BAB 2

7.6K 2K 166
                                    

BAB 2

Definisi bahagia bagi Padma begitu sederhana. Sangat sederhana, kalau boleh ditambahkan. Cukup dengan melihat senyum puas Arsa setelah perut kecilnya mengembung karena kenyang, juga Hira yang kini asik bermain ponsel tanpa keluhan lapar—lupakan fakta bahwa adiknya sempat mengeluh dengan menu makanan yang Padma sajikan, ‘itu-itu lagi’ katanya.

Ya, Hira memang menjadi agak menyebalkan sejak ayah meninggal dan kehidupan perekonomian keluarga mereka merosot. Hira terbiasa dimanja dan segala kebutuhannya terpenuhi sejak kecil, lalu dihadapkan pada kenyataan buruk, mungkin dia hanya tidak siap. Dan lebih buruk lagi setelah mereka pindah ke kota ini.

Sama seperti Hira sebenarnya. Padma dulu juga tidak siap. Tetapi sebagai anak sulung, ia berusaha menenangkan hati orangtua mereka dengan tidak mengeluh. Kendati rasa sedih dan kesal itu ada dan bercokol dalam dirinya selama beberapa waktu. Setidaknya Padma bersyukur atas keadaan di masa lalu, yang membuatnya tak terlalu kaget menghadapi takdir yang jauh lebih kejam dari pada dulu.

Kini, semuanya bertambah buruk. Sangat buruk. Setidaknya untuk seminggu ke depan, dapur mereka aman. Dan Padma harus mendapatkan pekerjaan dalam waktu tujuh hari ini. 

Mengelus kepala Arsa yang rambutnya cukup kasar untuk ukuran balita, Padma menahan rasa nyeri di ulu hati. Ia berjanji, akan membelikan sampo bayi dengan kualitas terbaik untuknya nanti. “Arsa udah kenyang, Sayang? Atau mau tambah lagi?” tanyanya.

Bocah kecil tampan itu menggeleng sambil tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi depannya yang menghitam. Padma balas tersenyum dan mengacak puncak kepalanya lebih keras sebelum bangkit untuk membereskan kekacauan di atas tikar kosan kecil itu. Hira jelas tidak bisa diharapkan untuk beres-beres. Tetapi paling tidak, dia tidak keluyuran seperti biasanya. Itu saja yang Padma harapkan dari sang adik.

Menghidupkan layar ponselnya yang retak-retak setelah mengelap tangannya pada kain perca yang dipaku di dinding dapur begitu selesai mencuci piring, Padma mendesah. Sudah pukul sepuluh. Cukup siang bagi seseorang yang bertekad mencari pekerjaan. Dengan gerakan buru-buru, ia berganti pakaian—tolong jangan tanya tentang mandi, stok air di mandi kosan ini cukup kering dengan antrean yang panjang—mengenakan salah satu baju terbaik, ia mengambil tas selempang kecil satu-satunya yang ia punya, lantas melesat ke luar kamar. Matanya menyapu rak sepatu milik Hira yang cukup banyak. Mungkin ada sepuluh pasang model terbaru dengan berbagai macam bentuk yang didapat dari pacar-pacarnya.

Ingin sekali meminjam, tapi kenyataan bahwa Padma bahkan tidak tahu, alasan ‘pacar-pacar’ Hira memberinya sepatu membuat Padma ragu. Terlebih, dia tidak pernah mendukung tingkah wanita dua puluh tahun itu yang berganti pacar seperti berganti baju. Terlalu sering dan mengkhawatirkan. Tetapi Hira tidak pernah mau diingatkan. Setiap kali dinasihati, dia akan melawan dan terkadang tidak pulang sampai tiga hari.

Lelah, akhirnya Padma menyerah. Hira sudah besar. Sudah dewasa. Sudah bisa berpikir dan mengambil keputusan sendiri. Dia tahu mana yang benar dan salah, keputusan ada di tangannya. Padma tidak ingin ambil pusing lagi. Memikirkan kebutuhan mereka yang tak terpenuhi saja, ia sudah merasa pening.

Tak ingin membuang waktu lebih lama, akhirnya Padma tetap memakai sepatu usangnya sendiri. Toh, dia tidak akan melamar pekerjaan di perusahaan atau tempat-tempat elite. Paling mentok di pabrik rokok atau tekstil, kalau beruntung ia bisa menjadi asisten rumah tangga lagi.

Namun, asisten rumah tangga sekalipun sekarang butuh koneksi. Orang kaya yang berhati-hati bahkan lebih suka mengambil pembantu dari yayasan, bukan gelandangan sembarangan.

Berusaha membesarkan hati dengan mengingatkan diri bahwa rezeki sudah ada yang mengatur, Padma tersenyum untuk memancing semangatnya.

Sepatu berhasil dipasang. Lem bawahnya sudah sekarat. Padma tidak yakin pantofel hitam tanpa hak ini bisa bertahan lebih dari tiga hari. Tetapi, tak apa. Siapa tahu hari ini Tuhan mengabulkan doanya.

PadmaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant