6

15 2 0
                                    

Azalea tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Setelah sampai di rumah, ia langsung menemui ibunya untuk memberikan hadiah dari bu guru. Lili. Ya, pesonanya indah seperti bunga lili.

Tidak seperti biasanya, kali ini senyum tipis tak lepas dari bibir Azalea. Senyum kekuatan yang baru saja ia dapatkan dari seorang wanita cantik dan baik hati. Bak seorang peri.

"Ibu tau? Bunga lili itu sangat indah. Aku menyukainya," ucap Azalea sambil menyuapi sang ibu menggunakan tangan.

Bu Sari menatap Azalea kemudian tersenyum.

"Kamu menemukan bunga itu, Lea?"

Azalea menggeleng. "Wanita baik hati itu bernama Lili, Ibu."

Hati Bu Sari bergetar setelah mendengar nama Lili disebutkan. Ingatannya kembali pada beberapa tahun silam. Tepatnya, 10 tahun yang lalu. Meskipun sudah lama, ia tak dapat melupakan hari itu. Hari yang sangat berkesan baginya sekaligus menegangkan.

"Ibu melamun? Nasinya belum habis." Azalea menyentuh tangan sang ibu dari samping.

Wajah gugup Bu Sari mengundang tanya bagi Azalea. Sebab, tidak biasanya sang ibu bertingkah demikian. Biasanya, wanita paruh baya itu menghabiskan waktu makannya dengan bercerita, bersyukur, dan membahas tentang bunga-bunga milik Azalea. Namun, tidak kali ini. Ia terlihat sangat tegang.

"Kamu tidak makan, Lea?"

Azalea diam dan menatap Bu Sari sendu. Sesungguhnya ia sangat lapar, tapi tak mungkin mengutarakan hal tersebut pada sang ibu. Untuk kesekian kalinya, gadis kecil itu terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya masih kenyang.

"Ibu sudah kenyang," tutur Bu Sari setelah menghabiskan setengah porsi dari nasi kotak tersebut.

Azalea melirik kotak itu dengan sudut mata. Air liur menggenang di mulut mungilnya. Sayang jika makanan itu dibuang. Namun, akan basi jika disimpan.

Aroma begitu menggoda, membangunkan cacing-cacing yang tengah kelaparan. "Apakah salah jika nasi itu kumakan?" batin Azalea sambil menelan ludah dan membasahi bibir.

Setelah menarik napas, gadis kecil itu memberanikan diri untuk menyantap sisa makanan ibunya. Bu Sari bersorak dalam hati. Selama ini, wanita itu belum pernah melihat putri kesayangannya makan dengan lahapnya.

*****

Azalea melemaskan pundak, bunga mawarnya tidak banyak yang mekar. Bingung kembali tergurat di wajahnya. Sementara, kerajinan tangan yang diajarkan oleh Redi, belum mampu ia selesaikan.

Gadis itu berbalik ke dalam gubuk dan mengambil sebuah karung lusuh. Memulung. Ya, ia tak mungkin diam saja. Dari mana dapat membeli makanan untuk sang ibu jika dirinya bermalas-malasan?

"Matahari masih bersinar untukmu, Azalea!" gumamnya sambil mengayunkan langkah.

Impian kecil yang dibangun sejak lama, tak pernah pupus. Meski keadaan tak memungkinkan baginya untuk meraih impian. Sekolah. Seperti anak-anak lain.

Azalea melangkah cepat. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengintip sekolah seperti biasanya usai memulung dan menjual bunga. Ada di sana ... adalah sesuatu yang sangat berkesan. Meski terkadang perlakuan buruk didapatkan dari sebagian orang yang melihat.

"Apa yang kamu pikirkan?"

Redi. Anak itu tiba-tiba muncul dan mengejutkan Azalea yang tengah melamun.

"Ah, tidak!"

"Fokus," ucap Redi sambil menunjuk mata Azalea menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.

Azalea mengangguk tanpa membantah atau pun berdalih.

"Oh, ya. Apa kabar gelas-gelas itu? Apakah sudah kamu sulap menjadi cantik?"

Azalea menghentikan gerakan tangannya, kemudian mendekat pada Redi.

"Aku terlalu senang, karena semalam perutku kenyang, Redi."

Redi menelan ludah. Hatinya terenyuh. Gadis kecil yang selalu bersamanya, begitu kuat hingga harus menahan lapar setiap harinya.

"Andaikan aku bisa membantumu," sahut Redi lirih.

Azalea tersenyum tipis.

"Masa ini akan berlalu. Seperti yang dikatakan oleh Bu Lili."

"Bu Lili?"

"Iya, guru cantik yang memberi kita buku. Dia bagaikan peri, baik hati."

Azalea tersenyum lebar mengingat sore kemarin, saat indah bersama bu guru. Matanya berbinar. Mengisayaratkan bahwa akan ada cahaya kemudian hari untuknya.

"Bagaimana jika kita ke sana setelah memulung?"

Tanpa pikir panjang, Azalea mengangguk. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk menggali ilmu dari Bu Lili.

Beberapa jam berlalu. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Itu artinya, anak-anak sekolah sudah berhamburan untuk pulang.

Azalea dan Redi mempercepat langkah agar dapat menemui Bu Lili. Namun, sayang. Guru cantik itu tidak dapat mereka lihat.

"Pak, apakah Bu Lili sudah pulang?"

Azalea memberanikan diri bertanya pada penjaga sekolah saat tempat itu sudah mulai sepi. Faktanya, Bu Lili tak lagi mengajar di tempat itu. Wanita tersebut pergi karena suatu alasan yang tidak diutarakan pada siapa pun.

Azalea menunduk lesu. Menatap jemari kakinya yang tak beralas.

"Dia telah pergi, Redi."

Raut sedih tak dapat disembunyikan. Ia tidak tahu harus berguru pada siapa lagi jika Bu Lili tidak ada. Hanya guru cantik tersebut yang bersedia menjadi temannya selain Redi.

"Kelak, kamu yang menjadi penggantinya," jawab Redi menghibur Azalea.

Azalea melempar senyum riang. Angannya terbang membayangkan dirinya menjadi seperti Bu Lili. Dapat membahagiakan sang ibu, juga membantu orang lain. Alangkah indahnya.

Azalea menarik tangan Redi untuk berlalu dari tempat itu dan menuju tempat di mana ia menghabiskan waktu bersama Bu Lili kemarin sore. Sayang, tidak ada kupu-kupu dan bunga seperti dalam mimpinya. Sebelumnya ia membeli ubi terlebih dahulu. Nasib baik, si nenek masih ada.

"Ubi ini cukup untuk dua hari, aku lega," ucap Azalea sambil memasukkan ubi dalam karungnya.

"Baguslah. Setidaknya ... dapat mengurangi kerisauanmu."

"Benar. Aku sedih melihat ibuku lapar."

Azalea menitikkan air mata. "Tapi, sekarang aku juga sedih. Bu Lili tidak ada."

*****

AzaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang