BAB 6

6.6K 1.9K 145
                                    

“Ibu pulang!” Padma berseru riang pada Arsa yang sedang bermain lego bekas di teras rumah kosan Bu Karyo. Matahari sudah kembali ke peraduan sejak beberapa jam lalu, memberikan kuasa pada bulan untuk bertahta di langit. Rasa lelah merambati tubuh Padma setelah seharian berkeliling mencari pekerjaan, tetapi belum juga berhasil mendapatkannya. Sementara keuangan mereka makin menipis, itu pun sisa dari uang yang Sultan taburkan tadi pagi setelah sebagian dibelanjakan untuk kebutuhan sementara. Kendati demikian, Padma tak ingin menampakkan wajah letihnya, terutama di depan Arsa. Ia sudah bertekad untuk membesarkan Arsa dengan baik dan memberi bocah itu pendidikan yang layak walau tanpa campur tangan Addie.

Mendengar suara familier yang tadi siang sempat ditangisinya, Arsa mendongak. Senyum ceria bocah itu langsung menyambut. Ia lantas berdiri, melupakan mainannya dan langsung berhambur ke pelukan Padma sambil tertawa riang, menampakkan bagian depan giginya yang ompong sedang bagian lain tampak menghitam lantaran keseringan makan permen. “Ibu!” Dia memekik kegirangan. Padma merentangkan tangan, bersiap menangkap tubuh kurus Arsa yang berlari sembarangan agar tidak jatuh.

Kenyataan yang hampir selalu berhasil membuat Padma ingin menangis. Arsa tidak segemuk dulu saat Padma dan Addie masih bersama. Berat bada anak itu turun drastis di bulan pertama setelah keluar dari rumah besar Addie yang dulu menawarkan kenyamanan dan perlindungan. Arsa juga sempat terkena demam dan cukup kesulitan beraptasi dengan keadaan. Demi bertahan hidup di awal-awal perpisahan mereka, Padma bahkan menjual semua perhiasannya dari sang ibu yang sama sekali tak seberapa, pun cincin nikah yang Addie berikan.

Harapan Padma tidak pernah muluk. Cukup pekerjaan yang baik dan gaji cukup demi hidup yang pantas untuk Arsa. Untuk senyum putranya. Dan agar Arsa bisa tumbuh lebih sehat.

Menarik napas panjang guna mengusir segala gundah, Padma dekap tubuh ringkih itu lebih erat.

Bu Karyo, yang mengawasi Arsa bermain sambil menjahit baju kerja suaminya di kursi teras, tersenyum melihat pemandangan manis ibu dan anak itu. “Kamu sudah pulang?” tanya beliau, wanita baik hati dan ramah yang tak pernah ragu membantu orang-orang sekitar, sayang belum diberi kepercayaan olah Tuhan untuk memiliki anak, karenanya ia sangat menyayangi Arsa seperti cucunya sendiri.

Meraup tubuh Arsa yang—mirisnya—cukup ringan untuk anak usia empat tahun ke dalam gendongan, Padma tersenyum sambil mengayun-ayun pelan bocah itu agar segera tidur. Sudah pukul delapan malam saat ini. Dan Padma baru pulang dengan tangan kosong.  Kenapa mencari pekerjaan di Ibukota sesulit ini?

“Iya, Bu. Maaf ya, lama. Harusnya Hira yang jaga Arsa. Tapi anak itu ...” Padma menghentikan kalimatnya saat memikirkan sesuatu. Ia menelan ludah, lantas melanjutkan, “Hira di rumah kan, Bu?” tanyanya waswas.

Bu Karyo menghentikan gerak tangannya yang semula siap menusukkan jarum ke pola selanjutnya. Dia tersenyum iba pada Padma yang jelas tampak kelelahan. Wanita paruh baya itu bahkan yakin wanita muda yang  malang ini belum makan sesuatu sejak pagi. Tubuhnya yang memang kecil, makin kurus setiap hari.

“Hira tadi titip Arsa ke Ibu. Katanya dia ada acara. Dia dijemput temannya.”

Pasti laki-laki. Mungkin baru lagi. Padma menunduk malu. Ia sudah mendengar gunjingan tetangga  kos mereka yang sering mencela Hira. Pun kadang di depan Padma terang-terangan. Tentu Padma kena imbas, dikira tidak becus menjaga adiknya yang ... nakal. Bahkan tak sedikit orang mengatakan Hira menjual diri karena terlilit kemiskinan. Padahal Hira memang sudah sebandel itu sejak SMP. Semenjak keluarga mereka kehilangan segalanya. Padma pikir, semula, itu hanya bentuk pemberontakan adiknya saja. Tetapi makin ke sini, Hira kian menjadi. Padma tidak bisa menyalahkan gunjingan para tetangga karena tingkah adiknya memang separah itu.

Keluar dengan pakaian terlalu terbuka, dan pulang bahkan kadang setengah mabuk.

Sungguh, Padma sudah melakukan segalanya untuk menghentikan sang adik. Ia bahkan pernah mengusir Hira, yang langsung adiknya sambut dengan seringai. Hira tidak pernah takut diancam.

PadmaWhere stories live. Discover now