Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 9

462 62 12
                                    

Yang dirasakan setiap manusia ialah kegelisahan, baik itu ketidaknyamanan mau pun sebuah ketidak syukuran atas kenikmatan yang sudah diberikan. Meski tidak sepenuhnya merasa demikian Dirga tetap saja kasihan. Tirta sudah terluka dan di patahkan berkali-kali oleh sang Papa, tidak menyadari bagaimana rasa sakitnya. Pria baya itu akan tetap gencar menyakiti Tirta putranya. Tidak peduli bagaimana nantinya yang terpenting egonya sudah merasa lega.

Hari kemarin Dirga sudah mempertimbangkan tawaran Raka. Ia juga tidak langsung menghela napas lega atau pun bangga, karena baginya penerus perusahaan Raka ialah sang putra pertama siapa lagi bila bukan Tirta lah orangnya. Dirga akan bersikeras menolak bujukan Raka lagi pula ia tidak pantas menyandang pangkat tinggi seperti itu selagi masih ada Tirta.

Bagaimana pun juga Tirta lebih pantas dari pada dirinya. Memikirkan perasaan saudaranya adalah hal yang utama, Tirta baru saja keluar kamar cowok itu hanya melirik Dirga sebentar. Karena setelahnya bergegas untuk berangkat sekolah duluan akan tetapi Dirga menghadang langkah lebarnya, kemudian berujar.

“Gue perlu bilang sesuatu sama lo, bang. Ini soal perusahaan Papa biar bagaimana pun juga Papa cuma punya kita sebagai penerusnya.”

Tirta menyeringai, menertawai akan kebodohan Dirga sekarang. Baginya itu tidak terlalu penting untuk dirinya pertimbangkan sekuat apapun pengharapan penerus perusahaan yang akan Raka berikan, ialah Dirga saja. Lagi pula Tirta itu siapa ia hanya numpang hidup di sini dan itu pun masih pantas sekali untuk Tirta syukuri.

“Sejauh ini gue enggak peduli. Perusahaan yang Papa miliki juga bukan hak gue buat kedepannya, masa depan gue udah lenyap pengharapan udah di patahkan dari awal gue berjuang ngelakuin banyak hal. Tapi lo sendiri juga tahu, ‘kan? Apa tanggapan Papa karena bagi Papa lo itu  ... pangeran mahkotanya keturunan dia!” Tegas Tirta sembari meninggalkan Dirga.

Namun, Dirga tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Jadi dengan tergesa pula ia pun mematahkan langkah jenjang sang kakak menatap penuh kelembutan, walau pada akhirnya harus di berikan semacam bentuk penolakan.

“Sekarang aja gue masih kelas 11 SMA, bang. Gue enggak bisa di tuntut buat melanjutkan pendidikan ke bidang yang menurut gue enggak pernah gue minati. Manejemen bukan suatu keinginan, perjalanan gue tuh sekarang masih panjang. Masa depan gue juga belum kelihatan dan  ...,” frasa itu di jeda secara tiba-tiba. Dirga menundukkan kepalanya masih dengan lanjutan kata ia pun akhirnya berbicara. “D-dan lo pantas buat meraih masa depan cuma butuh beberapa tahun buat lo meneruskan perusahaan besar Papa. Gue bukan siapa-siapa, bang. Gue harap lo mau menerima segala keputusan karena kalau boleh jujur gue enggak enak sama lo.”

“Udah ngomongnya. Gue udah memperlambat tiga menit itu gara–gara siapa coba? Lo itu cuma satu–satunya anak dia. Gue cuma hidup numpang mati sekarang atau lusa enggak akan ngaruh buat dia!”

Langkahnya tergesa meninggalkan Dirga takut–takut bila nantinya anak itu kembali mematahkan langkahnya. Tirta tidak ingin mengiba pada rasa sakit yang ada, biar bagaimana pun juga ia harus baik–baik saja apa pun alasannya.

──────── (´A`。 ────────

“Tempat yang lo pesan buat kita latihan basket itu  ... udah lo pesan duluan, ‘kan? Jadi kapan ngajak anak–anak buat ke sana.”

Tirta diam saja ia memaksakan kehendaknya untuk membuktikan bahwa ia bisa. Melakukan banyak hal biar pun berbeda dengan Dirga lakukan, yang terpenting itu tekad bukan bakat. Percuma ahli dalam segala hal tetapi belum bisa membuktikan soal kegagalan bagi Tirta merupakan awal keberhasilan. Lebih baik mencoba dari pada menyesal, sembari menghela napas kasar Tirta pun berujar. “Nanti sore kalau enggak ada halangan seminggu lagi turnamennya, ‘kan? Siapkan tim inti buat latihan. Ini bukan sekedar permainan kita harus serius untuk membanggakan nama sekolah.”

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now