8

2 1 0
                                    

Pinggiran kota Jakarta, beberapa bulan kemudian. Tempat di mana Azalea menghabiskan waktu tanpa bermain — dengan udara tercemar. Timbunan sampah semakin meninggi, layak sebuah gunung. Ingin rasanya gadis itu melenyapkan berbagai macam sampah plastik di sana, dan menyulapnya menjadi karya seni bernilai tinggi. Namun, bagaimanapun ia tetaplah seorang anak-anak yang kadang menghabiskan waktu untuk hal lain.

Seperti biasa, pikirannya melayang membayangkan dirinya memakai seragam sekolah. Sangat cantik dan anggun. Gadis kecil itu tersenyum sendirian, hingga seseorang melemparnya menggunakan batu kerikil. Nasib baik, kerikil tersebut tidak mengenai kepalanya.

"Bunga-bungamu layu, Lea!"

Redi yang baru saja sampai di halte langsung membolak-balikkan bunga dalam keranjang milik Azalea.

"Sepertiku!"

Azalea melemaskan pundak dan menarik napas panjang.

"Sepertinya, aku tidak cocok menjadi sosok yang kamu sarankan waktu itu. Aku tak sekuat itu, Redi!"

Redi mendongak, menatap Azalea dengan mata menyipit.

"Maksudmu?"

"Semakin hari hidupku semakin sulit. Bunga-bunga mawarku tak lagi mengembang dengan cantik, tidak laku jika kujual. Kerajinan tangan dari barang bekas sangat kurang peminatnya. Kini tinggal sampah yang aku miliki."

Azalea menatap langit-langit halte. Bulir bening perlahan menetes ke pipinya. Kali ini ia sudah tidak sanggup menanggung beban hidup. Jika menyerah, bagaimana nasib sang ibu?

Hatinya berkecamuk. Jantungnya berdegup tak menentu. Meskipun ia merasa sedih, tapi otaknya selalu berputar memikirkan cara untuk bertahan. Ya, bertahan dari kejamnya kehidupan. Bertahan untuk ibu.

"Apa kamu akan tetap di sini? Matahari sebentar lagi tenggelam."

Redi berdiri dari duduknya, dan menggamit karung yang selalu ia bawa untuk memulung.

Hening. Azalea tidak merespons. Beberapa saat kemudian gadis kecil itu mulai menggerakkan tubuhnya, perlahan dan melangkah mendahului Redi.

"Bukan kamu saja yang bersusah hati," gumam Redi sambil menatap punggung Azalea.

Keduanya terus melangkah, melewati gedung-gedung yang mulai terang dengan lampu. Azalea mematung menatap sebuah tempat, di mana ia bertemu Bu Lili saat mengorek tong sampah. Ah, guru itu sudah tak dapat mereka temui lagi.

"Apa cita-citamu, Redi?"

Tiba-tiba Azalea membalikkan badan dan mengejutkan Redi dengan pertanyaannya.

Redi menautkan alis sebelum menjawab, "Memangnya...." Redi menelan ludah. "Aku bisa menjadi apa?" Bocah itu tertawa sumbang.

"Kamu tak perlu menjadi apa pun. Cukup menjadi orang baik saja." Azalea terkekeh kemudian menggamit tangan Redi.

"Kamu?"

"Jika aku diberi satu kekuatan oleh Tuhan, aku ingin melenyapkan kemiskinan di muka bumi ini. Tapi, itu kan tidak mungkin, ahah!"

Redi mengerutkan hidung. "Kamu hanya perlu menutup mata saat bertemu dengan orang-orang yang seperti kita, ahah!"

Azalea mencebik. Dalam hati ia membenarkan ucapan Redi. Jika mata terpejam, maka semuanya akan hilang dari pandangannya.

"Konyol," jawabnya sambil menarik rambut ikal Redi.

Hari semakin sore, Azalea dan Redi masih menyusuri jalanan sempit menuju gubuknya. Hingga sampailah mereka di sebuah tempat, di mana terlihat seorang ibu tengah duduk termenung sendirian. Raut wajahnya sedih, mengisyaratkan betapa sosok itu tengah berduka.

Azalea mendekat takut-takut, dan berdiri tepat di samping si ibu. Wanita itu adalah Bu Juwi.

"Mana bunga-bungamu? Kenapa baru datang sekarang?"

Bu Juwi menatap dan mengusap rambut Azalea—membuat gadis kecil itu terlihat gugup.

"Kenapa toko kue ibu tutup?" Azalea mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin membahas sesuatu yang dapat membuatnya bersedih.

"Tiada lagi yang membantu ibu. Gadis ibu pergi mencari tambatan hatinya."

Azalea meringis menatap wajah sedih Bu Juwi. Seperti itukah wajah ibunya saat ia pergi memulung terlalu lama? Meski bukan ibu kandung, tapi gadis itu tahu jika sang ibu sangat menyayanginya.

Rasa iba menelusup dalam hati Azalea, juga Redi. Ingin memeluk, tapi mereka bukanlah siapa-siapa Bu Juwi. Keduanya hanya menatap sendu pada wanita paruh baya tersebut tanpa mengeluarkan kata-kata sedikitpun jika Bu Juwi tidak bertanya.

Terkadang, Azalea menganggap bahwa penderitaan adalah miliknya seorang. Nyatanya ada orang lain yang berduka karena suatu hal. Ah, andai hidup tak serumit ini.

"Sejak kepergiannya, ibu tak dapat lagi menghias rumah dengan bunga, karena tidak ada yang membelikan."

Bu Juwi menatap keranjang bunga milik Azalea yang masih penuh dengan bunga layu.

"Anak ibu pasti kembali," ucap Azalea menghibur Bu juwi.

Bu Juwi mengangguk samar.

Beberapa saat kemudian, Bu Juwi mengajak Azalea dan Redi masuk ke dalam rumah. Rapi dan indah. Semuanya tertata, menandakan pemilik rumah sangat menyukai keindahan.

Mata Azalea dan Redi enggan untuk berkedip. Sudut demi sudut mereka susuri. Hingga pada sebuah dinding yang terdapat sebuah foto wanita cantik tengah tersenyum memegang bunga.

"Bu Lilian?" gumam Azalea dan Redi bersamaan.

Azalea mendekat perlahan seiring munculnya Bu Juwi dari dalam sambil membawa sesuatu di tangan.

"Cantik, bukan?"

Azalea hanya mengangguk kecil. "Beliau baik," tuturnya kemudian.

"Hidupnya tak sebaik sifatnya," ucap Bu Juwi sambil tersenyum miris.

Azalea dan Redi diam, mencoba mengerti ucapan Bu Juwi. Namun, belum sempat mereka berpikir, wanita itu sudah mengejutkan keduanya.

"Besok datanglah kemari, banyak hal yang bisa kalian lakukan."

Azelea dan Redi saling tatap. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan seakan sedang berhadapan dengan orang asing.

"Tapi Lea dan Redi harus mencari uang, Bu."

"Di sini juga bisa mendapatkan uang jika mau."

Mata Azalea membulat, kemudian ia tersenyum riang menatap Redi. Apa ini artinya mereka harus pensiun menjadi tukang kembang dan pemulung? Mereka tak ingin terlalu berharap. Sebab, akan lebih sakit rasanya jika kecewa menghampiri.

*****

AzaleaWhere stories live. Discover now