🌶🍭SCR -23🍭🌶

124 29 8
                                    

"Good luck deh buat lo

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Good luck deh buat lo."

Seandainya yang mengucapkan kalimat itu adalah Kirana, tentu Carol akan sedikit tenang. Dia merasa diberi semangat. Lain halnya kalau Nia. Justru keberanian Carol untuk naik ke lantai 4 turun drastis. Kata-kata Nia seperti mengejek dan mendoakan hal buruk terjadi pada Carol. Bukan berpikir negatif, tapi dari tampang tengil dan cibiran yang Nia lempar, tentu semua orang akan mengira demikian.

Carol mengambil napas panjang berkali-kali. Memantapkan hati untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi di lantai 4. Bukan tidak mungkin baik Firman atau Belva akan menegur karena peristiwa barusan.

Menjejak di depan pintu kantor general manager membuat kerja jantungnya meningkat. Sirkulasi darah pun mengalami gangguan. Membuat ujung-ujung jarinya terasa dingin. Berbagai doa mulai dari Al Fatekhah, ayat kursi, sampai doa sebelum makan ia gumamkan. Bukan salah Carol kalau mendadak otaknya tidak berfungsi. Masih untung dia cuma merapal doa sebelum makan bukan bacaan salat jenazah.

Tarikan napas panjang mengiringi gerak tangannya mendorong handle pintu. "Yang terjadi maka terjadilah. Pasrah lebih baik ketimbang memberontak bukan? Lagipula aku memang nggak salah. Wanita tadi saja yang terlalu cemburu," gumam Carol.

"Duduk!" perintah tegas Firman yang tengah duduk di salah satu kursi di depan meja Belva.

Carol memberanikan diri untuk mengangkat muka. Semakin dia tidak percaya diri tentu pimpinannya akan berpikir dirinyalah yang bersalah. Sekilas Carol memindai seisi kantor seluas kurang lebih 20 meter persegi.

Gila, kantornya aja lebih besar dibanding ruang tamu dan ruang keluarga di rumah Pakde Prapto. Baru kali ini Carol memasuki ruang pimpinan tertinggi di GWS.

Ia tak menemukan dua sosok pembuat onar di area resepsionis tadi. Hanya ada Belva yang tengah duduk bersandar dengan posisi jegang. Lengan kanannya bersandar di pegangan kursi sambil memainkan pulpen. Baru kali ini Carol melihat Belva dalam jarak dekat cukup lama. Biasanya dia hanya melirik sekilas. Kebanyakan Carol menundukkan wajah, sehingga tidak dapat melihat dengan jelas ekspresi wajah mantan teman SMA-nya itu.

Benar kata Karina, Nia, dan hampir seluruh anak FO. Bos barunya ini sangat tampan. Oke, dari SMA pun Carol sudah tahu kalau tampang Belva di atas rata-rata. Namun, dengan bertambahnya usia, gurat kedewasaan serta ketegasan semakin tampak di wajah oriental itu.

Carol meminta izin untuk duduk di kursi samping kiri Firman. Sedari dia masuk ruangan sampai detik ini, Carol sadar bahwa Belva sama sekali tidak memandang ke arahnya. Tatapan Belva lurus ke depan, entah berlabuh ke mana, yang jelas bukan pada Carol.

"Kamu tahu kenapa kami memanggilmu?" tanya Firman setelah Carol duduk dengan nyaman.

Carol mengangguk. "Saya tahu, Pak."

"Jadi, kamu mengakui kesalahanmu?"

Carol menggeser duduk hingga sedikit menghadap Firman. "Mohon maaf, Pak Firman, kesalahan apa yang Bapak maksud?"

Sweet Carolina ReaperWhere stories live. Discover now