9

4 1 0
                                    

Hari begitu cerah, Azalea menyambut matahari dengan senyum terkembang. Hari ini, suatu hal yang baru akan dimulai. Gadis itu berlari riang menuju gubuk Redi setelah memberi sarapan roti pemberian Bu Juwi pada ibunya. Hatinya gembira dapat melihat sang ibu tersenyum.

Langkah kecil terayun. Pundaknya tak lagi dilemaskan. Ia mencoba menyusun mimpi-mimpinya disela ketiadaan, seperti kemarin. Siapa saja boleh bermimpi, bukan? Meski mimpinya belum tentu menjadi kenyataan, tapi gadis itu tidak pernah bosan.

"Matahari masih bersinar untukku," gumamnya sambil menggigit daun ilalang yang ia petik sambil berjalan.

Gadis itu meneruskan langkahnya, hingga tak sadar sampailah di sebuah danau kecil yang ditumbuhi banyak bunga. Ia terkesiap. Matanya mengamati sekeliling mencari sesuatu.

"Peri! Kau di mana?" pekik Azalea dengan daun ilalang masih di mulut.

Gadis kecil itu memanggil peri berkali-kali—memutar mengelilingi danau dengan mata jelalatan. Namun, ia tak menemukan apa pun. Hanya embun pagi yang ada di sana.

"Hei!"

Seseorang memukul pundaknya dari belakang, membuyarkan lamunannya.

"Huh, khayalan!"

Pundak Azalea melemas.

"Harusnya kamu tidak menggangguku, Redi. Akan sulit bagiku menemukan tempat itu."

Redi tertawa. Ia menggeleng, lalu menyamakan langkah dengan Azalea.

"Kamu melihatnya lagi?"

Azalea mengangguk lesu. Angannya menerawang jauh. Wanita itu, ia merindukannya. Entah kapan rasa itu ada, yang jelas wajah sosok tersebut membuatnya penasaran.

"Matahari mulai meninggi!" pekik Redi mengingatkan Azalea. "Kita harus ke rumah Bu Juwi, bukan?"

Azalea melebarkan mata, sudah terlalu lama mereka ada di sana.

"Ini bukan waktunya untuk bersantai!"

Azalea berlari diikuti oleh Redi. Tanpa mempedulikan pucuk ilalang yang menusuk, dan duri putri malu menggores kulit.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di rumah Bu Juwi. Wanita itu sudah menunggu di teras dengan wajah tertunduk.

"Maaf, kami terlambat," ucap Azalea terbata.

Bu Juwi hanya tersenyum, kemudian menyilakan Redi dan Azalea duduk di kursi yang ada di sampingnya.

"Apa kabar ibumu? Apa baik-baik saja?"

Azalea menjawab dengan anggukan kecil — diikuti oleh senyuman manisnya.

"Apa boleh ibu mengangkat kalian sebagai anak?"

Azalea dan Redi tertegun, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Orang tua asuh? Itu hal yang tak pernah Redi bayangkan sebelumnya.

"Kalian tidak kasihan pada ibu yang kini hidup sendirian? Ibu kesepian!"

Oh, bukan hanya Azalea dan Redi yang kesepian, tapi Bu Juwi juga. Hidupnya yang serba kecukupan, ternyata tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Sungguh, hidup penuh teka-teki.

Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Azalea dan Redi menerima permintaan Bu Juwi. Bukan semata-mata ingin hidup layak, tapi mereka merasa kasihan pada wanita itu.

Seiring berjalannya waktu, Azalea dan Redi kini sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung, meski tidak sempurna. Mereka kini tidak lagi memulung, melainkan membantu Bu Juwi berjualan kue dari pagi sampai siang. Malamnya, digunakan Redi untuk belajar, semetara Azalea pulang ke rumah Bu Sari. Gadis kecil itu tidak ingin meninggalkan sang ibu sendirian.

Sampai suatu saat, Azalea menemukan sesuatu yang mampu membuat keningnya berkerut. Sebuah liontin berwarna ungu. Sama persis dengan liontin miliknya. Ah, mungkin itu hanya kebetulan. Seperti itulah pikiran Azalea. Ia tidak ingin memikirkan hal lain.

"Bu Juwi, ini milik siapa?"

Bu Juwi yang tengah menaburi keju pada kue sontak menoleh. Matanya berkaca melihat liontin tersebut ditemukan.

"Di mana kamu menemukannya, Lea?"

"Ada di bawah meja sana." Azalea menunjuk meja tua yang terletak di sudut ruang televisi.

Bu Juwi menarik napas lega. Itu adalah miliknya yang telah lama hilang setelah ia mewariskan pada anaknya, yang tak lain adalah Bu Lilian.

"Liontin ini belum bertemu dengan pasangannya."

"Pasangan?"

"Liontin ini ada dua, yang satu lagi ada pada cucu ibu yang hilang setelah kejadian itu."

Azalea terharu. Sungguh malang nasib Bu Juwi. Sudah setua ini, tapi harus merasakan kesedihan mendalam karena kehilangan orang-orang yang dicintainya.

"Ibu jangan menangis, nanti Lea jadi sedih."

Bu Juwi mengusap matanya, kemudian memeluk Azalea dari samping. Tangannya lembut mengusap rambut gadis kecil itu, hingga tanpa sadar ia menyentuh liontin yang dikenakan Azalea.

Mata tua itu melotot, mengamati liontin yang dikenakan Azalea baik-baik.

"Apa ini milikmu?"

"Jika milik Redi, tidak mungkin Lea yang memakai, Bu!"

Bu Juwi tertawa sumbang mendengar jawaban Azalea. Ia perlahan meraba dan mengeluarkan liontin Azalea yang sengaja disembunyikan.

"Sungguh ini milikmu?" tanya Bu Juwi mencari kebenaran.

Azalea mengangguk bingung. Ia tidak mengerti mengapa Bu Juwi tiba-tiba tertarik dengan liontin miliknya?

"Kamu tau? Ini milik ibu." Bu Juwi menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk Azalea erat. Sementara, gadis kecil itu semakin bingung dengan situasi saat ini.

"Siapa nama ibumu, Nak?"

"Sari."

Bu Juwi mengeratkan pelukannya setelah mendengar nama itu disebut. Namun, beberapa saat kemudian wanita itu mengusap pipinya dan menceritakan semuanya pada Azalea bahwasanya Bu Sari adalah adik kandungnya.

"Kamu mengenal gadis cantik itu?"

Bu Juwi menunjuk foto milik Bu Lilian sambil tersenyum.

Azalea mengangguk.

"Dia adalah ibumu, Nak."

Azalea terperangah. Tubuhnya terhuyung ke belakang, seakan hendak tumbang. Nasib baik Redi tengah mendekat sehingga dapat menolong gadis kecil itu.

"Lihat, liontin ini ada nama ibu di dalamnya."

Azalea menangis. Sekian lama, ia hidup susah. Menghidupi wanita lumpuh dengan sekuat tenaga, sendirian. Bahkan dirinya rela menahan lapar demi sang ibu tercinta.

Ternyata, orang yang ingin ia temui berada di dekatnya.

*****

AzaleaWhere stories live. Discover now