3

16 7 3
                                    

Azalea dan Redi berdiri tepat di depan sekolah—menunggu sang guru keluar dari tempat itu. Wajah ayu dengan senyum tak pernah pudar, wanita itu melangkah santai menghampiri mereka dengan membawa sesuatu di kantong plastik berwarna biru.

"Hai," sapanya ramah. Senyum itu, menyejukkan hati Azalea.

Azalea dan Redi membalas senyum wanita tersebut sambil menerima sesuatu yang diulurkan pada mereka.

"Kalian bisa mempelajarinya di rumah," ucap bu guru.

Bukannya senang, Azalea dan Redi malah memasang wajah bingung. Bagaimana cara mempelajarinya, sementara mereka buta huruf? Hanya angka yang mereka tahu, bukan aksara.

Kedua bocah itu menatap lekat beberapa buku bacaan anak-anak, kemudian tersenyum samar.

"Terima kasih, Bu. Kami senang," ucap Azalea dan Redi bersamaan. Kemudian mereka berlalu meninggalkan guru cantik tersebut sambil melambaikan tangan.

Mereka berlari, jauh ke tempat banyak gelandangan berada, berharap ada yang bersedia mengajari mereka membaca.

"Bang!" pekik Redi memanggil seseorang bernama Adam sambil mengayun-ayunkan plastik pemberian bu guru.

Adam, memiliki umur jauh lebih tua dibanding Azalea dan Redi, yakni 17 tahun. Remaja itu menoleh mendengar namanya dipanggil.

"Hati-hati!" ujarnya mengingatkan agar kedua bocah itu tidak berlari karena banyak benda tajam yang dapat merobek telapak kaki.

Mereka tertawa kecil, dan menghampiri Adam yang tengah melukis.

"Apa yang kalian bawa?" tanya Adam tanpa menoleh. Ia sibuk dengan sesuatu di hadapannya.

Redi membongkar plastik tersebut dan mengeluarkan isinya. "Buku!" jawabnya singkat.

Adam melebarkan mata, sesuatu yang sangat ingin ia baca, tapi tidak mampu membeli sekalipun buku bekas. Matanya berbinar, layaknya seorang anak kecil melihat mainan bagus.

Adam sontak meraih buku tersebut kemudian membacanya dengan lancar. Sementara Azalea dan Redi sibuk mengamati sosok di hadapannya tanpa berkedip.

"Kami juga ingin membacanya," lirih Redi sambil mengguncang bahu Adam.

Merasa kasihan, akhirnya Adam memberikan buku tersebut pada Redi.

"Bacalah!" ucapnya.

Redi menggeleng, membuat Adam mengerutkan dahi. "Maumu apa, Redi?"

"Ajari kami membaca!" sahut Azalea penuh pengharapan.

Adam tersenyum, dan meletakkan kuas lukisnya pada sebuah mangkuk kecil. "Baiklah, panggil teman-teman kalian lain kali, sekarang pulanglah ... hari mulai sore."

Azalea dan Redi mengangguk. Meski hatinya kecewa, tapi mereka masih memiliki harapan hari esok untuk belajar membaca bersama Adam.

"Aku pulang," pamit Azalea pada Adam dan Redi. Keranjang bunga dan sebuah karung lusuh tidak lupa ia bawa serta. Sebelum sampai di rumah, dirinya membeli obat untuk sang ibu di sebuah apotek terdekat.

Wajahnya lesu, gadis kecil itu dapat membeli sedikit obat untuk sang ibu, akan tetapi tidak dapat membeli makanan. Perutnya bahkan belum terisi sejak kemarin sore. Sungguh perih, tapi ... tak ada yang bisa ia lakukan.

Di sepanjang jalan pulang menuju rumahnya, Azalea tak henti berpikir. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan sesuatu lain untuk dijual sehingga bisa sedikit membantu perut laparnya.

Langkahnya terhenti saat melihat nenek tua penjual ubi kayu di pinggir jalan. Matanya menatap sisa uang yang ada dalam genggaman.

"Nek, berapakah harga ubi kayu itu?" tanya Azalea hati-hati.

Nenek renta itu menjawab dengan mulut bergetar. "Dua ribu rupiah satu buah."

Azalea mengamati ubi tersebut. Senyum terkembang. Ubi itu cukup untuknya makan malam, dan sangat cukup untuk hari esok bila ia membeli dengan semua sisa uangnya.

"Saya mau dua buah saja, Nek!" ucap Azalea sambil mengulurkan selembar uang lima ribuan.

Nenek itu tertegun, bingung bagaimana cara mengembalikan sisa uang Azalea.

"Tidak usah dikembalikan, Nek. Saya senang sudah mendapatkan ubi." Azalea berucap terima kasih, setelah itu bergegas pulang.

"Ibu, Lea pulang!" teriaknya. Ia meletakkan barang-barangnya, lalu menghampiri sang ibu.

Ibunya tertidur, itu artinya masih ada waktu merebus ubi untuk sang ibu. Sesungguhnya ia sedih, tapi apa yang bisa dilakukan, membeli beras serta lauk-pauk sangatlah mahal. Mustahil baginya membeli itu semua.

"Semoga, suatu saat nanti ... keajaiban khilaf menghampiriku, Ibu. Akan kubawa ibu ke rumah sakit!" lirihnya sambil menghidupkan kompor usang.

Harapan demi harapan ia pupuk. Harapan kosong baginya. Karena, sebuah harapan harus disertai dengan sebuah usaha. Sementara dirinya? Hanya seorang bocah penjual bunga.

Azalea berkahayal, mengukir angan dalam benak, tapi suara sang ibu membuyarkan semuanya.

"Ya, Bu!" jawab Azalea saat sang ibu memanggil.

Ia bergegas menghampiri sang ibu dengan membawa ubi rebus dan air mineral. Piring lusuh, tidak layak dipakai. Akan tetapi tiada tempat lain yang bisa ia gunakan sebagai wadah.

"Makanlah, Bu. Lea tadi membeli obat untuk ibu," ucapnya sambil tersenyum.

Sang ibu menatap sesuatu yang di bawa Azalea. "Ubi?"

Azalea menelan ludah yang terasa pahit, sambil berucap maaf dalam hati.

*****

AzaleaWhere stories live. Discover now