4

29 7 5
                                    

Seperti hari lain, Azalea tengah melakukan rutinitasnya. Menjual bunga, lalu memulung. Ada yang berbeda, gadis itu memulai suatu hal baru, yaitu belajar. Walau bukan seperti di sekolah, setidaknya ... impian besar itu bisa tercapai.

Memulai dari awal, bersama teman-temannya yang lain. Azalea belajar membaca di tempat dan fasilitas seadanya. Memanfaatkan barang bekas sebagai alat tulis-menulis.

Penuh kesabaran, Adam mengajarkan pada Azalea beserta beberapa anak lain disela kesibukannya melukis. Ia mengenalkan huruf dimulai dari huruf vokal terlebih dahulu secara bergantian, sehingga memudahkan untuk menggabungkan dengan huruf konsonan. Begitu telaten.

"Kak! Kenapa kita harus bisa membaca?" tanya Azalea ingin tahu.

Adam menghentikan gerakannya dan menoleh ke arah Azalea. "Karena bisa membaca itu penting, dan banyak kegunaannya," jawabnya.

Azalea mengangguk-angguk kemudian fokus kembali pada sebuah papan tulis kecil yang ada di hadapannya.

"Membaca itu sumber dari segala pengetahuan. Banyak hal yang bisa didapat dari membaca," jelas Adam.

Semua mengangguk, seakan memahami apa yang disampaikan oleh Adam. Berbeda dengan Azalea, angannya terbang jauh menggapai sekolah impian. Memakai seragam merah-putih, dasi, topi, serta menggendong tas. Begitu riang, hingga tanpa ia sadari seekor nyamuk masuk ke mulut—membuyarkan lamunannya.

"Ada apa, Azalea?" tanya Adam ketika mendengar Azalea tersedak.

Azalea hanya meringis, dan menutup mulutnya menggunakan tangan.

"Tidak ada!" jawab Azalea.

"Ada yang ingin ditanyakan tentang hurufnya?"

Semua menggeleng, kecuali Azalea. Ia masih bingung bagaimana cara menulis. Maklum, hanya dirinya yang belum merasakan sekolah sama sekali.

Adam tersenyum. "Nanti juga kamu bisa. Kamu hanya belum terbiasa aja, kok!"

Azalea mengangguk samar. Harapan yang sama ia tanam di hati. Kelak, ia bisa membaca dan menulis.

*****

Hari-hari berlalu, Azalea tak lagi bisa belajar membaca karena Adam telah sibuk bekerja. Tak ada lagi waktu untuk mengurusi anak jalanan sepertinya dan kawan-kawan. Harapan indah itu pupus ketika gudang tua tempatnya biasa belajar kini kosong.

Azalea kembali pada rutinitas sampingannya, mengintip setiap sekolah yang ia lewati setelah menjajakan dagangannya.

"Sekuat tenaga pun aku mencari uang, tidak akan bisa seperti mereka," ujarnya dalam hati sambil menatap anak sebayanya berlalu-lalang dengan tas di punggung.

Wajah Azalea tertunduk, menatap keranjang bunga yang masih penuh. Ia menghela napas berat.

"Lea!" Seseorang dengan pakaian compang-camping menghampiri Azalea.

Perlahan wajah Azalea mendongak, menatap sayu sosok yang kini berdiri di hadapannya.

"Bungaku tidak laku hari ini," lirihnya menyentuh hati Redi. Ia melemaskan pundak seakan tidak sanggup menopang beban hidup.

Redi beralih menatap keranjang Azalea. Benar saja, bunga-bunga mawar itu masih banyak dan semakin layu.

"Jangan sedih!" ucap Redi menenangkan. Tangannya meraih keranjang milik Azalea kemudian membuang isinya ke tong sampah samping halte tempat mereka duduk.

Azalea tertegun bunganya dibuang begitu saja. Rasa kesal dan sedih beradu dalam hati. Bulir bening menetes tanpa bisa ia tahan.

"Ikut aku," ajak Redi sambil menarik tangan Azalea dan membawanya ke tempat pembuangan sampah.

"Memulung?" gumam Azalea tidak semangat. Ia melemaskan pundaknya, lagi, dan menatap Redi dengan tatapan kosong.

Redi mulai beraksi, memilah barang bekas kemudian memasukkan ke keranjang bunga Azalea. Gadis kecil itu semakin bingung saat melihat sahabatnya hanya mengambil bekas gelas air mineral saja.

Alis Azalea berpaut. "Kamu butuh gelas-gelas ini?" tanya Azalea sambil mendekatkan wajahnya ke arah keranjang.

Redi mengangguk. Sementara wajah Azalea terlihat semakin tak mengerti.

"Kamu tau? Gelas-gelas ini bisa aku sulap menjadi sesuatu yang cantik," jawab Redi dengan mata berbinar.

Azalea memiringkan kepala. Ia masih belum mengerti dengan tujuan Redi sebenarnya. Setelah terkumpul banyak gelas air mineral bekas, mereka segera menyingkir.

"Bersihkan!" titah Redi pada Azalea yang sejak tadi murung. Hatinya sedih karena hari ini tidak bisa membelikan sang ibu makanan.

Azalea menurut. Namun, ia mengerjakannya dengan gerakan malas, seperti tidak bertenaga.

"Hei!" pekik Redi.

"Rasa laparku bisa kutahan, Redi! Tapi, bagaimana dengan ibu?" Kini Azalea mulai menangis. Rasa sedih meruntuhkan kekuatannya. Ketegaran yang coba ia bangun di atas seutas ketiadaan, berguguran perlahan-lahan.

Redi meletakkan kembali gelas-gelas tersebut ke dalam keranjang, kemudian mendekat pada Azalea. Mulutnya komat-kamit seakan berbicara, tapi tidak bersuara.

Setelah beberapa menit, akhirnya Redi membuka mulut. "Jangan menangis! Aku masih mempunyai sisa uang untuk membeli sepotong kue," bisiknya membuat Azalea semakin tersedu.

Redi diam, dengan uang dua ribu rupiah, bisa dibelikan apa? Ia mengusap wajah dan menatap Azalea perlahan.

"Lea, ini!" Redi mengulurkan selembar uang tersebut.

Azalea mengangguk. Kemudian meraih uang Redi sambil mengusap air mata.

"Aku akan membeli sebuah ubi saat pulang nanti!" ucap Azalea lirih.

Redi tersenyum. Mereka lanjut membersihkan gelas bekas itu. Setelah selesai, gelas tersebut dicuci sampai bersih.

"Sebenernya ini untuk apa?" tanya Azalea yang masih penasaran akan gelas-gelas tersebut.

"Kita bisa membuat banyak hal dengan benda ini. Misalnya; lampion, bunga, tutup kue, dan banyak lagi. Aku pernah mengintip ibu-ibu di kelurahan," jelas Redi penuh semangat.

Azalea tersenyum lebar setelah menghentikan tangisnya.

"Sebaiknya besok saja, hari sudah sore," ujarnya sambil menatap langit.

*****

AzaleaWhere stories live. Discover now