Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 16

554 71 13
                                    

Kali ini dunia terasa kelam untuk pengelihatan se–orang Argantara Tirta Bahasa. Setelah ia usai membuka mata berharap hari ini akan baik–baik saja rupanya hanya lah asa semata. Raka membiarkannya tidur di luar sendirian, menikmati udara dingin yang tak seharusnya ia rasakan. Raka hanya keluar setelah matahari menampakkan bias keindahan berupa cerahnya pagi ini. Hujan pun sudah mereda ketika pagi tiba.

Pria baya itu perlahan menyentuh pundak Tirta, mengguncangnya dengan gerakan perlahan. Tirta sebenarnya hanya pura-pura menutup mata ketika Raka membuka pintu untuk pergi menjemput Dirga kemudian berbaik hati membangunkannya.

“Bangun. Istirahat di kamar Papa sudah buatkan sarapan, jangan buka pintu kalau ada orang yang enggak di kenal.”

Tidak ada bantahan selain bangkit dalam tundukkan Tirta melangkahkan kakinya perlahan dan berhenti di meja makan. Memang benar Raka membuatkannya sarapan walaupun hanya telur dadar setengah matang. Tirta mengukir senyuman Raka masih menaruh sedikit perhatian biarpun tak sepenuhnya. Tidak ada salahnya makan sekarang lagi pula ia sudah lapar.

Tirta kemudian duduk di depan meja makan, sambil mengambil secentong nasi dan makan dalam diam. Tiba-tiba air matanya menetes begitu saja setelah menelan satu suapan.

“Sebenarnya aku ini anak Papa apa, bukan? Perlakuan Papa saja terhadapku  terlihat sangat berbeda. Tidak seperti perlakuan seorang Papa ke anak kandungnya.”

Terkadang Tirta sering bertanya pada dirinya sendiri tentang kenapa ia terlahir menjadi putra se–orang pria paruh baya bernama Raka. Yang memiliki perusahaan terbesar di kota Jakarta, ia rasanya benar-benar tak berguna.

──────── (´A`。 ────────

Dalam keheningan yang Dirga rasakan, pergelangan tangannya yang tak lagi terasa berdenyutan. Sudah beransur baikan tidak seperti semalam rasanya benar-benar menyakitkan ia juga harus bermalam di sini bersama sang Mama. Akhirnya Raka datang untuk menjemputnya pria baya itu mengukir senyuman kemudian memberikan kecupan di dahinya.

“Pagi jagoannya—Papa Raka. Kamu udah baik–baik aja, kan?”

Dirga hanya menggangukkan kepala tanpa mau mengujarkan frasa sebagai balasannya. Anak itu menepis perlahan tangan Raka yang menggenggam jemarinya, ia juga membuka muka dan tak ingin menatap papanya. Mengerti maksud dari Dirga yang sengaja mendiami Raka membuat Dita memutuskan untuk berbicara.

Wanita itu menarik pergelangan tangan suaminya dan mengajaknya untuk berbicara empat mata di luar saja. Ia takut Dirga merasa terganggu putra bungsunya menaruh akan kesal terhadap Raka. Karena pria baya tersebut telah menyalahkan Tirta yang padahal ini semua bukan kesalahannya.

“Tirta bagaimana keadaannya?”

“Dia baik–baik saja. Kenapa memangnya apa itu penting untuk ditanyakan.”

“Sudah pasti iya jawabannya, Pa. Kamu enggak tahu sesakit apa jadi Tirta seengaknya jangan bebankan dia dan—jangan patahkan semua usaha dia. Selama ini Tirta sudah melakukan sebaik mungkin untuk membuatmu yakin,”

Raka memutar bola matanya malas sebenarnya ini kenapa. Dita tak tahu apa–apa tentang usahanya juga, Tirta bukan terlahir karena sebuah keinginan mau pun pemuas nafsu semata. Pernikahannya hanyalah paksakan saja tanpa Dita tanyakan kenapa.

──────── (´A`。 ────────

“Nih, dari Papa. Katanya ini es krim kesukaan lo apalagi kalau rasanya strawberry enggak nyangka. Kesukaan kita berdua sama rupanya.”

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now