Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 3

945 96 5
                                    

Tirta tetap bertahan walau terkadang rasanya menyakitkan akan tetapi begitulah kehidupan seseorang. Tidak akan mungkin terus berjalan tanpa sebuah pesakitan dan di barengi oleh kebahagiaan sesulit apa pun kehidupan, Tirta jadi paham bila inilah takdir serta lukanya yang berbeda.

Setiap kali melihat senja atau pun bumantara maka Tirta akan mengingat sang Mama. Wanita yang selama belasan tahun hidup bersamanya senantiasa ada ketika dirinya terluka, merengkuh tubuhnya ketika sedang kedinginan. Setiap kali mengingat masa–masa di mana masih ada Mama entah kenapa Tirta semakin terluka. Rasanya percuma saja jika hidup begitu lama tanpa Tania—malaikat kesayangannya—cinta pertama baginya se–orang putra.

Tirta tidak mungkin bisa melupa masa–masa indah bersama Tania, tertawa bersama hingga menghabiskan waktu berdua. Meski kenyataannya sulit untuk di terima Tirta pun harus berusaha kehidupan memang menyimpan tanda tanya, akan tetapi semesta pula punya permainan di mana saja.

“Kalau masih sakit minta izin buat pulang dan kalau semisalnya butuh bantuan. Panggil abangmu buat menjalankan tanggung jawab dia sebagai abang itu besar. Papa harap Dirga enggak usah sungkan,” titah Raka tanpa memikirkan Tirta.

“Aku baik–baik aja kok. Lagian cuma cedera ringan kalau aku terus di manjain kapan mau besarnya, Bang Tirta pastinya juga punya kesibukan dia ‘kan ketua kelas.”

“Dirga,” lirihnya.

Sang putra berusaha meyakinkan jujur saja Dirga tidak merasa enakkan karena sejak tadi Tirta diam. Bahkan kedua tangannya terkepal sebab menahan kesal, Dirga tidak ingin keduanya memicu keributan hanya karena dirinya se–orang akan lebih menyakitkan lagi. Apabila—Tirta kembali di salahkan kakaknya tidak pernah melakukan kesalahan tanpa dirinya inginkan hanya saja Raka yang pandai memicu keributan.

“Sudah–sudah. Dirga baik–baik aja kok, Pa. Cederanya enggak terlalu parah lebih baik kalian berangkat sekarang takutnya entar macet di jalan. Oh, iya. Mama sudah buatkan bekal untuk kalian berdua terlebih lagi buat Tirta ini spaghetti—kesukanny—”

Bruk!

Kotak bekal berwarna biru itu pun jatuh di atas lantai isi di dalamnya berserakan tak ada lagi keistimewaan selain berantakan. Dita sedikit menghela napas ringan padahal ia sudah berusaha membuatkan spaghetti spesial hanya untuk Tirta se–orang. Akan tetapi hasilnya pun kurang berkenan air matanya hampir meluruh tapi sebisa mungkin Dita tahan, ia tidak ingin Tirta di berikan pesakitan.

“Tante pikir aku bakalan senang, iya? Ini tuh kurang ajar banget lho selama Tante sama Dirga masih ada di sini. Aku enggak akan makan masakan yang Tante buatkan, cuma masakan Mama yang menurutku enak di makan jadi jangan harap bikin menu masakan yang sama seperti Mama!”

“Tirta, t–tapi spaghetti itu Mama bikin dengan resep Mama Tania dan pastinya pun rasanya tetap sama aja. Masih ada beberapa menit lagi Mama bikinkan lagi, ya?”

“Biarpun dengan resep yang sama tapi tangan  pembuatnya berbeda itu akan mempengaruhi rasanya dan itu nggak akan sama!” Kata Tirta yang menatap tajam ke arah Dita.

Seketika langsung membuat Raka murka dan hendak menamparnya sekuat tenaga pula. Dita menahan lengan sang suami ia mana mungkin membiarkan Raka melukai Tirta, karena baginya Tirta adalah putranya juga.

“Lepaskan, Ma. Anak ini harus di kasih pelajaran biar enggak makin kurang ajar bisa–bisanya dia berkata seperti itu.”

“Pa. Aku mohon jangan pukul Tirta atau pun apanya yang di bilang Tirta itu memang benar,” ujar Dita. Bahkan wanita setengah baya itu pun menundukkan kepala.

Tanpa membuang–buang waktu lama Tirta langsung menarik pergelangan tangan Dirga dan membawanya keluar. Ia menuju halaman depan yang di mana mobil terparkirkan ada Pak Komar selaku sopir kepercayaan. Beliau tersenyum sumbang ke arah sang majikan dan hendak membukakan pintu mobil.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼 Where stories live. Discover now