Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 5

557 76 8
                                    

Meskipun tidak sepenuhnya mendapatkan apa yang Raka ucapkan setidaknya Tirta sudah terbiasa. Janji–janji manis yang Papanya berikan begitu saja ia buang tanpa mau memikirkan, ia juga tidak ingin terjebak dalam pemikiran dalam sehingga membuatnya kesakitan. Raka akan terus berujar demikian tanpa sedikit pun pembuktian.

Tirta jadi paham bila manusia memang tidak seharusnya di percaya bisa saja itu semua hanyalah bualan semata. Tirta sibuk mengemasi barang–barangnya tidak ada kelas tambahan jadi ia pun memutuskan untuk pulang segera, berbeda dengan Dirga karena anak itu memang seperti itu. Punya jadwal banyak sekali dan kegiatan tanpa henti.

Tidak ada salahnya meninggalkan lagi pula Dirga pastinya akan menyuruhnya pulang duluan. Bertepatan ketika dirinya keluar hendak meninggalkan kelas yang telah sepi sedari tadi, tiba-tiba Dirga menghampiri, anak itu menatapnya penuh keteduhan meski demikian Tirta tetap bersikeras bersikap hangat untuk sekedar mengukir senyuman.

“Bang,” lirih Dirga setelahnya.

Dengan tatapan yang sulit sekali diartikan dan tundukkan kepala dalam–dalam Tirta paham bila Dirga memang membutuhkan kawan. Namun, Tirta senantiasa bersikap mengabaikan ia akan tetap meninggalkan Dirga meski adiknya akan menyusulnya.

“Gue enggak ada waktu buat ketemu sama lo sebaiknya pergi dari hadapan gue sekarang juga. Anak–anak udah pada nunggu di lapangan bola,” balasnya dengan tatapan datar.

Ketika Tirta hendak meninggalkan, Dirga langsung menarik pergelangan tangan Tirta menatap genggaman tangan milik Dirga yang sedikit bergetar. Sepertinya anak itu sedang punya masalah besar ia juga tidak ingin terlalu mengkhawatirkan sebab gengsi untuk sekedar memastikan.

“G-gue dapat rekomendasi pertukaran pelajar besok pagi, tapi. Gue beneran enggak mau buat nerimanya ini memang enggak penting buat abang. Tapi katanya menyesuaikan diri untuk beradaptasi dengan keadaan baik itu kawan dan tempat tinggal gue beneran enggak bisa, g-gue harus bagaimana?”

Tanpa sadar dagunya bertumpu di bahu, menemukan tumpuan yang benar hanya sedikit terisak pelan. Tirta akhirnya merasa kasihan karena Dirga memang sulit berteman ia juga mengerti bagaimana perasaan adiknya saat ini. Dengan ragu–ragu pula Tirta hendak mengusap punggung Dirga berharap bisa menenangkannya meski awalnya belum bisa, Tirta tidak ingin terjebak pada egonya.

“Besok ikut gue bolos sekali aja enggak bikin lo terpandang buruk karena lo siswa teladan, ‘kan?”

Dirga masih mempertimbangkan tetapi semakin dirinya pikirkan dalam–dalam pilihan Tirta memang benar. Tepat sasaran bila dirinya meninggalkan kelas dari pagi hingga malam hari maka pihak sekolah akan mengganti Dirga dengan yang lainnya, tidak masalah ini juga kesempatan supaya ia bisa semakin dekat dengan Tirta—kakaknya.

Anak itu mengangguk–anggukkan kepala mantap, tanpa sadar ukiran kurva terbit pada bibir Tirta. Sembari menepuk pundak Dirga ia pun pergi juga, “ya udah gue duluan. Hati–hati di jalan kalau semisalnya lo udah sampai rumah duluan dan gue juga belum pulang. Bilang aja gue ada keperluan sama tim basket.”

Menatap kepergian Tirta begitu saja hingga punggungnya hilang juga sembari mengukir senyuman manis pada bibirnya. Dirga merasa teramat bahagia karena hubungan keduanya semakin dekat, Tirta tidak kaku seperti dulu dan itu kesempatan awal untuk membentuk sebuah persaudaraan.

──────── (´A`。 ────────

Setelah meminta Pak Komar mengantarkan keduanya sampai di persimpangan saja Tirta menuntun langkah Dirga. Ini kali pertama bagi dirinya yang tidak pernah melakukan hal–hal yang sering dilakukan Tirta, bolos pastinya. Akan tetapi ini merupakan pilihan pasti untuk menghindari.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now