Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 12

476 67 16
                                    

“Dia bukan kakak gue! Anak idiot seperti dia itu mana mungkin sedarah daging sama gue yang terlihat sempurna, menjijikkan.”

Sanda menundukkan kepalanya dalam–dalam ini menyakitkan bahkan Sanda tidak bisa mengatakan apa–apa. Ia duduk sendirian tanpa seorang kawan ketika Sandy berkata demikian. Bisik–bisikan mulai terdengar desas-desus yang awalnya ia harap segera terpecahkan, dan membuat Sandy mengakui statusnya yang sebenarnya.

Malah terbalas dengan kenyataan yang teramat menyakitkan. Sanda diam membiarkan salah satu dari mereka menuangkan sekotak susu di atas kepalanya, mengaduk nasinya dengan berbagai macam makanan yang menjijikkan. Sanda pun mengigit bibirnya kuat–kuat mencoba menghalau rasa sakitnya yang semakin menambah hebat.

“Lo yakin kalau ini anak beneran bukan kakak lo, San. Kalau begitu sekarang giliran lo lah.”

Mata Sandy berkedip berkali-kali mencoba mencerna kata yang sebenarnya. Semua mata menatap ke arahnya Sandy sudah mengakui itu semua, jadi dengan keputusannya sendirian ia mengambil langkah lebar–lebar. Menjambak rambut Sanda dengan jambakkan yang terbilang menyakitkan, tirta bening luluh seketika di mata Sanda—kakaknya.

Wajahnya mendongak ke atas, matanya menatap Sandy penuh ampunan serta pertolongan. Akan tetapi Sandy malah semakin menjambak rambutnya dengan kencang anak itu pun mendorong tubuh Sanda hingga tubuhnya tumbang.

“K-kenapa, San.” Sejatinya Sanda ingin sekali meminta penjelasan yang akurat. Apa alasan yang membuat Sanda tega melakukan ini semua di depan orang banyak.

Semacam perundungan yang melibatkan Sanda menjadi bagian korban, matanya penuh ampunan. Akan tetapi Sandy tidak menanggapi justru anak itu hendak memberikan bongkehan. Namun, kepalan tangan tersebut sudah di tahan oleh seseorang.

“Keterlaluan,” nadanya terdengar begitu dingin untuk Sanda dengar. Ia juga menatap penuh binar yang kemudian ia alihkan, semburat amarah mulai berkobar.

“Enggak usah ikut campur bisa, kan. Lo itu enggak tahu apa–apa jadi diem aja.”

“Cuma anak toxic kayak lo yang bisa ngebully orang lemah!”

──────── (´A`。 ────────

Dengan hati–hati dan dengan sentuhan lembut Talita mencoba mengobati luka pada pelipis Sanda. Gadis itu memang kebetulan mendapatkan sift jaga di ruang kesehatan, jadi tanpa di duga ia pun membantu mengobati Sanda. Siapa sangka cowok dingin seperti Tirta yang terkenal arogan dan sulit sekali bersosialisasi dengan seseorang yang baru dirinya kenal.

Menolong Sanda bahkan menemaninya. Talita sudah selesai mengobatinya kemudian gadis itu menggusak rambut Sanda manja. Cowok polos seperti Sanda hanya senyum saja, takut–takut bila ia salah merespon reaksinya.

“Sandy kenapa seperti itu. Bukannya kalian saudara dan kau kakaknya, ‘kan?”

Sebenernya perkataan Tirta barusan terdengar berbeda. Tidak seperti barusan yang menggunakan bahasa baku untuk memperindah pertanyaan. Netra Sanda akhirnya menatap ke arah Tirta dan juga Talita.

“Seperti yang kau lihat sendiri aku memang kakaknya—tapi aku bukan kakaknya.”

“Maksudmu itu seperti apa, San. Kau bilang kau ini kakaknya tapi setelah itu kau juga bilang kau bukan kakaknya,” cetus Talita yang menatap penuh tanya.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang