Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 7

507 61 9
                                    

Perkataan Raka masih membekas di dalam dada dan entah kenapa ia tidak bisa melupa. Terus mengingat perkataannya sehingga membuatnya seakan menjadi gila, Tirta tidak ingin kesakitan seorang diri. Dan memutuskan untuk bermalam di sini di butik peninggalan Tania.

Ia sudah lama menyimpan kunci cadangannya karena dulu sebelum Tania tiada. Tirta sempat mengambilnya menyimpan sampai sekarang, dan memutuskan untuk di sini sendirian. Meski banyak sekali barang–barang yang tak terpakai Tirta pun tidak keberatan. Tidur tanpa alas di lantai mencoba terpejam meski kedinginan, udara di luar cukup tidak bersahabat sekarang.

Karena malam ini sedang turun hujan di sertai kilat yang menyambar. Tirta meringkuk kedinginan mencoba mencari kehangatan dengan memeluk tubuhnya sendiri erat–erat, bulu kuduknya meremang. Tanpa pencahayaan di dalam Tirta sengaja tidak memberikan penerangan karena takut–takut bila seseorang melihatnya.

Ketika ia hendak mencari sesuatu di dalam laci berharap ada benda yang dirinya cari. Akan tetapi tak sengaja menabrak lemari  tinggi di depannya ini, barang–barang yang semula bertumpuk di atas lemari alhasil berjatuhan. Menimpa tubuh rapuh Tirta hingga dirinya tumbang dan kehilangan kesadaran.

Sedangkan seseorang yang melangkahkan kakinya di luar mendengar suara barang yang berjatuhan pun seketika menghentikan langkahnya. Itu Ikmal yang tak sengaja pulang lewat jalan terobosan, padahal ia pikir ini merupakan pilihan yang benar supaya ia bisa segera pulang lebih awal, di bandingkan orang tuanya.

Akan tetapi karena mendengar sesuatu di dalam membuatnya merinding ketakutan, Ikmal menggaruk tengkuknya sembari menghidupkan senter pada ponsel.

“Ya gusti. Cobaan apalagi ini, jangan beginilah. Ini kan butiknya mending Tante Tania, okay. Berpikir yang masuk akal aja jangan–jangan—” jeda Ikmal beberapa saat ketika kilat menyambar dengan kuat. Ia masuk ke dalam dan tanpa sadar menutupnya dengan banting yang teramat kencang, mengatur pernapasan secara beraturan meski terkesan menyesakkan.

Setelah merasa agak baikan Ikmal menengadahkan tatapan ke segala penjuru ruangan, tak luput mengarahkan pesinar pada lampu ponselnya yang sedang menyala. Mencari di mana letak saklar berada supaya penerangan bisa membantunya.

“Perasaan enggak mungkin letak saklarnya berubah kapan aja. Pasti di sebelah kanan dekat meja depan, okay–okay. Akhirnya ketemu!”

Namun, Ikmal terdiam beberapa saat ketika mendapati seseorang yang sudah tergeletak tak sadarkan diri. Cukup teliti dan memberanikan diri untuk mendekati menyingkirkan beberapa barang–barang yang menimpa bagian tubuhnya, dan betapa terkejutnya Ikmal setelah mendapati Tirta—sahabat terbaiknya.

“T-tirta. Bangun, Ta! Lo enggak kenapa–kenapa, kan. Ta! Badan lo panas dingin, nih. Sumpah jangan bikin gue takut bisa ‘kan.”

──────── (´A`。 ────────

Ikmal menatap lekat pada rupa Tirta yang tidak baik–baik saja sinar pada binarnya telah meredup. Tidak menemukan indah pada senyuman, dan juga kebahagiaan yang sering kali Tirta perlihatkan semuanya berubah ketika Tania meninggal. Dunia milik sahabatnya tampak berantakan Ikmal merasa kasihan.

Padahal pertama kali ia mengenal Tirta.  Tirta adalah anak yang periang, suka bercanda dan juga murah memberikan senyuman. Namun tampaknya sekarang berbeda Tirta tidak seperti dahulu kala seperti apa yang sudah ia lihatnya. Tirta seperti bukan dirinya, Tirta kehilangan jati dirinya yang sebenarnya.

“Ta, gue beneran enggak suka kalau lo ngomong lagi enggak baik–baik aja.”

Sangat menjijikkan kedengarannya dan untung saja Tirta masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Jadi Ikmal leluasa berbicara seenak hati tetapi ini memang berasal dari hati nuraninya, Ikmal hendak menyentuh dahinya mencoba merasakan sekali lagi bagaimana panasnya. Sudah turun atau tidak tetapi niatnya ia urungkan karena sang Buna pulang lebih awal, wanita itu terkejut bukan main ketika melihat Tirta yang terpejam dengan bibir yang pucat.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang