Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 6

543 70 17
                                    

Dan pada akhirnya Tirta harus mengalah juga senantiasa percaya bila happy ending—nya pada cerita, itu memang benar adanya. Ia turut menjalankan semacam permainan yang sudah terlanjur ia jalankan setengah bagian. Baik itu sebuah kebahagiaan mau pun masalah yang terus berdatangan, Tirta tidak ingin memikul sebuah beban sendirian.

Apalagi pada kedua bahunya yang kian lama kian merenggang menjadi sebuah kerapuhan. Kehidupan pada dunianya sedang tidak baik–baik saja, bohong bila mereka bilang katanya ‘kalau yang hancur itu bukan duniamu, melainkan hatimu’ ia tidak bisa percaya. Bahkan bila ada seseorang dari mereka bertanya bagaimana kehidupan se–orang Tirta yang terlihat sangat sempurna.

Maka Tirta akan menjawab sejujur–jujurnya bila sebenarnya itu tidak seindah kelihatannya. Hidupnya tidak baik–baik saja dilahirkan dengan rupa yang rupawan, berkaki jenjang sangat terpandang. Akan tetapi tidak pada kehidupan semuanya hancur berantakan setelah Tania meninggal, wanita itu memilih mengakhiri hidupnya dengan cara menenggelamkan diri.

Menjadi bentuk pesakitan yang sulit sekali untuk Tirta lupakan, sebuah ketraumaan pada cakupan air yang begitu dalam dan meluap hingga membuatnya kesulitan bernapas. Tirta tidak bisa melupa karena ia melihat sendiri proses kematian Mamanya.

“Tirta,” panggil Ikmal sembari berlari kecil menghampirinya.

Tirta hanya diam saja ia juga tidak menoleh ketika Ikmal menepuk bahunya. Cowok itu cendrung demikian akan tetapi Ikmal yang sudah paham hanya bisa menghela napas kasar.

“Kenapa?”

“Lo bukannya mantan atlet renang, kan. Jadi, tuh. Begini Pak Ilham nyuruh gue buat cari perwakilan Kelas kita buat acara ulang tahun sekolah, kebetul—”

“Kalau lo cuma mau kasih kabar beginian jangan ke gue, Mal. Lo beneran salah orang gue bukan orang yang lo cari sekarang gue bukan Tirta yang dulu.” Tirta menatap penuh emosional sedangkan Ikmal berpikir keras tentang kesalahan apa yang baru saja ia perbuat.

Sahabatnya berubah pesat semakin emosional dan tidak memikirkan dirinya yang tengah kebingungan. Hingga pada akhirnya pula Ikmal paham, ia baru saja mengingatkan Tirta pada masa lalu kelam.

Yang di mana telah membawa Tania sang Mama meninggal. Ikmal baru ingat sekarang bila Tirta mengalami sebuah ketraumaan, cowok itu akan jatuh pingsan mau pun terserang panik berlebihan. Ikmal merasa bila dirinya benar-benar bodoh dengan tundukkan kepala ia berusaha meminta maaf atas kesalahannya, “g-gue. Beneran minta maap kalau begitu gue cari yang lain aja.”

Setelah Ikmal pergi meninggalkannya. Kemudian Tirta mengepalkan kedua tangan. Ia bukan kesal terhadap perbuatan Ikmal barusan, hanya saja ia benci karena ia yang tak kunjung melupakan masa lalu kelam. Seharusnya kenangan itu ikut menghilang bukan malah terus terkenang menjadi bentuk kelamahan dirinya sekarang.

──────── (´A`。 ────────

Hubungan Dirga telah merenggang bersama Tirta keduanya tidak lagi saling sapa setelah kejadian kemarin. Dirga tidak berani menegur Tirta duluan, ia ragu dan takut jika semisalnya kakaknya itu bersikeras mengabaikan.

Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk memperbaiki keadaan menyelesaikan secara terang–terangan tanpa melibatkan persoalan. Dirga tidak ingin Tirta kembali di libatkan dalam permasalahan dan berakhir membuatnya kesakitan, “pembatalan rekomendasi petukar pelajar itu bukan kesalahan abang. Tapi kemauan aku sendiri, Pa. Aku yang minta saran sama Bang Tirta dan aku juga yang menyetujuinya jadi itu bukan sepenuhnya salah dia.”

Dengan usapan lembut pada jemari tangannya dan juga tatapan teduh yang Raka berikan untuknya. Membuat Dirga tidak bisa berkutip apa–apa ia memang suka perlakuan Raka terhadapnya, akan tetapi ia juga tidak bisa bila Tirta terluka olehnya juga.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Donde viven las historias. Descúbrelo ahora