5

7 5 1
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, Azalea menggantung harapan setinggi langit. Suatu saat, ia bisa menikmati hidup seperti anak-anak lain. Bermain, bergurau, tidur di kasur empuk, dan memakai pakaian bagus. Namun, ia menarik kembali impiannya mengingat hal itu tidak akan pernah terjadi.

Perutnya tak akan kenyang hanya karena harapan kosong tersebut. Harapan yang tiada berujung menurutnya.

Azalea mempercepat langkah, berharap bertemu nenek penjual ubi kayu. Sialnya, kali ini ia harus kembali melemaskan pundak—melepas harap, karena sang nenek tidak ada.

Wajah Azalea tertunduk, matanya kini dipenuhi oleh air mata. Bagaimana bisa ia memberi ibunya makanan jika sang nenek tidak berjualan?

Azalea membelokkan langkah ke arah sebuah resto. Bukan untuk membeli, melainkan untuk mengais sisa makanan di tong sampah.

"Maafkan Lea, Ibu!" lirihnya sambil mengorek tong sampah.

Gadis itu sekilas tampak ragu. Namun, keadaan membulatkan tekad untuk melanjutkan niatnya.

"Hei!"

Azalea tersentak saat seseorang menepuk pundaknya. Ia menoleh perlahan dengan wajah tertunduk. Jantung gadis itu berdebar, khawatir perbuatannya menimbulkan petaka.

"Adek cari apa?" tanya wanita itu ramah membuat Azalea bernapas lega.

Azalea mendongak, kemudian menggeleng lemah.

Wanita itu mengamati Azalea. Matanya menyipit.

"Kamu?"

Azalea berlari menjauh tanpa mengatakan sesuatu. Niatnya sudah dirusak oleh bu guru cantik yang pernah ia lihat di sekolah impiannya tempo hari.

Wanita itu menautkan alis, menatap punggung Azalea yang mulai menjauh.

"Apa aku terlihat menyeramkan?" tanya hati bu guru sambil menyentuh wajahnya sendiri.

Ada sesuatu yang menyentuh relung hati wanita itu. Sorot mata bocah kecil bernama Azalea—penuh duka, tapi terselip kekuatan luar biasa.

Wanita itu masih setia berdiri, menatap Azalea yang mulai tidak terlihat. Harapan kecil dalam hati, semoga bocah manis itu kelak mendapati hidup layak, seperti dirinya saat ini.

Sementara Azalea, ia terus berlari—tanpa arah. Gadis kecil itu tidak memedulikan kakinya yang tertusuk kerikil tajam. Tentu saja, otaknya kini dipenuhi dengan wajah lapar sang ibu.

Azalea menghentikan langkah untuk mengatur napas. Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah danau kecil dengan bunga-bunga indah tumbuh di sekitarnya. Alangkah menawan, hingga mata gadis itu enggan mengedip.

Gerimis. Kupu-kupu kecil berhamburan mencari tempat yang teduh. Seorang gadis bergaun ala pengantin tersenyum ke arah Azalea. Cantik. Sepertinya ia mengenali orang itu.

"Hari akan hujan, pulanglah."

Wanita itu berucap penuh kelembutan pada Azalea sambil mengayunkan tangannya seperti gerakan tari.

Azalea terkesiap. Suara itu? Ia mengenalnya walau samar.

"Kembalilah esok saat hujan, wahai gadis kecil. Tempatmu bukan di sini."

Hujan deras membasahi wajah Azalea—mengembalikan jiwanya pada dunia nyata. Ah, gadis itu hanya berhalusinasi. Oh tidak, ia dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas.

"Aku akan kemari esok lagi," gumam Azalea. Ia mendongak, dan mendapati bu guru cantik telah berdiri di hadapannya dengan sebuah paper bag di tangan kiri.

Sebelum menyapa, gadis itu menyunggingkan senyum ramah sebagai permintaan maaf karena tadi telah mengganggu Azalea.

"Ibu?"

Azalea tertegun sesaat, kemudian ia membalas senyum bu guru takut-takut.

"Kamu tidak ingin memeluk Ibu?" tanya bu guru setelah mengajak Azalea duduk di bawah pohon mangga tepi jalan setapak.

"Bagaimana bisa Ibu menemukanku?" Azalea menatap bu guru lekat. Namun, pertanyaannya hanya dibalas dengan senyum.

"Pelangi muncul setelah hujan reda, bukan? Sama dengan Ibu, muncul setelah hujan, hehe."

Azalea membenarkan ucapan bu guru, meski dirinya tidak mengetahui filosofi tentang hujan dan pelangi. Bahkan, membaca saja ia tidak pandai. Namun, ia tahu, bahwa tidak ada pelangi saat matahari terik.

"Kamu tau apa maksud Ibu?"

Azalea hanya menggeleng samar.

"Akan selalu ada keindahan setelah kesulitan yang kita hadapi. Yaa, meski keindahan itu terkadang datang melambat."

Gadis kecil itu tersenyum samar, merenungi apa yang disampaikan oleh wanita di sebelahnya.

"Jangan berduka, matahari masih bersinar untukmu."

Waktu terus berlalu, Azalea dan bu guru bercerita sampai hari mulai gelap. Bercerita tentang kehidupan yang ia sendiri tidak tahu akan dibawa ke mana, hingga keduanya terlihat mulai akrab.

Kegetiran demi kegetiran memang harus dilewati, meski sesungguhnya hati kecil meronta. Nasihat-nasihat kecil bu guru cantik tentang hidup, membuat Azalea mampu tersenyum lega, walau tipis.

Keduanya bangkit dari duduk, berniat untuk kembali ke rumah masing-masing. Sebuah kantong plastik yang dibawa wanita cantik itu, kini telah berpindah ke tangan Azalea. Sekotak nasi beserta lauk lezat untuk sang ibu. Hati gadis kecil itu senang tiada terkira. Akhirnya, ibu tercinta mendapatkan makanan.

"Terima kasih, Ibu."

Guru cantik itu hanya tersenyum tipis, sembari melangkah ... ia menyebutkan namanya.

"Namaku Lili."

Azalea tersenyum lebar meski hanya dalam hati—berharap ia kelak tumbuh seperti Bu Lili.

"Terima kasih, Bu Lili," gumam Azalea sambil menyunggingkan senyum yang selama ini ia simpan.

"Aku menantikan pelangi itu, meski harus menunggu hujan turun terlebih dahulu."

Azalea berlari menuju gubuknya. Tiada lagi senandung merdu, juga tarian kecil yang selalu ia lakukan saat pulang. Rindunya pada sang ibu tidak dapat tertahan.

"Jangan khawatir, Ibu. Aku berjuang untukmu," celoteh Azalea sambil mengusap wajah karena terkena percikan air hujan.

*****

AzaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang