11

3 1 0
                                    

Dunia seolah sepi. Harapan berkumpul dengan kedua orang tua kandungnya kini tinggal kenangan. Tawa tak lagi terlihat di wajah cantik Azalea. Duka nestapa menenggelamkannya pada sebuah kesepian tak berujung. Hanya ada tangis, tanpa pundak.

Matanya nanar menatap langit senja. Tiada jingga di sana. Gemerincing air hujan menggantikan jingga kesukaannya.

"Adakah suka di kemudian hari?" bisiknya dalam hati. Bulir bening jatuh perlahan, membasahi pipi kurus Azalea.

Gadis penjual bunga itu menarik napas dalam. Mencari ketenangan di sela kesedihan.

Dari sudut ruangan, Redi berdiri menatap Azalea. Senyum kecut tersungging perlahan. Meski lampu temaram, ia masih bisa melihat dengan jelas kesedihan sahabatnya.

"Kamu melakukan ini sudah hampir 30 hari, Lea. Apa kamu tidak bosan?"

Azalea mendongak ketika Redi tiba-tiba menghampirinya dengan membawa sebungkus roti dari Bu Juwi untuk dirinya. Sejak pagi, Azalea hanya minum segelas teh manis.

Azalea terdiam. Ia kembali menatap rinai dengan pandangan kosong.

"Kamu masih punya Bu Sari yang harus kamu perhatikan."

Ucapan Redi mengembalikan kesadaran Azalea. Benar, hampir satu bulan dirinya melupakan ibunya yang tak berdaya. Selama itu pula ia hanya meratapi nasib tanpa peduli orang lain di sekitarnya.

Tanpa berkata-kata, Azalea bangkit hendak melihat Bu Sari, tapi ditahan oleh Redi.

"Bu Sari sudah tidur. Biarkan ibumu istirahat." Redi meyakinkan Azalea bahwa ibunya baik-baik saja.

"Redi, kamu tau yang aku rasakan? Akan lebih baik hidupku waktu dulu. Saat aku menganggap tidak punya siapa-siapa."

Redi mengangguk samar. Menepuk punggung Azalea perlahan. Ia hanya diam. Membiarkan sahabatnya menumpahkan keresahannya.

Menit-menit berlalu. Meninggalkan dua anak kecil yang masih bergelut dengan pikirannya masing-masing.

"Di luar dingin. Masuk lah," ujar Bu Juwi mengejutkan keduanya. Wanita itu menatap cucunya sendu. Tangannya menarik Azalea kemudian memeluknya erat-erat.

"Di mana Lea yang ceria dan penuh semangat? Apakah dia juga sudah meninggalkan nenek? Alangkah sedih hidup Nek Juwi ini," lirih Bu Juwi sembari mengusap rambut Azalea. Matanya memanas, bulir bening menetes tanpa bisa ditahan lagi.

Azalea menggeleng. Gadis kecil itu mendongak dan mencium tangan Bu Juwi. Suasana menjadi sunyi ketika Azalea menutup mata. Rintik hujan menjadi saksi bisu kepedihan yang dirasa gadis kecil itu.

"Lea di sini, Nek."

"Kalau begitu, mari kita tidur. Kita selesaikan besok semua yang sudah terlewat."

Azalea mengangguk menyetujui permintaan Bu Juwi.

*****

Pagi menyapa dengan suka cita. Kali ini Azalea mencoba menyingkirkan kepedihan hatinya. Di awali dengan merawat Bu Sari yang terbaring di kamarnya, Azalea tak lupa untuk membantu sangat nenek membuat kue. Sementara Redi membantu sebisanya, menyediakan sesuatu yang dibutuhkan oleh Bu Juwi.

Di hari yang cerah ini, Azalea mencoba menyusun harapannya kembali. Memupuk cita-cita yang sempat terlupakan. Impiannya masih sama, bisa sekolah seperti anak kecil pada umumnya.

Azalea menatap Redi, seolah bertanya, "Apakah kita masih bisa mengumpulkan uang untuk sekolah?"

Redi mengerutkan dahi ketika mendapati Azalea termangu dan menatap ke arahnya. Lelaki kecil itu melangkah perlahan kemudian mendekati Azalea.

"Ada apa?" bisik Redi pada Azalea.

Azalea tersentak lalu menggeleng dengan cepat. Raut wajahnya kini terlihat murung, tidak seperti tadi pagi.

"Redi, bisa bantu nenek?"

Redi mendekat dan mengangguk.

"Bisa tolong antar kue ini ke sekolah yang terletak di gang depan sana?" Bu Juwi memberikan secarik kertas bertuliskan alamat sekolah yang dimaksud pada Redi.

Lagi, Redi mengangguk dengan cepat. "Dengan senang hati, Bu."

Bu Juwi tersenyum kemudian memberikan sebuah tas kertas pada Redi.

"Sana. Ajak Lea."

Redi dan Azalea pun bergegas tanpa menunggu aba-aba lagi. Keduanya mencoba mengayuh sepeda milik Bu Juwi perlahan menuju sekolah.

"Yakin kamu bisa?"

Redi memasang wajah ragu. Ia pernah belajar mengendarai sepeda milik Adam, tapi hanya sebentar dan itu sudah lama sekali.

"Kita jalan saja seperti biasanya."

Azalea pun menyetujui usulan Redi. Mereka berjalan tanpa mengenakan alas kaki. Panas? Tentu saja. Bahkan kerikil tajam sudah sering melukai kaki keduanya. Menurut Azalea dan Redi, itu bukanlah masalah besar.

"Redi?"

Anak lelaki itu menoleh. Ia menaikkan alis mata seolah bertanya, "Mengapa?"

"Apakah memungkinkan untuk kita bersekolah?"

Redi tertawa kecil. Ia menatap langit sekilas, kemudian menatap langkah kecilnya.

"Kamu tau aku tidak punya uang. Apalagi sudah lama kita tidak memulung," jawabnya sambil tersenyum kecut. Tidak dapat dipungkiri, sekolah juga masih menjadi impian Redi. Namun, apa boleh buat. Tidak semudah itu untuk mewujudkannya bagi anak yang hidup miskin sepertinya.

"Apakah Nek Juwi tidak bisa menyekolahkan kita?" Azalea menatap Redi penuh pengharapan. Berharap sangat nenek dapat mengabulkan impiannya.

Redi hanya menggeleng samar. Ia tidak yakin pada harapan Azalea kali ini. Mengingat dirinya bukanlah siapa-siapa Bu Juwi. Redi tidak ingin berharap terlalu banyak. Diizinkan tinggal bersama sahabatnya saja sudah menjadi keberuntungan tersendiri untuknya.

"Aku tidak yakin ada sekolah mau menerima kita."

"Kenapa?" Azalea sontak membalikkan badan menghadap Redi dan melangkah mundur. "Karena kita tidak punya uang?"

"Bukan." Redi mengimbangi langkah Azalea yang melambat. "Karena kita sudah sebesar ini. Umurku sudah hampir 12, dan kamu menjelang 11."

Azalea terdiam. Ia menunduk dan membalikkan badan seperti semula.

"Apakah harapanku kali ini akan pupus? Apakah impianku hanya mimpi belakang dan tak akan pernah menjadi nyata?"

Pertanyaan demi pertanyaan menyerang Azalea. Pertanyaan yang ia sendiri tidak tau jawabannya.

"Kalau boleh memilih, aku tidak ingin seperti ini," lirihnya dalam hati.

Azalea menutup wajah beberapa saat menggunakan dua telapak tangan sebelum mempercepat langkah agar sampai pada tujuan tepat waktu. Kemudian kembali dan melakukan hal yang dapat mengobati luka hatinya.

Akan tetapi, keramaian melenakannya. Azalea terpana ketika sampai di sekolah. Anak-anak berkumpul di lapangan, seperti sedang merayakan sesuatu yang menyenangkan. Gadis itu mematung, kembali melambungkan angan setinggi langit.

"Berseragam cantik, diantar orang tua sampai ke pintu gerbang. Hal yang tidak mungkin aku miliki."

Azalea tersenyum kecut sembari mengusap sudut matanya.

*****

AzaleaWhere stories live. Discover now