8 Februari 2022

848 235 85
                                    

DWC #8
[Buat cerita yang mengandung tiga kata ini: Gantungan Kunci, Mimpi Buruk, Pulau]

:.:.:

|| Short Story ||

|| Teenfiction, Supernatural ||

|| 1007 words ||

Gara-gara sebuah gantungan kunci, hidupku berubah jadi mimpi buruk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Gara-gara sebuah gantungan kunci, hidupku berubah jadi mimpi buruk. Aku diasingkan ke tempat terpencil ini, yang katanya adalah sekolah asrama, tetapi lebih mirip penjara, terletak di pulau yang tidak bisa ditemukan dalam peta. Pulau ini bisa saja dikira punggung lima ekor paus yang sedang berembuk kalau dilihat dari kamera satelit karena aku juga tidak bisa menemukannya di internet saat mengetikkan namanya: Pulau Circian.

Ayah dan Ibu bilang ini untuk kebaikanku. Menurutku, mereka hanya takut pada Mr. White.

Aku tidak bermaksud membuat Mr. White kehilangan kunci mobilnya. Masalahnya, tidak ada yang mendengarkanku saat kubilang gantungan kunci itu ditempeli roh jahat. Jadi, aku bertindak sendiri: kubuang gantungan kunci itu ke tempat penggilingan dan pembakaran sampah.

Mana kutahu kuncinya masih mencantol di sana.

Singkat cerita, Ayah berjanji akan mendisiplinkanku pada atasannya di kantor itu dengan mengirimkanku ke sekolah khusus. Aku menolak keras, tetapi bagi Ayah ini adalah batas kesabarannya. Dia bilang, "Ibumu dan aku sudah terlalu sering menoleransi keanehan-mu, Naya. Ini saatnya kau belajar untuk mendewasakan diri."

Seragam sekolahnya jelek sekali—rok kotak-kotak biru-merah macam pola sarung bapak-bapak, kemeja putih yang kainnya kaku, rompi kotak-kotak yang sepertinya juga dijahit dari kain sarung, kaus kaki biru malam dengan lambang norak Circian; gagak hitam dan merpati putih yang membentangkan sayap saling silang. Serius, tidak bisa pilih burung lain?

Sambil menyeret koper ogah-ogahan, aku memasuki pintu depan Sekolah Asrama Circian (iya, nama sekolah dan pulaunya sama; kuasumsikan seseorang yang menamai sekolah ini sedang kehabisan inspirasi atau mengantuk berat atau keduanya).

Tidak ada yang menyambutku. Tidak ada yang mengantarku. Seharusnya ada seseorang yang menunjukkan ruang administrasinya dan mengantarkanku ke kamar asramaku—atau begitulah menurut Ayah. Itulah satu-satunya alasan dia tidak mengantarku dan langsung pergi bersama kapal yang berlayar pergi menjauhi pulau ini. Dia bilang, ini langkah pertama untuk mendisiplinkanku.

Sekolah ini berupa bangunan persegi panjang setinggi enam lantai dengan banyak sekali jendela. Dindingnya berupa bata kecokelatan yang ditumbuhi tanaman sulur liar dan atap hijaunya tampak keropos. Halamannya telah melalui masa kejayaannya—tatanannya cantik, tetapi bata pada jalan setapaknya yang melingkar sudah retak-retak, pagar tumbuhan bonsainya nyaris mati, daun yang menguning di mana-mana—menutupi tanah berumput, menempel ke tiang lampu, beterbangan di udara, bahkan menyangkut di rambutku. Aku tidak terkejut kalau ternyata sekolah ini berhantu—

OracularWhere stories live. Discover now