21 Juni 2023

475 154 50
                                    

|| Day 21 || 1933 words ||

| Akhiri cerita kalian hari ini dengan kalimat "Seumur hidupku, aku tidak tahu kalau aku mempunyai ayah." |

| Psychological Horror, Mystery |
|| Ayah dan Anak ||

Aku terus bermimpi buruk sejak ibuku kena fitnah dan dijatuhi hukuman mati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terus bermimpi buruk sejak ibuku kena fitnah dan dijatuhi hukuman mati. Dalam mimpi itu, aku terus mendengar erangan minta tolongnya yang menyedihkan. Igor menyarankan agar aku kembali ke rumah lama kami, tempat mimpi buruk itu dimulai.

"Kau kehilangan ingatan masa kecilmu selama tinggal di rumah itu," ujar Igor. Hanya dia yang menemaniku melalui semua ini. "Cobalah ke sana, Eddie. Cobalah berdamai dengan masa lalu."

"Atau aku bisa selidiki siapa yang begitu keji memfitnahnya." Kubasuh wajahku dengan air dingin, lalu berjalan ke lemari pakaian untuk bersiap. "Mungkin kakekku, atau nenekku juga terlibat. Mereka selalu memukuli Ibu tanpa sebab. Ibuku adalah orang paling baik dan lembut sedunia—hanya karena dia tidak pernah melawan, mereka kira aku pun akan diam saja seperti dirinya."

Sesampainya kami di rumah terkutuk itu, aku kembali diserang sakit kepala hebat. Lagi-lagi aku mendengar suara ibuku meminta tolong dalam kepalaku sendiri. Mungkin itu ingatan yang mencoba mengemuka kembali.

"Sejauh yang kutahu, kami dulunya tinggal berempat di sini. Aku, ibuku, kakekku, dan nenekku. Hanya sampai sana yang kutahu dari cerita mereka. Aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi." Kupandangi ruang tamu yang kosong dan berdebu. Semua kaca jendela tampak gelap, lantai terasa dingin, tiap sisi dinding menguarkan hawa aneh dan ... apakah ini bau darah?

"Berempat?" tanya Igor. Dia berdiri di ambang pintu ruang tamu menuju lorong yang menghubungkan ruang-ruang lainnya. "Lalu, kenapa ada banyak sekali pintu kamar seolah ada selusin orang pernah tinggal di sini?"

Aku mengernyit dan menghampirinya. "Mungkin maksudmu pintu dapur dan ruang tengah."

"Tidak. Aku serius. Ini semua pintu kamar." Igor menunjuk. Kudapati dia benar.

Ujung lorong ini adalah bukaan menuju ruang tengah, yang kini samar-samar kuingat itu adalah tempat kami biasanya menonton tv atau bersantai atau membaca. Dan setelah ruang tengah itu, barulah dapur. Jadi, pintu-pintu di lorong ini, yang jumlahnya memang ada dua belas ... memang benar pintu kamar tidur.

Kamar tidur siapa?

Kupegangi kepalaku, merasakannya kembali berguncang oleh memori samar.

Sayang, ini suara ibuku saat aku masih anak-anak. Sayangku, tolong Ibu.

Aku memaksa pintu kamar pertama sampai terbuka. Kuncinya sudah rusak dan daun pintunya langsung menjeblak ke dalam, membuatku oleng. Igor menahanku. Namun, kami sama-sama terkejut dan pada akhirnya harus berpegangan pada satu sama lain.

OracularTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang