7

4 1 0
                                    

Azalea menatap langit siang, diikuti oleh Redi dengan mata menyipit. Tentu saja, matahari saat itu sedang terik-teriknya.

"Benar, matahari masih bersinar untukku."

"Untukku juga."

Keduanya bersandar di sebuah pohon mangga. Teduh. Angin bertiup semilir membelai kedua bocah lara itu. Mereka merangkai angan yang sama—mendapatkan hidup layak seperti anak lain. Ingin mengukir mimpi di atas awan, bukan di atas rongsokan seperti keduanya. Ah, hidup kadang sulit ditebak.

"Redi, kita harus tetap berjuang jika tidak ingin mati sia-sia," ujar Azalea sambil menepuk pundak Redi. Bukan, bukan karena Azalea merasa lebih pandai hingga berbicara demikian pada sahabatnya, melainkan hanya menyalurkan semangat agar dapat menatap hari esok bersama-sama.

Redi hanya tersenyum tipis sambil meraih rumput kering di hadapannya.

Setelah beberapa menit berteduh, keduanya beranjak dan kembali melakukan aktivitas. Kali ini mereka tidak memulung, melainkan membuat kerajinan tangan untuk dijual.

Di belakang gubuk Azalea, keduanya tengah sibuk dengan gelas-gelas plastik bekas yang telah mereka kumpulkan. Panas? Tentu saja tidak. Di sana ada sebuah pohon akasia rindang—tidak jauh dari tanaman bunga mawar milik gadis kecil itu.

Tangan-tangan kecil begitu terampil. Geriknya lincah. Pada benda itu, menggantung sebuah harapan besar. "Setitik cahaya itu masih aku harapkan," ujar Azalea sambil mengulurkan sebuah lem yang ia beli dengan sedikit uang tabungannya dan ditambah dengan uang milik Redi.

Redi hanya tersenyum, dan mengaminkan doa demi doa yang dipanjatkan oleh sahabatnya dalam hati.

"Kelak, takkan kubiarkan perutku menahan lapar berhari-hari, Redi. Itu sungguh menyedihkan!"

Redi tersenyum tipis, lagi.

Sesungguhnya, Redi juga tidak ingin hidup seperti ini. Namun, lelaki kecil itu telah merelakan goresan takdir untuknya. Ia tidak perlu risau, karena dirinya hanya hidup sebatang kara—tak ada yang membuatnya khawatir seperti Azalea. Seandainya pun maut menjemput sekarang, tak akan ada isak tangis keluarga.

"Bayangkan saja, langit begitu indahnya. Ia melihat kita di bawah sini."

Kali ini Azalea yang mengangguk.

"Harapan dan impian itu harus ada, baik mereka yang mampu sekolah, ataupun kita yang seperti ini, Lea. Kau tak perlu bersedih. Sebab, kesedihan itu tidak akan membuatmu bahagia."

Azalea terdiam. Ia melambungkan angannya setinggi langit, tapi lupa untuk tetap bersyukur saat angan itu kembali ke bumi. Sehingga sakit yang ia dapat.

Apa yang seharusnya dilakukan? Berusaha, berdoa, lalu bersyukur, bukan? Pun harus ikhlas dengan keadaan saat ini.

"Baiklah, aku tak akan bersedih lagi. Ternyata, sedih itu menyesakkan dada."

Redi tertawa kecil. Ia senang sahabatnya tak lagi murung. Segaris senyum dari Azalea sekarang tampak lebih natural. Tidak seperti dulu, gadis kecil itu selalu tersenyum dengan paksa.

Hari mulai sore, matahari menepi dan siap digantikan oleh senja. Azalea menarik napas panjang, melepaskan segala beban hidupnya. Ia membangun harapan baru penuh semangat.

"Aku harus menjadi anak periang," janji Azalea dalam hati.

Dengan tekad kuat, ia merangkai mimpi demi mimpi. Berharap, semua itu akan terwujud. Baginya, saat ini yang terpenting adalah kesembuhan sang ibu. Dirinya tak sanggup melihat wanita yang menganggapnya anak terbaring lemah tak berdaya.

"Ibu pasti sembuh."

Azalea merentangkan tangan, kemudian memeluk dirinya sendiri. Sementara, Redi hanya melihat dan tersenyum dari kejauhan.

"Semoga Tuhan mengabulkan semua harapan baikmu, Lea."

Ya, inilah saatnya untuk bangkit, menjalani roda kehidupan tanpa kesedihan yang berarti. Hari masih panjang bagi Azalea dan Redi untuk menyongsong masa depan. Masa depan yang mungkin mereka ciptakan sendiri, jerih payah sejak usia dini.

"Kita pulang," ajak Redi mengejutkan Azalea yang tengah menarik napas. Diturunkan kedua tangannya, kemudian merangkul Redi.

"Matahari sudah tenggelam, Redi. Seperti dukaku. Akan aku tenggelamkan ia bersama gelapnya malam."

Redi mengangguk samar dan mengamini doa Azalea dalam hati.

"Apalagi yang kamu inginkan selain dapat mengenyam pendidikan dan mengobati ibumu, Lea?"

Azalea diam sejenak, kemudian tersenyum tipis. "Membantu orang lain yang sepertiku."

"Hanya itu?"

Lagi, Azalea diam. Keningnya berkerut memikirkan arah pembicaraan Redi.

"Aku tidak paham," jawab Azalea polos.

"Orang tuamu misalnya!"

Hati Azalea bergetar. Orang tua? Ia bahkan tidak tahu bagaimana paras kedua orang tuanya. Namun, di mana pun mereka berada, doa gadis kecil itu masih sama, semoga baik-baik saja.

Meski rindu, tapi Azalea tidak pernah memupuk harapan bertemu dengan kedua orang tuanya. Sebab ia tahu, harapan itu ada diiringi rasa sakit di belakangnya. Bukan ingin menjadi anak durhaka, ia hanya mencoba menerima kenyataan bahwa dirinya hidup tanpa orang tua kandung.

"Hanya Tuhan yang tau, Redi. Tiada yang terlewat jika memang milikku, bukan?"

Redi mengangguk. Kelu. Rasa hatinya sama dengan Azalea. Tidak ada yang berbeda.

"Sampai jumpa esok pagi," ucap Redi sebelum pulang ke gubuk kumuhnya dekat pembuangan sampah tempatnya memulung bersama Azalea. "Aku akan mengantarmu esok menjual kerajinan tanganmu."

Azalea tersenyum lebar. Sungguh beruntung ia memiliki sahabat seperti Redi. Baik, dan suka menolong. Dalam hati, dirinya ingin seperti bocah itu. Tak pernah bersedih, mengeluh, maupun bersusah hati.

"Aku akan menghampirimu wahai kebahagiaan!"

*****

AzaleaWhere stories live. Discover now