Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 13

494 71 12
                                    

Kematian seseorang siapa yang akan mengetahuinya kehidupan akan dihadapkan atas alibi semacam ini. Meski demikian Tirta merasa bila dirinya yang telah menghilangkan Sanda, seharusnya ia bertanya tentang Sanda bukan malah menarik secara paksa pergelangan tangan dan membuatnya mati tenggelam. Acara pemakaman telah usai Tirta bahkan tidak datang karena merasa amat menyesal.

Ia menjadi seorang pembunuh sekarang luka lebam di wajahnya masih membekas di tempatnya. Sandy memukulnya, mengumpat berbagai kata yang tak seharusnya ia terima. Sandy bilang ia pembunuh menghilangkan nyawa sang Kakak di waktu yang tidak tepat.

“Bukankah ini saat yang tepat—untuk mati.”

Mungkin seseorang akan menggangap dirinya sebagai pecundang yang berpura-pura tegar. Namun, mereka tidak akan paham karena mereka bukan juga Tirta yang merasakan pahitnya diabaikan. Raka hanya menatap tajam tidak berujar meski sepatah kata penenang. Orang-orang perlahan melabelinya sebagai pembunuh sebenarnya.

Awalnya ia berusaha bertahan berharap ia dapat di percaya akan tetapi justru kebalikannya. Ikmal senantiasa menenangkan akan tetapi berbagai ucapan yang Ikmal ucapkan tidak berpengaruh apa–apa. Karena mereka hanya bisa mengatakan seenaknya saja hanya tahu lewat kronologi bualan semata padahal mereka tidak ada di sana. Sekali lagi Tirta menatap genangan air di bawah sana tidak ada salahnya kan untuk mati sekarang.

Hidupnya telah lama berantakan padahal waktu itu kehadiran Sanda mengubah segalanya. Sekarang justru berbeda, Sanda sudah tiada cowok itu bukan lagi bagian dari semesta. Tirta pun harus menerima tanpa lapang dada.

“Aku yang salah Sanda! Aku enggak bisa hidup menghela napas leluasa. Sedangkan kau mati dan menderita, aku juga harus mati karena semua orang tidak mempercayaiku. Kalau saja kau di sini bisakah kau membuat mereka mempercayaiku atau malah kau juga menyalahkanku.” intonasi nada bicaranya saja penuh keputusasaan.

Ikmal sudah menghubunginya berulang-ulang akan tetapi Tirta membiarkan ponselnya tergeletak di tempat. Beberapa panggilan di biarkan Tirta hanya melirik sebentar nama sang panggilan, karena setelahnya ia melompat dari jembatan. Menceburkan dirinya sendiri di danau tempat yang sering kali dirinya kunjungi bersama Tania sewaktu wanita itu ada.

Tidak adil rasanya bila ia masih ada sedangkan Sanda tiada karenanya sensasi mencekik luar biasa saketika mulai terasa, paru–parunya mulai terasa terbakar kesadarannya pun turut menghilang. Namun, seseorang tiba-tiba saja menolongnya berusaha membawanya naik ke permukaan. Tirta tidak tahu apa–apa karena kesadarannya telah hilang sepenuhnya.

──────── (´A`。 ────────

Ikmal kesal berkali-kali menghubunginya tetapi terus diabaikan Ikmal merasa khawatir sekarang. Ia takut bila sesuatu yang buruk menimpa sahabat terbaiknya, Talita mengigiti kukunya gadis itu khawatir luar biasa. Bagaimana bisa Tirta sulit sekali dihubungi. Apa mungkin karena perkataan Raka membuat putranya memantapkan niat untuk segera tiada.

Keduanya saling bertatapan rasa bimbang dan takut luar biasa tidak dapat ditahan.

“Kita cari Tirta ke mana lagi, Mal. Perasaanku enggak tenang aku takut Tirta kenapa–kenap—”

“Gue juga. Tapi otak gue sekarang enggak bisa di ajak kerja sama gue beneran stres kalau tuh anak nekat buat bunuh diri.”

Diam, masih kalut dalam pemikiran. Talita mencoba berpikir secara detail tetapi ada pelajaran di balik banyaknya drama–dramamelankolis yang Talita tonton. Kebanyakan seseorang akan menghabisi nyawanya  sendiri di tempat yang sering kali mereka datangi bila itu memang benar adanya. Maka keberadaan Tirta ada di sana.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now