Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 15

536 67 19
                                    

Terkadang rasanya melelahkan ketika Tirta mencoba sekali lagi menahan beberapa macam pesakitan. Akan tetapi begitu lah kehidupan dan Tirta pun harus menjalankan tidak ada pilihan meski menyakitkan. Begini lah caranya semesta membuat seseorang terluka, hal yang utama supaya tidak terjebak dalam permainannya ialah diam saja.

Kepergian Sanda masih belum mereka terima seakan-akan hari kematiannya merupakan bualan semata. Sanda masih bagian dari semesta untuk mereka yang masih belum bisa menerima kepergiannya. Kali ini Tirta sedang berusaha melupakan Sanda meski kematiannya sungguh terasa hingga ke dada, kehidupan selalu punya pembatasan.

Yaitu, bermula dari pertemuan di akhir pula dengan perpisahan.

Setiap orang pasti merasakan dan mereka juga akan meninggalkan. Kematian seseorang merupakan takdir, mungkin hal yang paling ditakutkan ia lah demikian. Namun, mau bagaimana lagi kehidupan selalu punya pengakhiran karena hidup di dunia ini cuma numpang.

“Kau serius sekali memperhatikan Dirga. Enggak kayak biasanya aja, Ta.”

“Enggak tahu kenapa setiap kali ngelihat Dirga tuh berasa di selimut penyesalan. Gue cuma takut aja kalau Dirga kenapa–kenapa sadar enggak sih, selama ini tuh anak kayaknya tulus banget ke gue biarpun gue sering mengabaikan.” Tatapan Tirta masih tertuju pada Dirga yang sedang asik bermain bola bersama teman–temannya.

Talita juga melakukan hal yang sama tak terasa semakin lama perasaan Tirta semakin membaik. Cowok itu perlahan mau menerima kehadiran Dirga, kali ini pun Talita sangat bahagia karena Tirta mau berbicara banyak dengannya.

“Kalau seperti itu belajarlah untuk jadi Abang yang terbaik buat Dirga. Kalau pun enggak bisa setidaknya udah berusaha,” usul Talita yang tersenyum manis ke arahnya.

Degup pada jantungnya berirama klasik teduh tatapan Talita, indah senyumannya membuatnya semakin tak ingin berlama–lama menggantungkan perasaan cinta. Tak ada waktu yang bisa di ulur ke belakang Tirta juga tidak ingin berlama–lama memendam perasaan.

Ketika keduanya sedang asik bertatapan tiba-tiba saja Dirga berteriak kesakitan. Ada kegaduhan di sana, bahkan Tirta sempat melihat Sandy yang datang tiba-tiba merebut bola dan dengan sengaja mendorong tubuh Dirga. Sehingga membuatnya terjatuh dalam tumpuan yang tak benar. Tirta berlari membelah kerumunan kemudian merengkuh tubuhnya yang sudah berkeringat dingin.

Dirga tak sanggup untuk tak meneteskan air mata, anak itu menangis sesegukan karena rasa sakitnya sungguh kelewatan. Tirta mencari keberadaan Sandy yang rupanya sudah menghilang. Melihat Dirga yang kesakitan membuat Tirta merasa kasihan, ia pun langsung menggendong tubuh lemas Dirga di atas punggungnya.

Di susul juga oleh langkah Talita setelahnya. Tirta masih bertanya-tanya kenapa Sandy tiba-tiba saja mencelakai Dirga dan bukan dirinya, apa mungkin Sandy sedang melakukan semacam pembalasan.

──────── (´A`。 ────────

Plak!

“Jadi Abang kok enggak berguna sih, Tirta?! Kau lihat sendiri kan keadaan Dirga. Ini kesalahan siapa kalau bukan kesalahanmu, dasar anak enggak bergu—”

“Cukup, Pa. Papa boleh mukul aku semaunya tapi jangan mukul aku pakai perkataan di depan semua orang, jujur. Itu lebih menyakitkan dari pada Papa mukul atau pun nampar aku pakai tangan!”

Raka terdiam hening mulai mencengkram di depan pintu kesehatan. Dada Tirta naik turun tak beraturan karena baru saja Raka berkata kasar dan hampir mengumpatinya di depan semua orang, Tirta meneteskan air mata ia sering kali terluka akan tetapi Raka selalu saja menyalahkannya.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now