Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 10

462 65 10
                                    

Seharusnya waktu itu Tirta tidak perlu berharap dan juga tidak memberanikan diri memberikan surat undangan. Yang berisikan supaya Raka bisa datang dan turut menyaksikan turnamen sang putra. Kali ini ia harus baik-baik saja demi timnya di sini ia menjadi pemimpin, menjadi penompang untuk mewujudkan sebuah kemenangan. Meski hanya ada kesulitan dan kesedihan ia berusaha profesional bagi mereka semua.

Tidak apa–apa yang terpenting masih ada teman–temannya mereka semua mendukung Tirta. Memberikan sejuta harapan untuk sang kapten basketnya, Tirta bisa kehilangan satu harapan sang Papa karena pria baya tersebut menolak untuk datang melihatnya. Tetapi ia harus berusaha untuk tim bola basket terbaik di sekolahnya.

“Kita pemanasan dulu, woy! Jangan sampai ada yang cedera. Ini bukan perlombaan antar kelas tapi antar sekolah jangan terlalu mendahulukan ego, kita punya tujuan sama yaitu kemenangan!” Tegas Tirta yang mendribble bola berwarna oranye berulang-ulang.

Ada juga Ikmal yang senantiasa menjadi patner terbaik Tirta. Itu sebabnya kenapa Tirta masih mempertahankan menjadi kapten basket demi sahabatnya, jika bukan Ikmal mungkin Tirta sudah memilih memundurkan diri. Ada Dirga, Talita dan Dita di bangku penonton turut serta untuk memberikan sorakan sebuah dukungan.

Walau Raka tidak datang memberikan sebuah dukungan rupanya Dita datang untuk menggantikan ketidak hadiran sang Papa. Tirta sedikit kesal ia juga tidak mengetahuinya perasaan ini sejak awal, baginya kebaikan Dita itu hanyalah sebuah bualan semata. Namun, jika di perhatikan lama–lama wanita tersebut semakin tulus padanya.

“Untuk point–point berikutnya kalian harus ngelakuin shooting dna. Setidaknya menambahkan point tertinggi di setiap menitnya saya harap Tirta dan Ikmal bisa melakukan seperti biasanya. Kalian semua pun juga harus seperti mereka, paham? Menang dan kalah dalam suatu perlombaan itu hal yang sangat wajar. Kuncinya jangan terbawa emosional tunjukkan bahwa kalian punya tekad yang kuat!”

Mereka mengganguk mantap Tirta dan Ikmal berlari ke tengah lapangan Tirta juga menyempatkan diri untuk melirik Talita. Gadis itu tersenyum manis ke arahnya sembari memberikan dua jempol, begitu juga dengan Dita.

“Fokus, Ta. Kalah menang dalam suatu permainan itu hal biasa!”

Ikmal sengaja berujar dengan nada yang terdengar lantang, ia sengaja menyindir tim Sandy yang baru saja datang dengan tampang sok datar. Hingga pada akhirnya mereka memulai permainan.

Seperti biasa karena Tirta adalah putra mahkotanya olahraga. Cowok itu leluasa memasukkan bola dan melakukan shooting dna, membuat Sandy yang otomatis murka dan membuatnya jadi sangat kasar dalam permainan. Hal tersebutlah yang membuat tim mereka mendapatkan point–point yang tertinggal.

Plak!

Tirta dan Ikmal bertepuk tangan keduanya berlari penuh kebahagiaan. Tim mereka akhirnya menang karena sebuah kejujuran dan semangat yang luar biasa, mereka pun menggendong Tirta membiarkannya menerima piala.

“Sang juara masih bertahan, Pak! Tim kami menang lagi.”

“Argh, tim Tirta menang, Tan!” Talita langsung memeluk Dita. Wanita itu juga senang melihat betapa hebat dan penuh ketekadan seorang Tirta, yang membuat timnya menang pada saat itu juga.

Setelah piala, piagam dan sejenisnya di serahkan. Juri dan seluruh penonton mulai lenggang. Menyisahkan mereka saja yang masih belum ingin pulang, mereka ingin singgah sebentar untuk mengambil gambar.

“San. Kekalahan itu hal yang wajar, kan? Lo main kasar bahkan lo juga terlalu emosional.”

“Bacot! Kali ini lo boleh aja menang. Tapi enggak akan bertahan gue bakalan ngalagin lo buat kedepannya, lihat aja!”

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now