2

32 10 4
                                    

Keesokan hari, tanpa menunggu matahari terbit, Azalea sudah siap pergi ke kebun samping gubuk kumuh—memetik bunga mawar. Rumpun itu tidak banyak. Hanya ada sekitar enam rumpun besar. Nasib baik, bunga tersebut tak pernah berhenti berbunga.

Setelah dirasa cukup, Azalea merapikan dan membungkusnya menggunakan plastik putih yang ia kumpulkan dari tempat sampah tetangga. Kotor? Tentu saja tidak. Gadis kecil itu telah menyulapnya menjadi bungkus cantik.

"Lebih baik Ibu sarapan dulu," Azalea mengelap tubuh Bu Sari penuh kasih. Gerakannya naik-turun menyusuri setiap permukaan kulit renta milik sang ibu.

Bu Sari tersenyum. Ia kembali mengusap rambut Azalea. "Kau saja yang makan, Ibu sudah kenyang."

Azalea menatap sang ibu sedih. Bagaimana ia bisa dibohongi, sementara yang membawa kue pulang adalah dirinya.

"Apa ibu tidak tau? Aku makan begitu banyak kue hari kemarin," dustanya, kemudian ia memamerkan perut sebagai isyarat bahwa dirinya sudah benar-benar kenyang.

Mendengar pengakuan Azalea yang meyakinkan, barulah Bu Sari bersedia memakan sepotong kue, dan menyisakan sedikit untuk siang hari.

"Aku akan segera pulang membawakan obat untuk Ibu," janjinya sambil tersenyum. Ia mencium tangan renta Bu Sari kemudian berpamitan.

Sebuah karung di sisi kiri pundaknya, guna menaruh barang bekas untuk dijual agar bisa membeli obat sang ibu. Sedangkan sebuah keranjang bunga terayun di tangan kanan. Sambil bernyanyi, ia berusaha menghibur hati. Melupakan kepedihan, dan nestapa tentunya.

Hari ini Azalea tidak seperti hari sebelumnya, berkeliling dari tempat satu ke tempat lain untuk menjajakan bunga mawar, melainkan langsung ke rumah Bu Juwi. Dari kejauhan, ia dapat melihat wanita itu sudah berdiri di depan toko kuenya sambil membersihkan meja-meja pengunjung.

"Selamat pagi, Bu!" sapa Azalea riang. Ia mencium punggung tangan Bu Juwi hangat mengharap kebaikan.

"Wah, pagi sekali," tutur Bu Juwi. Tangannya menggamit keranjang Azalea kemudian memindahkan seluruh bunga ke kardus bekas mie instan miliknya. "Apa kamu tidak sekolah?"

Azalea diam. Sorot matanya mengisyaratkan bahwa dirinya menginginkan tempat itu seperti anak lain.

"Hei, kamu melamun?" Bu Juwi menyentuh pipi Azalea sehingga membuat gadis kecil itu sedikit tersentak.

Azalea menggeleng samar. Wajahnya tertunduk lesu, menatap ujung kaki dengan hati perih.

"Keberuntungan belum berpihak padaku, Bu," jawab Azalea sambil berusaha tersenyum. "Tapi aku akan mengejarnya."

Senyum tipis tersungging di bibir Bu Juwi. Ironis, gadis kecil di hadapannya sudah memikul beban begitu berat. Setidaknya, dengan membeli bunga mawar tersebut, wanita paruh baya itu bisa membantu walau tidak banyak.

"Sesungguhnya ... untuk apa ibu membeli bunga begitu banyak? Apa karena kasihan padaku?" tanya Azalea polos.

Bu Juwi menautkan alis, tapi dengan cepat ia menggeleng. "Tentu saja tidak! Ibu menghias rumah setiap harinya. Lihat!" Wanita itu menunjuk ke sudut rumahnya yang memang sudah dihias dengan bunga.

Azalea menoleh, kemudian tersenyum. Setelah beberapa saat, gadis itu pun berpamitan untuk melanjutkan misinya.

Langkahnya sedikit memburu, ia tidak ingin kehilangan momen mengintip anak-anak sekolah berkumpul di lapangan untuk bermain dan belajar.

Senyumnya terukir, Azalea tiba pada waktu yang tepat di sekolah di mana ia biasa mengintip. Kali ini gadis kecil tersebut bisa melihat ke dalam kelas melalui jendela samping, bukan dari pintu gerbang.

Gerik tangannya lincah mengikuti sang guru menulis di papan. Tatap matanya menyisir seluruh ruangan. Seragam sepadan, memakai sepatu, pakaian rapi, rambut diikat bagi murid perempuan, alangkah senang menjadi mereka.

Mulutnya berkomat-kamit menirukan murid membaca sesuatu yang ditulis oleh guru di papan tulis. Hingga tak ia sadari, seseorang mengetuk jendela di sampingnya.

"Hai," sapa orang itu ramah. "Tunggu Ibu di situ!" ucapnya.

Wajah Azalea memucat. Tubuhnya bergetar karena ketakutan. Ia berpikir, kali ini pasti akan mendapatkan caci maki karena sudah dengan sengaja mengganggu ketenangan murid-murid di sini.

Azalea memundurkan langkah untuk menjauh, tapi tidak berhasil karena guru cantik tersebut begitu cepat sampai di tempatnya berdiri.

"Ma-ma-maafkan saya, Bu!" ucap Azalea dengan wajah tertunduk.

Guru itu tersenyum. "Kamu nggak sekolah?" Sang guru mengamati Azalea dari atas sampai bawah. "Oke, tidak usah dijawab," sambungnya.

Azalea mengangkat wajah, membalas tatap sang guru sendu.

"Apa kamu sibuk?"

Azalea menggeleng samar.

"Bisa temui Ibu setelah sekolah usai?"

Tanpa berpikir panjang, Azalea mengangguk, kemudian berlalu untuk memulung. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan indah ini. Bertemu seorang guru berparas cantik, bak seorang peri.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai di tempat pembuangan sampah. Kakinya begitu kuat berpijak tanpa alas. Bahkan, kerikil dan benda tajam pun seakan tunduk padanya.

"Kamu datang terlalu pagi, sehingga mengurangi bagian barang bekas untukku!" seru seorang bocah laki-laki yang biasa memulung bersamanya sore hari.

Azalea terkikik. Ia memukul Redi menggunakan sebilah kayu kecil.

"Aku sedang butuh banyak uang," jawab Azalea.

"Memangnya sejak kapan kamu gak butuh uang?" kelakar Redi membuat Azalea tertawa miris.

"Apa kita akan selalu begini sepanjang masa?" tanya Azalea sedih.

Redi mengangkat bahu. "Kamu masih sedikit beruntung, tidak seorang diri. Aku? Kamu tau itu!"

Azalea tertawa kecil, dan melanjutkan aktivitasnya. Hari ini begitu terik, sehingga membuatnya merasa lelah sebelum mendapatkan banyak hasil memulung. Ia mengajak Redi untuk mengakhiri pekerjaannya dan bergegas menemui bu guru. Sebelum itu, mereka menjual barang bekas terlebih dahulu pada seorang makelar sampah.

Sepuluh ribu rupiah, hasil yang lumayan bagi Azalea dan Redi. Mereka bisa membeli sesuatu hari ini.

*****

AzaleaWhere stories live. Discover now