BAB 9

6.4K 1.8K 244
                                    

Padma berkedip-kedip pelan saat Sultan membawanya masuk ke sebuah butik di salah satu mal yang sejak dulu biasanya hanya ia lewati—kecuali saat menjadi istri Addie, ia pernah beberapa kali datang ke sini—lantaran yakin uang yang dimilikinya tak mungkin cukup untuk dipakai membeli sesuatu di tempat ini.

Datang pun kini, hanya untuk menemani Sultan belanja, itu kata si Nyonya. Walau pun Padma agak heran, untuk apa Sultan mengajaknya? Dan, apakah seorang Sultan memang harus belanja sendiri saat ia tinggal membayar orang lain untuk melakukannya?

Mengikuti Sultan memasuki salah satu butik bagus itu, Padma berdiri patuh di balik punggung tuannya saat Sultan berhenti melangkah dan malah melipat tangan di antara gantungan baju-baju yang bahkan tak berani ia sentuh.

“Maaf, Pak, ada yang bisa saya bantu?” Salah satu pramuniaga berseragam perpaduan batik dan kain polos berwarna magenta, mendekati mereka, bertanya pada Sultan yang berpose bagai orang paling berkuasa di ruangan itu. Kebetulan, mungkin karena sudah agak malam, tidak terlalu banyak pelanggan yang datang. Hanya Sultan, dirinya juga dua orang lain yang sedang melihat-lihat pakaian.

Sultan tak langsung menjawab, ia justru meliriknya, dari ujung kaki sampai kepala dengan tampang malas dan tidak tertarik terang-terangan, yang sungguh, berhasil membuat Padma merasa malu sekaligus jengkel. Tidak bisakah Sultan menatapnya dengan lebih sopan dan ekspresi menghargai?

Tentu saja, tidak, gumam Padma dalam hati. Dia hanya pengasuh adik lelaki itu yang digaji cukup tinggi. Kendati demikian, tetap saja, posisinya tak lebih tinggi dari seorang pembantu—setidaknya menurut Sultan. “Carikan dia baju,” katanya pada si pramuniaga tanpa mengalihkan pandangan jengahnya pada kain yang memeluk tubuh kurus Padma. Padma mengikuti arah pandang Sultan seraya menelan ludah. Ini baju terbaiknya yang dikomentari Ratu tadi siang, katanya kain pel di rumah mereka bahkan lebih bagus dari ini. Padma diminta untuk tidak memakainya lagi. “Banyak baju,” jelas Sultan setelah pandangan jengahnya ia alihkan ke sekeliling ruangan.

“Baju buat saya?” tanya Padma tak yakin. “Mmm ... tapi, Pak, saya—”

“Apa saya meminta kamu bersuara?”

Praktis, Padma langsung mengatupkan mulut setengah tersinggung. Manusia satu ini sepertinya memang alergi mendengarkan pendapat orang lain, terutama Padma. “Maaf,” desisnya kemudian tanpa sama sekali merasa bersalah.

“Saya capek. Bisa kamu hanya diam dan menurut?”

Apa Sultan kira hanya lelaki itu yang capek? Padahal yang dilakukan sejak tadi hanya marah-marah! Sedangkan Padma ... lupakan. Ia tak ingin mencari masalah lagi dengan Sultan lebih dari yang sudah pernah terjadi tadi pagi dan siangnya.

Ya, Tuhan ... ternyata belum ada dua puluh empat jam mereka bertemu dan terasa seperti selamanya.

Menarik napas panjang, Padma kemudian menurut. Berjalan mengekori pramuniaga, meninggalkan Sultan yang bertampang agak berantakan dengan lengan kemeja yang digulung asal sampai siku, kancing kerah yang terbuka serta rambut yang tak lagi tersisir rapi, tapi justru membuatnya terlihat lebih ... tampan dan manusiawi. Kendati demikian, sikapnya yang tak menyenangkan, sama sekali tidak bisa ditoleransi.

Padma cemberut di belakang si pramuniaga yang mengepas-ngepaskan beberapa baju untuknya, lalu menumpuk di lengan dan terus mencari hingga tumpukan di lengan si pramuniaga menggunung. Lantas wanita tambun dengan senyum ramah itu menyeret Padma ke ruang ganti untuk mencoba baju-baju tersebut. Semuanya! Sama sekali tak mempedulikan tampang nelangsa Padma. Ugh, sampai tengah malam pun ini tak akan selesai.

Namun Padma yang tahu protesnya sama sekali tak akan didengar, hanya menurut. Ia menerima selembar pakaian untuk di coba, tepat saat tak sengaja melihat bandrol harga yang tertera.

PadmaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt