

“Buruan di salin, Ta. Masih ada 10 menit buat nulisnya belum tentu juga Bu Shepia masuk,” titah Ikmal yang langsung menyerahkan buku tulisnya.

Namun, Tirta hanya diam saja sehingga menghabiskan waktu lama. Membuat Bu guru masuk terlebih dahulu menanyakan tugas mereka dengan langkah perlahan sembari berujar demikian, “ saya keluar saja, Bu. Buku saya ketinggalan lagi pula memang tugasnya belum selesai.”

Setelah berkata seperti itu Tirta kemudian keluar dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam kantung hoodie—nya. Sang guru dan para murid lainnya hanya bisa menggelengkan kepala padahal bukan ini kemauan mereka, Tirta memilih sendiri karena tidak ingin di hakimi.

“Tirta, Tirta. Padahal ibu enggak ngebahas tugasnya nanti pas jam 9.45 kamu suruh Tirta masuk ya, Ikmal.”

“Siap, Bu. Laksanakan!”

──────── (´A`。 ────────

Sekarang Tirta di sini di atas rooftop dan masih menimang–nimang pemikiran segala hal. Tentang rasa penatnya bertahan atau pun berpura-pura jika dirinya baik–baik saja, sialan. Itu semua memang tidak memungkinkan Tirta mana mungkin bisa terus–terusan bertahan.

Niatnya untuk bertahan pun mulai terpatahkan hanya dengan ucapan Raka—Papanya. Tadi pagi ketika masih ingin menyendiri dan meninggalkan kelasnya, Tirta kembali di marahi. “Anak sialan! Kenapa kau seburuk ini, Tirta. Berbeda dengan adikmu yang terlihat sangat sempurna di mata mereka semua.”

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now